BAB 68: ULAT

273 46 3
                                    

Pukul dua siang, sesuai perjanjian saat di kantor lalu, Langit duduk di kursi panjang warnanya oren di bawah pohon yang meneduhi kepalanya. Langit berwajah senang tak hilang keriangan.

Angin menghias siang yang panasnya minta ampun. Burung warnanya hijau ada oren juga cantik, terbang lalu hinggap di lapang bata mengelentang amat lama.

Langit awalnya tak acuh menganggap jika burung itu hanya berplesir atau memungut makanan. Tapi burung itu tak pun bergerak dia diam dan duduk. kepalanya lirik kanan kiri dan tergurat rasa takut di matanya soal bahaya dimangsa. Langit berdiri juga menaut alis heram. Dia tertarik lalu berdiri seraya mendekat. Burung itu tak lari malah diam namun wajahnya ketakutan akan resah soal nyawanya terancam.

Langit berjongkok burung itu beringsut menggerakkan kakinya sedikit. Terdengar suaranya menyapa atau terdengar memelas meminta dijauhi agar Langit yang dia anggap ancaman itu segera menjauh darinya.
Langit mendesis menenangkan dia lalu menyentuh kepala burung itu, mengusap punggungnya pelan. Langit taruh di telapak tangan lekas membawanya berteduh di kursi tadi.

Burung itu tenang tak terasa takut jika Langit adalah ancaman. Burung itu mengicau suaranya merintih dan parau. Langit heran dengan burung itu.

Langit memutar tutup botol lalu menuang sedikit airnya disana. Tutup botol terisi air lalu didekatkan pada paruhnya. Burung kenari itu menurunkan paruhnya lalu sedikit menjulurkan lidahnya menjilat airnya. Langit senyum berpikir jika burung itu tak terbang karena capai dehidrasi.

Pria jangkung acap disapa Gio. Dia berganti pakaian dan kini berbusana training. Dia berdiri melihat Langit duduk dikursi itu sembari memegang burung ditelapak tangan. Gio mengerut alis juga memicing mata menajamkan penglihatan juga memastikan jika itu memang burung.

Bola ditaruh di perut oleh tangan dikepal. Gio masih disana seraya merhatikan Langit setengah menunduk fokus pada burung itu sedang minum.

"Latih dia main bola, terus laporan sama saya." Pak Tamrin muncul di belakang Gio. Gio menoleh ke belakang  senyum dan anguk ragu.

"Tapi—"

"Kamu menguasai olahraga. Tak salahnya bagi ilmu." imbuh pak Tamrin lalu menunjuk pada Langit.

"Saya lulusin dia. Saya kasih nilai plus karena dia rajin daftar hadir. Sekalipun dia tak menguasai, tapi hadir tak pernah absen untuk menghargai itu lebih penting daripada pamer di lapang bikin yang enggak bisa jadi putus harapan." Pak Tamrin seakan mensatire Gio.

"Tapi, Pak ...,"

Pak Tamrin menepuk bahu Gio. "Kalo enggak bisa enggak apa-apa. Panggil Anwar buat gantiin." paparnya bikin Gio mengeleng cepat. "enggak jangan. Biar saya aja."

Pak Tamrin senyum lekas meniup periwitnya tertuju pada Langit. Suara nyaring nan memekak itu bikin Langit mendongak lalu menaruh burug itu di tepi segera menuju Pak Tamrin, Langit bersalam.

"Pelatihan perbaikan nilai. Bapak ada rapat buat ujian kelas. Jadi, Gio jadi pelatih kamu, ya. Biar kamu juga nyaman soalnya Gio temen dekat juga. Bapak pamit, ya, Gi semangat." Pak Tamrin senyum berlalu tinggal keduanya yang nampak canggung akan tak kenal.

Langit buang muka seraya berwajah datar, sebaliknya Gio melirik sinis lalu jalan duluan menuju lapang. Panas kelantang juga menghujani kepala, Gio dibikin mengerut wajah bisa-bisa dia belang lagi.

"Sini, buruan!" Gio bernada tak ramah.

Langit menghampiri seraya memicing mata karena silau.

Gio menilik dari ujung sepatu hingga kepala Langit dirasa ada yang aneh.

"Lo yakin main bola pake baju sekolah?" Kata Gio bikin terbelakak apalagi soal: 'Lo?'

"Aku tak bawa bajunya. Ini mendadak. Aku kira bisa ditu-"

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang