BAB 73: MENINGGALKAN

276 42 6
                                    

Ruangan temaram, Langit tutup pintu depan lekas jalan pelan menuju kamar. Dia tutup tutup amat rapat. Dia mengempas badan ke kasur. Ditarik selimutnya se-dada. Dia mencoba memejam mata tidur meringkuk lagi menghadap dinding.

Debat itu telah usai tak ada suara saling tinggi lagi. Kini hening juga hirap tak membekas hanya ingatan saja yang akan hadir dikemudian hari.

Pagi itu pukul setengah tujuh, dan acaranya di meja makan. Meja terhias hidangan pagi untuk sarapan telah siap. Sayur lobak juga tahu pepes  mengisi daftar menu pagi ini. Wati pintar tak menunjukan eksistensi rundung lara saat malam lalu. Saat ini, wajah ceria juga berbinar mengisinya. Nurojat anteng makan tak bersuara hanya denting sendok yang beliau entak ke piring.

"Tambah lagi sayurnya, Pak?" Wati mengangkat centong sayur sudah terisi sayur lobak.

Nurojat menganguk. Wati senyum lalu menuangnya di atas nasi hangat.

"Langit!" panggil Wati menoleh ke belakang.

Langit datang dengan wajah ceria kali ini tak terbesit wajah murung kala malam. Langit duduk di sisi ayahnya dengan seragam putih abu.

Wati meletakan piring berisi nasi hangat juga sayur lobak ke meja Langit.

Langit meraih sendok diwadah lalu mulai nikmati sarapan itu. Wati mengusap rambut kepala Langit dengan senyum ramah ikut duduk menyantap sarapan masing-masing.

Hening hanya diisi sendok beradu dasar piring.

Langit kala makan, dia curi mata dengan melihat ibunya yang makan dengan wajah ceria sama dengan Nurojat ayahnya yang makan dengan senyuman.

"Hati-hati, semangat belajarnya." Wati memesan pada putranya saat Langit mencium punggung tangan, Langit gegas pergi.

....

Pagi ini, langit redum tak muncul matahari. Takut hujan seperti waktu lalu, Langit beberapa kali mendongak keatas memampang redum oleh mega keabuan siap hujan.

Langit sambil jalan menuju sekolah, dia santap cupcake strawberry dipegang tangan dengan makan atasnya terlebih dahulu.

Pelipis itu telah pudar memarnya. Tersamar kulit kuning langsat. Polesan cream bedak menyamarkannya.

Kelas mulai terdengar kisahnya. Pelajar mengisi di dalam saling mengobrol pagi hari. Langit menuju kelas dengan semangat untuk ilmu namun niatnya buyar saat Santi bersama Gio bercengkerama menyamping. Terasa cekat. Entahlah.

Langit menunduk kepala seraya melewati keduanya yang nampak harmonis. Langit masuk hingga duduk di kursinya mulai meletakan pipi tiduran menghadap dinding tak acuh pada Raka yang membuka mulut hendak ngobrol.

Kinan di belakang menutupi wajahnya oleh majalah.

Bel pertama berbunyi semua pelajar masuk saling berseru juga jengah menguap pagi hari.

Satu remasan kertas entah dari mana berasal, mengudara lalu jatuh dibangku Langit. Langit duduk tegak lalu diambil juga menoleh ke belakang. Kinan tak mungkin lakukan itu dia saat ini fokus menggambar anime dibukunya.

Langit menggeser matanya pada Anwar. Benar saja tak perlu menukas. Orang yang sedang disebut itu sedang menatap kearahnya dengan jari tengah mengacung seakan meneriakinya pecundang.

Langit bisa jambar bibir itu mengucap bisu namun tak perlu menerjemah. Kata itu berisi umpatan juga ejek.

Istirahat itu tenang. Saat kantin tak lagi didemo oleh pelajar. Meja seberang di isi kelas sepuluh saling memegang lembar naskah. Mereka memperagakan sebuah drama seraya makan.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang