BAB 69: TERULANG

247 41 1
                                    

Dicampakkan di lapang oleh pria yang bikin dia khawatir merubah persistensinya untuk melupakan dan membenci. Semua raib saat mendapati kesenangan kecil oleh senyum itu, lalu semuanya kacau saat darah berdesir dari hidung Langit, bikin Gio cemas.

Gio mengusap poninya ke belakang dengan gusar terasa pusing tak tahu harus apa. Ia duduk di kursi panjang sesekali melihat punggung Langit yang jalan concong meninggalkannya tak berputar badan sekadar mengatakan terima kasih seusai di tegur tadi.

Ia kembali dingin lagi. Rasa cemasnya itu gata tak datang lagi berganti saat-saat lalu. Dia mengepal tangan lalu menghujam batang pohon di belakangnya bikin gompal akan hujaman selepasnya bangun meninggalkan lapang dengan hati kecewa.

Di tepi jalan hendak menyeberang dan dia menoleh ke kanan mendapati Langit kebetulan ada, dia menoleh padanya dingin. Tolehan itu hilang bersama saat Langit masuk mobil angkot. Keduanya tak mengenal Gio juga menyeberang lurus menuju sekolah lagi. Entah Langit mengintip dari kaca mobil belakang yang dia tumpangi Gio tak peduli. Dia kecewa dengan kelakuan Langit yang berbeda.

Minuman boba tak pernah absen selalu presensi di tangan. Saat ini, di tempat yang jauh dari kata ramai. Hanya dikerumuni sunyi senyap dan sayup lakson mobil jalan itu pun putus-putus. Saat ini, Gio berada di perpus seorang diri duduk di kursi panjang seraya menyedot boba itu lewat sedotan.

Gio melirik ke pojokan saat sebuah gitar terjelampah di meja. Dilirik keadaan tak ada orang. Hanya dirinya bersama bayangan yang tak terjiplak di lantai keramik. Ia bangun menuju sana mengusap lengkungan gitar yang mulus itu, memegangnya lalu duduk di pojokan itu sembari menyandar ke dinding memangku gitar di paha.

Dring...

Petikan gitar mengisi kelengangan perpus. Suara gitar mengalun pelan awalnya sumbang beralih merdu.

Instrumen galau mulai mengumandang mengisi kekosongan perpus. Hanya instrumen dan sudah bikin kelepek-klepek para hawa. Gio menghayati alunan senar bikin sedih lagu yang dia bawakan.

Seorang siswi, Santi, dia jalan di luar sembari memegang laptop dan matanya fokus ke layar itu. Santi terhenti langkahnya saat telinganya mendengar alunan gitar di sisinya, lekas Santi menoleh lalu mendorong pintu itu bikin membuka lebar. Dia di ambang pintu dan matanya berkeliling mencari laras itu. Masuk ke dalam dilipat laptopnya jadi satu. Bunyi itu dari pojok belakang. Santi berbalik melihat pujaan hati sedang berkutat dengan alat musiknya.

Santi melengkung senyum berdiri menikmati alunan gitar yang merdu dari Gio yang tak menyadari seseorang di dalam menonton. Dia terlalu fokus.

Santi menghampiri juga langsung duduk disisi Gio. Dia sandarkan kepalanya ke bahunya sembari terpejam nyaman. Gio tak senyum lalu menghentikan laras gitar itu bikin perpus sunyi senyap lagi. Santi mencongak mamandang layu pada Gio akan tanya. Ia membalas pandangan itu oleh gerakan bibir yang senyum pelit.

Jari telunjuk Santi mengangkat menyentuh ujung hidungnya merangkak ke sudut mata Gio. Agak lama di sana bikin Gio tak nyaman juga tanda tanya.

"Kuhapus rasa sedih itu." bisik Santi mengusap sudut mata Gio oleh jemari.

Gio merangkul jemarinya lalu dipegang erat-erat juga pandangi dia dengan mata saling bertemu.

Keduanya saling senyum, Santi terpejam lagi menarik tangannya diletakan juga menjatuhkan pelan kepalanya ke bahu Gio, mulai tidur. Gio pun pelan mengikut menaruh sisi kepalanya pada Santi seraya terpejam.

"Kita bisa melakukan itu, melakukan untuk perbaikan." bisik Santi saat terpejam.

***

"Rumahnya sepi Bu, Gio belum pulang?" ucap Wati yang terdengar di ruang tamu kediaman Ratnasari.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang