Terpikir status Langit bersama gadis cantik berselfie dengannya. Itu aneh. Dalam benak Gio tergurat sejuta tanya untuk Langit. (Apa memang benar jika Langit melakukan itu? Melakukan sesuai apa yang diucapkan di batu waktu lalu?) Gio memegang kepalanya bimbang.
Sepatu converse memijak jalan aspal. Satu demi satu langkah yang mengudara lalu memijak tanpa sabar. Memijak emosi menggilasnya. Tak perduli jika bawah sepatunya lama-lama bisa bolong.
Pohon bertebaran di tepi jalan. Udaranya beda kali ini. Saat Gio keluar dari gerbang sekolah menuju belakang, panas matahari amat mencekik. Panasnya terasa dirambut kepala yang panas seperti di oven.
Untungnya semuanya berakhir saat disamping sekolah berjejer pohon tinggi meski daunnya sedikit, tapi pohonnya banyak menutup celah sinar itu.
Gio memasukan kedua tangannya kesaku celana, (Seperti cogan yang banyak diceritakan di cerita lain.) Bukan! Gio jarang melakukan itu. Dia hanya bosan. Bosan karena kesepian.
Gio mencongak ke samping, gedung sekolah dua lantai di tepinya yang sudah dikelilingi dinding, atasnya berkawat agar siswa bandel tak berani kabur.
Angin dingin. Disebut sarayu. Menerpa poni ganteng Gio. Hanya satu libakan tak banyak. Tapi sudah bikin Gio makin tampan.
Seribu langkah. Gio jalan di sana. Jalan di tanah yang selalu dilalui masyarakat rumahnya di sekitaran sini.
Sungai sedang, airnya kecil tapi bening. Ikan-ikan berlari sana-sini di dalam kubangan sungai itu. Gio berjongkok sekadar merhatikan akan kesepian kegabutan yang hakiki.
Gio memejam mata, terasa bosan. Arloji menunjuk pukul setengah satu siang—artinya sekolah sudah bubar sedari tadi. Gio tak pulang. Dia jemu.
Badannya mengangkat ke atas, berdiri amat lunglai, lalu menguap ganteng. Gio jalan lagi kali ini sepatunya memijak jalan beton. Pohon jangkung tadi tak ada terganti oleh salak berjejer ditepi. Tak ada buah, hanya pohonnya saja dan daunnya banyak, berduri dan kesan jahat.
Dua pohon mangga, di bawahnya teduh dan ada rumput gelagah yang tak rancung, daunnya terbelai angin sesekali saat dia datang mengganti udara. Tempat itu, belakang sekolah, saat Langit berdiam bersama Gio di sana. Saling pandang dan Langit kala itu cemberut.
Gio terpegun lalu menyandarkan punggungnya ke batang pohon.
Gio merhatikan pohon di seberangnya. Tak jauh, jaraknya dekat. Dulu, pohon itu bersandar seorang pria bernama Langit. Posisinya sama seperti Gio, menyandar sembari berhadapan dan saling pandang.
Gio merhatikan itu, bola matanya terpancang tak putus, lekat kearah itu. Padahal, buat apa dia lakukan itu, semuanya tak akan berhasil, seseorang tak akan muncul di sana.
Kecuali dia telepon lalu suruh datang dan itu terjadi.
Gio agak lama di posisi itu, bibirnya bergerak tak lama mengukir senyum. Senyum renjana. Renjana itu adalah: rasa hati yang kuat.
Seseorang itu gata. Dia tak kembali dan entah kapan dia kembali. Dia sudah berada di tangan seseorang yang mengadu nasib oleh citta dusta.
Gio berkata dan berterus terang soal perasaan memaksa tapi pria manis itu masih bersikukuh soal egonya. Dia pergi meninggalkan si Gio yang saat ini kesepian.
"... aku tahu kenapa kamu enggak pernah panggil aku oleh kata sayang. Itu karena kamu telah tahu, sayang kita hanya sementara, tak ingin membekas lalu hilangnya lama." tukas Gio senyum getir.
Gio menegakkan punggungnya. Entah saat itu ada debu terbang hingga mengenai mata yang bening, mata Gio memercik derai, tak tumpah memang, tapi berkilau, basah dicium debu. Gio merangkak mendekat ke pohon seberang itu, matanya menutup pelan lalu bibirnya maju, mengecup pohon itu sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Langit [BL]
أدب المراهقينDUA siswa terjebak dalam cinta tabu. Gio dan Langit. Gio mengincar Langit sejak kelas sepuluh SMA sejak perasaan menyukai itu bermulai. Langit manis bikin kepincut Gio berhasil menjadi pacarnya meski tersentuh masalah. Bully juga tuntutan ingin beru...