BAB 7: KENANGAN BURUK

1.5K 183 11
                                    

Gio memasuki pelataran seraya mengusap perut buncitnya yang terasa akan meledak. Ibunya duduk di kursi teras sedang menjahit baju.

"Ibuu ...," sapa Gio berlalu melewati Ratna yang menoleh sekilas.

"Kamu kenapa, sakit?"

Gio baru tiba di ambang pintu, memutar badannya menatap ibunya dengan menyipit mata.

"Udah makan badak dari si Langit," terang  Gio jalan gontai.

Gian, kakak sulung, di sofa bersama laptop di paha dan naskah revisi untuk artikel beritanya tergeletak di meja.

Gian fokus menatap layar monitor itu tanpa ada gerakan tubuh. Entah tidak gatal atau apa, tubuhnya tegak seperti tiang. Angin topan segede apa pun Gian tak tersenggol. Kedua bola matanya bergulat dengan bunyi ketikan dipapan keyboard membuat Gio di tengah ruang tamu mengacung jari tengah mengusili kakaknya.

"So sibuk!" celetuk Gio. Lalu jalan jinjit tak menyisakan derap kaki di lantai keramik. Melangkah lurus menuju tangga hendak ke kamar yang berada di lantai dua yang dibatas oleh dinding.

"Gio ...,"  panggil Gian menatap ke arah tangga.

Gio mendelik menaikan pijakan tangganya mengimbangi agar tak bersuara.

Gian memiringkan senyum di bibir sedikit hitam bawahnya. Dia mengetik kembali dipapan keyoard laptop.

Lembar naskah dihekter. Dia mengusap dahinya terasa pening. Gian menghela napas lega lalu menaruh laptopnya ke meja.

....

Sebuah pintu kayu cokelat yang merupakan ruang kamar pribadi milik Gio, dia putar ke bawah daun pintunya lalu masuk ditutupnya pelan.

Kamar standard dengan tempat tidur kingsize, selimut warna abu bersprai abu sebagai baju ranjang yang serasi.

Dinding ruang kamar berpadu hitam dicampur abu, mencipta dua warna yang sayup-sayup menyatu. Satu meja belajar disusul layar komputer memampang di sana tepat dirapat ke dinding membelakangi kasur. Rak gantung diisi jambang bunga palsu dan lemari baju terbuka terpajang isian.

Gio mengempas pantatnya di kursi belajar yang dapat diputar seperti kantoran. Dia menarik toples bening berisi camilan keripik pedas singkong merah kaya rempah-rempah. Satu keripik singkong dia lahap ke dalam mulut menyisakan remahan bumbu jatuh di lantai meja belajar.

Dia menyalakan layar komputer dengan tenang memeluk tetikus. Kursor bergerak tatkala Gio mengendalikannya menuju microsoft word.

Dia menarik laci bawah meja, meraih sebuah buku revisi novel yang dia letakan di atas. Buku yang dia bawa dan dibaca oleh Langit saat sekolah.

Pulpen ditabung bekas keripik singkong dibikin kreatif. Dia genggam mulai memoles ujung penanya dengan guratan dikertas itu terisi paragraf narasi.

Dia menggaruk kepalanya sejenak dengan bibir merah ranum merasa debu cabai pedas itu membakar bibir. Gio bangun menuju rak gantung yang memampang koleksi buku novel yang dia beli hingga berjajar rapi.

Buku tebal Gio diletakkan di meja. Satu libakan halaman pertama lalu berturut-turut. Bibirnya komat-kamit merapal bisu mencari arti kata di buku tebal dengan ujung telunjuk.

"Gio," panggil wanita berambut sebahu hitam lurus. Wanita itu ialah Santi, teman Gio, teman yang mengerti akan Gio yang diceritakan waktu lalu.

Santi berseru riang menutup pintu kamar Gio hingga terdengar deritnya menutupnya bikin gema di ruang kamar. Dia mendekat pada Gio bersambung menjeremba kursi plastik hijau yang ada di pojok lalu terduduk di samping Gio.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang