BAB 40: GUNUNG

474 71 0
                                    

Langit duduk di batu seorang diri menikmati sarayu sore yang dingin. Angin sore membelai helaian daun padi yang kini sudah rimbun berdaun hijau. Airnya setengah surut. Celah-celah mereka terisi oleh daun padi yang saling menutupi satu sama lain.

Hamparan sawah terpikirkan layaknya sabana yang ditumbuhi rerumputan lembut.

Terik menjadi redum. Sinar oren hangat yang sedari tadi menyinari Langit gata menjauh menyisakan angin sore berdingin ini.

Gemuruh guntur di langit menggelegar. Langit tersentak. Dia bukan takut hanya saja terperanjat. Kilatan kian terdengar beberapa kali mengerikan jika dilihat oleh mata telanjang dan didengar. Guratan seperti pena di kertas putih namun tintanya oren di langit lalu mengeluarkan dentuman mengerikan.

Angin kian besar menggilas padi membuatnya elok seperti gemerisik rumput gelagah. Langit terduduk memegangi lututnya. Pupil hitam menatap lurus-lurus. Wajah kesedihan itu tersurat tanpa diceritakan.

Rinai mulai berjatuhan dari langit-langit. Satu tetes air mengenai kemeja putih Langit merembes lalu menghilang menyisakan butir kehitaman yang lenyap.

Dentuman itu hilang berganti oleh hujan yang mengguyur tanpa ampun. Langit berbusana lengkap yang hangat sekejap basah kuyup dengan posisi yang tak berubah.

Surai hitam berubah lepek dan terkulai tak angkuh pamer tampan saat si air menghujaminya hingga tak berdiri menutup kepala.

Poninya tergerai menutupi setengah dahi.

Lama Langit di sana, tak pun sedikit beranjak sekadar meneduh. Yang kita dengar hanya sedu-sedan tiba-tiba. Dia menyeka air matanya yang deras tercampur hujan.

"Langit!" suara wanita memanggil dari belakang namun tak juga Langit menoleh.

Wati dengan payung dipegang tangan, berdiri di belakang Langit di jalan setapak. Roman gelisah akan si bungsu tak kunjung pulang menghancurkan rasa kecewanya saat putranya tersandung kasus buruk di sekolah.

"Buat apa, Mamah, kesini." Langit tak senang.

"Ayo, pulang." ajak Wati tak melangkah lebih mendekat.

"Buat apa? Langit malu udah bikin Mamah kecewa," gumam Langit rada menggigil.

Wati melangkah dekat, duduk di sisi Langit dengan roman tak tega tergurat rasa penyesalan. Wati mengusap punggung Langit yang basah lekas meneduhi Langit oleh payungnya.

"Teduhi kepalamu oleh payung. Aku enggak mau bikin Mamah sakit gara-gara aku." Langit menatap lurus-lurus.

Wati mendekap putranya amat hangat mengalahkan si dingin hujan.

"Pulang, Mamah enggak mau kamu sakit." Wati berbisik.

"Aku bikin Mamah kecewa. Bikin Mamah malu akan prestasi buruk di sekolah." Langit masih demikian.

Wati mengecup rambut kepala Langit sembari mendekap hangat tak peduli baju beliau jadi basah.

"Mamah, amat ... bangga." Wati tampak ragu berucap.

....

Suara kokokan ayam kampung jantan mengalun merdu disalah satu kandang milik tetangga. Suara burung pipit terbang bergerumul diatas langit sedang menyingsing menuju siang.

Angin pagi ini amat pelan-pelan. Bahkan tak sanggup menggoyah pohon kelor rimbun daun disisi rumah Langit yang bahkan daunnya kecil-kecil.

Desa yang ramai oleh suara alam dan seruan dari petani ibu-ibu yang sudah bersiap menuju sawah berbandar hidup.

Pagi ini, Langit tak sekolah. Hari ini tanggal merah. Langit sepagi ini hanya diam berbalut kaos abu dan celana levis selutut memamer paha tanpa bulu.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang