Langit meniup poninya yang mulai menjuntai. Dia mendongak pada gawai yang tergolek di meja sedang dicas. Ia ke sana lalu menaruh dagunya ke alas meja, memiring kepala memandang luar gawainya beberapa kali merapatkan ke telinga.
Langit garuk leher lalu garuk kepala disusul decak mulut lantas menghela napas lalu rebahan di kasur sembari menggulir layar gawai terpajang selfie beribu gaya. Dia kembangkan senyum riangnya mengecup foto Resti.
Langit mengingat bayangan Gio yang datang sepihak di kepalanya lalu kepalanya ke samping diikuti kedua matanya memejam kuat tak ingin bayangan itu hadir lagi.
"Ayang ...," desih Langit tulus.
Langit mengatur napasnya yang sesak lalu terduduk dan menyandar ke dinding. Ia memejam mata lekas menoleh gawai tergolek menampilkan foto Resti. Langit muak dia balikan gawai itu hingga terlihat cover saja.
Bayangan apa itu? Langit menggertakan giginya kala malam sembari duduk di kursi panjang di luar. Jalanan terisi mobil berlalu-lalang tak acuh lalu menampar oleh angin. Langit menunggu seseorang juga tak tahu orang siapa itu?
Kursi itu seperti—paralon yang besar ada tiga—dibikin lengkung ke bawah sisinya menghujam lantai semen. Warnanya kuning dan ada tiga di sampingnya.
Gawai dipegang tangan menjuntai ke bawah langsung bergetar seseorang menelepon. Langit mengangkat tangannya seraya melihat layar gawai. Jemarinya menggulir lalu dirapat ke kuping.
"Beb?" sapa Langit bernada biasa.
"Kamu belum tidur?"
"Belum. Maaf, tadi aku tidak balas pe-"
"Sttss. Lupakan saja. Aku mau ngomong sesuatu,"
"Apa?"
"Kamu kuliah?"
"... enggak. Aku akan langsung kerja."
"... aku mau bilang sesuatu, sesuatu soal—keseriusan."
"Soal...?"
"Kamu ingat soal Jombang?"
"... iya?"
"Aku akan jujur suatu hal, dan semoga kamu tak kecewa."
"Kecewa apa?"
"Ingat soal rumah dan juga—Ibu?"
"... iya?"
"Ingat soal ... masa kecil?"
"... ya,"
"Terpikir jika semuanya hanya kisah kecil."
"Aku enggak paham."
"Kamu sendiri?"
"... ya,"
"Apa kamu sebelumnya dekat gadis lain?"
"Belum pernah."
"Baiklah."
"Ada hal apa yang ingin disampaikan?"
Lama tak dijawab pertanyaan Langit.
"... aku, kangen."
Langit senyum, "Aku juga. Kita ketemuan besok gimana?"
"... maaf, Ngit, keknya besok aku enggak bisa. Nanti ada program ekskul."
Langit tersurat kecewa lalu diganti oleh roman biasa.
"Enggak apa-apa."
Pagi itu pukul tujuh lewat delapan menit. Sepatu converse memijak jalan aspal satu-satu ditepian dibatas cat putih. Langit berpegang kedua tali ransel gendong terasa anak TK jika dipikir. Motor juga mobil tak sabaran mengambil jatah pagi tak ingin habis setoran. Mengebut juga melesat, menebas tak acuh udaranya terlempar orang pejalan kaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Langit [BL]
Teen FictionDUA siswa terjebak dalam cinta tabu. Gio dan Langit. Gio mengincar Langit sejak kelas sepuluh SMA sejak perasaan menyukai itu bermulai. Langit manis bikin kepincut Gio berhasil menjadi pacarnya meski tersentuh masalah. Bully juga tuntutan ingin beru...