BAB 87: MERELAKAN

733 57 10
                                    

Terasa pegal. Leher kaku dan punggungnya sakit. Langit bangun duduk memutar lehernya yang kaku, terdengar bunyi tulang bergemeretak. Langit melirik novelnya dia masukkan kedalam tas jinjing yang sudah siap diatas meja.

Langit menuju kamar mandi dia akan membersihkan diri di sana sekalian mandi dan perlu siap-siap lagi saat akan berangkat. Bunyi guyuran air dari gayung menghujam lantai.

Derit pintu berbarengan dengan membuka menampakkan Langit pinggangnya terlilit handuk dia hendak ke kamar, entah kenapa dia menuju dapur dia menekan keran galon ke gelas lalu Langit teguk.

"Iya, Bu semoga selanat sampai tujuannya ya. Salam buat Gio ya." terdengar suara ibunya menelpon di ruang tamu.

Langit mengernyit. Dia kuping obrolan ibunya sedang menelepon seseorang. Kata 'Gio' terekam dan bikin Langit semakin penasaran dengan obrolan itu.

"Surabaya tempat kelahiran. Jangan lupa buat kunjung lagi ke sini."

Langit membelalak mata mendengar kata Surabaya. Teringat kala makan lalu Wati bercengkerama soal itu.

Dia tatap tas jinjingnya lalu beralih gawai yang bergetar di meja. Langit angkat lekas dirapatkan di telinga dengan napas memburu terkejar sesuatu

"Aku butuh waktu. Jangan dulu kesini." Langit sekejap mematikan gawainya.

Langit buru-buru mengenakan kaosnya. Segera berlari dengan perasaan aneh. Dadanya sesak dan dia airmatany teringin keluar.

Langit pukul-pukul dadanya sela jalan menuju Gio, rumah itu rumah lantai dua ada balkonnya. Jalan pelan terasa berat padahal tubuhnya ringan namun entah kenapa jalannya jadi lamban terasa berat kakinya untuk mengganjur langkah. 

Langit geram menggigit bibir bawah kuat-kuat juga raut kecemasan berlebih bikin memperburuk. Langit menaikkan jalannya hingga dia sampai di sisi rumah itu menghadap pelataran. Bayangan Gio saat olahraga terbersit dikepalanya.

Napasnya tersenggal. Langit dorong gerbang namun tak bisa, dikunci dan Langit menggeser ke kiri sama saja tak ada benarnya. Pagarnya digembok dan kunci tentunya dipegang si empu. Langit kian merubah wajah cemas itu menjadi gundah. Langit guncang pagar besi agar terbuka namun gagal. Langit berusaha melepas gemboknya agar terlepas namun tak bisa.

Langit cari jalan. Dia tak peduli dengan alam sekitar tak peduli dicap maling. Pun, dia tak merasa. Dia bisa menjelaskan saat dia bertemu dengan Gio ada apa dengan semuanya.

Semua tentang Surabaya dan Langit selalu dengar itu. Langit butuh penjelasan. Harus!

Langit menaiki pagar agak kesusahan memang karena lumayan tinggi sekepala.

Langit turun sayang salah pijak kakinya terkilir kukunya tiba-tiba keluar darah lagi. Dia berjongkok melihat kukunya keluar cairan merah. Tak sakit Langit bisa menahannya. Dia bangun lagi lari dengan wajah tak ditanya penuh oleh cemas.

"Gio!" panggil Langit di depan pintu seraya mengetuk pintu.

Tak ada jawaban.

"Bu Ratna?!" panggil Langit namun tak ada jawaban.

Langit memurung mengisyarat cemas akut. Dia gigit jemarinya seraya mengintip ke jendela mengintip keadaan dalam.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang