Gio memunguti kertas novel yang dia robek waktu lalu saat emosinya tak bisa dibancang. Kertas berserak tak jelas aturannya mana, terkumpul di meja komputer,garuk-garuk kepala memegang seutas kertas terisi kata-kata yang kepotong, Gio mendengkus lalu dengan telaten merekatkan kembali cover novel itu oleh lem solatip bening.
Gio berdecak kesal. Dia meniup potongan kertas yang berserak di meja, seketika kertas itu bertabur menyentuh lantai. Gio senyum seringai dirasa tak peduli. Gio memegang cover buku yang kini rapat kembali oleh lem solatip. Meski kusut dan rusak, kata Garis Untuk Langit masih jelas. Gio semringah berdiri menyisakan kursi kantornya mundur beberapa inci.
Gio menuju rak dinding, dia mengambil gunting lalu kembali kemeja tadi, dia menempelkan kertas cover itu di dinding lalu dirapat oleh lem solatip di empat ujungnya.
Gio menghela napas lega lalu mengempas diri di kasur besarnya. Dia telungkup dan mulai tidur.
Kedua mata itu memejam agak lama terekam keheningan di ruang kamarnya. Suara ibunya dan seseorang di bawah. Gio membuka matanya, mendengar obrolan yang menembus.
Kaki melangkah—memijak anak tangga menuju atas—buru-buru menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya seraya tidur meringkuk.
Suara derit pintu terlantun ketika pintu itu membuka setengah lalu melebar semuanya. Kaki berbungkus kaus kaki polos hitam terlihat di lantai lalu melangkah mendekati pria yang pura-pura tidur.
Sosok itu berjaket parasut juga bercelana Jeans hitam, tertangkap saat Gio mengintip dari celah selimut tebal.
Seorang pria dan tentu Gio mengenalnya, Gian, pria itu, kakaknya. Kakak garang dan pernah menyiksa batin saat di toilet akan kengerian soal orientasinya terpergoki.
Gian berhias roman menyesal, tak ada roman marah seperti saat kita lihat betapa seram nan merah dipuncak emosi dulu. Kini roman kuning langsat itu tergurat ramah, duduk ditepian kasur memandang nyesal si adik yang meringkuk di dalam selimut. Tak ada gerakan, hanya tenang seakan dia benar-benar luput soal dunia mimpi.
Tangan mengangkat dan jemarinya menyentuh kepala terbungkus selimut itu. Pelan, jemari itu membelai dan turun lalu naik memberikan kasih sayang. Tak ada gerakan merespons dari selimut, hanya tenang dan angkuh.
"Gio," lirih Gian senyum nyesal dan mengusap kepala Gio yang tertutup.
Beberapa detik usai, tak ada jawaban dari adiknya. Dirasa dicampakkan dan rasanya tak enak. Gian memalingkan pandangan kearah lain, kearah potongan kertas yang berserak di lantai sisi meja.
Gian berdiri tak lupa mengukir senyum. Senyum entah apa. Tak bermakna. Hanya ambigu. Langkah tenang di kamar bujang, lengang tak ada suara, entakan kaki mendekap lantai vinyl saja tak berbunyi. Benar-benar sunyi senyap. Bayangan Gian tertangkap di lantai cokelat tepi meja komputer. Bayangnya seseorang tengah berjongkok.
Jari-jemari turun memungut kertas itu, kalo dilihat kertas itu seperti mainan anak dulu dibikin hujan salju di negeri tropis. Mustahil. Tak ada salju di negara panas seperti kita apalagi di garis khatulistiwa. Khayalan anak dulu memang jauh melampaui anak dewasa yang berpikir keras dan minim imajinasi. Tak Penting. Kita balik lagi.
Memungut seperti seonggok batu, hanya saja datarannya repui dan akan melebur jika terpercik air. Kertas itu Gian pegang dan terjiplak bait narasi novel. Gian merapal dalam batin lalu mengambil robekan kertas lain. Menggabungkannya membuat kata tak selaras. Amburadul kemana-mana. Gian menegak leher lalu menoleh kebelakang mendapati si adik masih betah di dalam tudung panas selimut itu.
Terasa gerah apalagi di siang bolong begini. Seperti sauna, lama-lama banjir peluh disekujur tubuh. Gio rasanya tak acuh. Gian salut. Pandangannya mungkin saja asiknya jadi putih karena sering sauna di dalam kasur. Masuk akal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Langit [BL]
Teen FictionDUA siswa terjebak dalam cinta tabu. Gio dan Langit. Gio mengincar Langit sejak kelas sepuluh SMA sejak perasaan menyukai itu bermulai. Langit manis bikin kepincut Gio berhasil menjadi pacarnya meski tersentuh masalah. Bully juga tuntutan ingin beru...