BAB 81: MENANTANG

334 38 4
                                    

Empat bulan tengah berlangsung, tak ada rutinitas lagi. Saat si Langit berseragam putih abu, kini tak ada, tinggal kenangan dan bajunya tergantung pensiun di lemari tak berpintu.

Pagi ini tak ada aktivitas makan yang buru-buru karena takut terlambat menimba ilmu. Lega dan biasa saja.

Pelataran lantainya digerus sapu lidi oleh Wati, mengusir krerikil juga rumput. Saat ini pukul setengah tujuh. Suara burung terbang dari atas menyerbu petani yang sedang berjibaku panen padi telah menguning.

Kamar bujang. Sunyi senyap. Jendela nako kaca terbuka bikin celah sinar luar masuk mengisinya. Sunyi senyap. Burung kenari mengicau di sangkar lalu atraksi jungkir balik di batang. Sayapnya dikepak-kepak lalu pamer nyanyi merdu.

Suara dengkur halus mengalun. Dikasur, selimut naik turun di tengah. Menutup seseorang di bawah sana. Tertutup semuanya dari kepala hingga ujung kaki.

Gerakan gempa mengguncang selimut itu. Tidur menyamping membelakangi dinding. Selimut bergerak lagi. Bergerak tak tenang tersusul lenguhan.

Selimut dibuka bikin kita tahu siapa di dalam sana. Langit. Badannya tak berbenang. Wajah semu minyak dan mata merah setelah hibernasi. Kicaun burung memekak terbang dalam sangkar menyapa si empu telah bangun.

Langit garuk leher lalu lengan. Dia menguap sekali tak lebar juga tak kecil. Dia duduk. Dia alihkan pandangan menuju meja terpatri lembar kertas folio dan map cokelat.

Langit melenguh. Jakun tenggelam turun lemah. Kepalanya menunduk lalu mengangkat lagi, bibirnya digulung kedalam lalu meniup poni lekas bangun berjongkok di depan sangkar yang ada di meja.

Langit garuk pipinya saat gatal lekas menarik kantong bergambar burung juga biji-bijian. Langit buka pintu sangkar bikin kenari ternang keluar lalu hinggap di bahunya. Dia mengicau terus seraya mematuk pipi majikan beberapa kali tak sabar diberi makan.

Langit terkekeh bisu lalu, dia isi wadah minuman khusus kenari dalam sangkar bersambung mengisi wadah kosong oleh biji-bijian. Burung kenari itu masuk lagi, dia santap sarapannya.

Kicauan tak lagi hadir. Kicauan marah tapi enak di kuping. Jika kongres, bakal menang dia paling aktif. Padahal dia sedang marah tak beri makan.

Langit duduk memeluk kedua lutut seraya memandang kenarinya disangkar.

Suara guyuran air dari gayung tercipta. Langit di kamar mandi sedang menghujam badan oleh air. Guyuran beberapa kali tergelar bersambung lenguhan karena dingin.

Denting sendok perang lagi mengisi hening suasana makan. Nurojat makan tenanh melahal kerupuk putih lalu qati beraut datar tak toleh pada putrinya.

Langit makan malu-malu kucing. Dia makan pelan tak gairah saat ibunya masih anteng di zona itu.

Tak ada penawaran. Wati langsung menaruh nasi dari penanak ke piring Langit lalu disisi sayur kangkung pavoritnya itu.

Langit tatap si ibu dengan wajah bersalah. Ingin bibir berucap namun apa daya, sifat dingin antipati ibunya bikin Langit enggan. Menelan obrolan pahit dalam tenggorokannya.

Nurojat pandang Langit lalu beralih pada Wati. Keduanya sibuk menikmati makan tanpa obrolan kayak dulu.

Kerupuk dimakan habis Nurojat. Suara renyahan itu sedikit membungkam perang sendok dipiring.

"Bu Ratna bilang, katanya mau ke Surabaya." Nurojat memulai obrolan kala sunyi masih berkuasa.

"Iya. Ibu tahu." sahut datar Wati badannya tegap. Sorot matanya lurus ke piring miliknya.

Langit pandang Nurojat oleh tanya penasaran. Namun tak ikut obrolan.
"Sepertinya bakal lama di sana." Wati menanggap.

"Gio ikut."

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang