BAB 24: STUPID

711 96 0
                                    

Kali ini Langit dibonceng Gio menuju sekolah. Kejadian itu selalu terulang sejak keduanya memulai hubungan sebagai kekasih. Berpelesir di bahu jalan melewati tiang-tiang bendera berkibar yang berkibar.  

Langit menyanyi bersama Gio sepanjang perjalanan, bercerita dia menggendong Gio dulu sesak napas memantik gelak tawa keduanya pecah.

Sepedanya tiba di sekolah dan masuk ke dalam halaman, memarkir bersama motor lain karena pelajar sini jarang pakai sepeda seperti Gio.

Kinan bersama Raka dan Nurul berkumpul di bangku Langit, mereka menunggu dua sejoli itu. Dua keranjang berisi dagangan baru siap dijajakan.

Gio penasaran. Dia membuka penutup keranjang itu terpajang dadar gulung dan pangsit.

"Boleh coba enggak?"  Gio tergiur dadar gulung.

"Boleh. Menu baru dan kewujud. Darlungsin!" seru Nurul.

Langit mengernyit. "Dadar gulung asin?"

Nurul menganguk, "Jangan dilihat dari namanya. Sok rasain enakk banget!"

Gio mengambil dua dan satu diberikan pada Langit. Keduanya sama-sama makan bersamaan. Awalnya Gio dan Langit tak berekspresi, lama-lama Gio menaikan alisnya. Gio memberikan jemarinya tanda enak. Langit enggan mengkritik. Indera perasanya masih menilai.

"Enak, hehe." puji Langit senyum.

"Kita ke mana jualnya?" seru Kinan.

"Biasa, lah, ke SMP dulu baru ke SMA, ok!" tutur Raka.

"Gi, sini!" panggil Zidan di bangkunya.

Gio berpamit pada Langit dan teman-temannya.

Langit duduk bersama Raka. Dia  menurunkan ranselnya, memasukannya pada kolong meja yang kosong.

Jari-jemarinya merasakan sesuatu, sebuah kertas di kolong meja. Dia menariknya. Kertas memampang bait-bait kata:

'Halo cong! Dasternya mending pake deh biar makin cuco! Salam Anwar.'

Langit memutar kepalanya ke bangku Gio, dia sedang bercengkerama bersama kedua temannya.

....

"Nurul, apa paham?" tanya Bu Ai selaku pelajaran bahasa inggris.

Nurul menganguk ragu.

"Loading, Bu! Haha." cibir Anwar disusul teman lain yang ikut tertawa mengejek.

Nurul menunduk dirasa benar. Kinan mengusap punggung Nurul menenangkan.

Tiga temannya menjajakan jualannya menyusur sekolah dari tiap kelas. Ada yang beda dengan Langit dan Nurul keduanya murung sama-sama tak bergairah, diam membisu menunduk kepala. 

Kinan memegang plastik untuk bungkus darlungsin.  Dia melirik Nurul yang sedari tadi tidak mengobrol. Kinan mengusap punggung Nurul lalu Nurul menerima itu tapi tak sedikit pun mengangkat kepalanya. Nurul terisak,  Kinan terkesiap buru-buru menenangkan dengan mendekapnya.

Gio si pemimpin penarik perhatian. Dia mendengar Nurul terisak. Alihan tatapannya pada Langit yang mendapati pujaan hati diserang virus yang sama. Mereka duduk di tepi koridor yang acap diduduki pelajar.

"Nurul, kamu kenapa?" Raka panik.

"Langit?" Gio sekelebat menuju Langit menyentuh bahunya tapi keterimaan dia dibalas usiran.

Langit menepis tangan Gio dia tak pun menatapnya. Semakin Gio berusaha merangkul, semakin wajahnya terdayuh.

"Langit kenapa?" Kinan panik.

"Enggak kok. Cuma merasa sebal aja." kelit Langit.

"Ini pasti gara-gara kemarin!" tukas Gio tersulut emosi.

"Gi, tenang jangan dulu," Kinan menenangkan Gio menegang rahang.

Gio mengusap kepala kekasihnya agar merasa tenang. Dia menerima meski disangka kucing rumahan.

"Langit bisa ceritain siapa yang bikin kamu kaya gini?" Gio memegang kedua bahu Langit menatap akan kerisauan.

Dia menggelengkan kepalanya pelan dirasa payah jika menjawab.

"Ini ulah si Anwar!" tukas Raka menuduh pasti.

"Langit benar?" lirih Gio.

"Aku tak enak badan." kelit Langit senyum getir.

"... Hmm?" gumam Gio.

Langit mengubah murungnya oleh ceriaan. Dia menegakan kepalanya yang tadi menunduk seperti tak ada penyangga, memberikan wajah berbinar dan senyum merekah.

Langit menuju Nurul. "Kamu jangan sedih. Kita sama-sama berjuang dan harus ingat, setiap orang yang buruk akan ada balasannya."

Nurul tenggelam akan dekapan Kinan,  dia mendongak pelan pada Langit, memberi senyum angukan.

"Kamu juga, ya." kata Nurul.

Langit menganguk.

***

Ratnasari memasuki kamar Gio bersama keranjang baju dipangku. Beliau menuju lemari terbuka memasukan baju Gio digantungan baju. Satu-satu memulai menggantungnya setelah dilicin setrika.

Beliau menuju meja belajar Gio yang terpatri layar komputer. Duduk memegangi kedua pelipis kirinya agak pening lalu menarik laci bermaksud mengambil minyak angin. Namun sebuah kotak cincin abu didapatnya. 

Beliau meniliknya. Sesekali menaut alis kepemilikan kotak cincing. Dibukanya tutup cincin itu terpajang satu cincin abu dengan manik kecil berkilau di tengah. Beliau memegangnya meletakan kotak kecilnya di atas meja menilik saksama.

"Tunangan?" gumamnya.

Beliau meletakan kembali ke laci Gio lekas mengambil minyak angin yang beliau dapat di dalam laci, buru-buru memolesnya ke pelipis kiri kanan.

....

"Beb, makan, ya." Gio meletakan semangkuk nasi uduk hangat terbungkus sterofoam di ruang perpus yang lengang.

Langit melihatnya tak gairah pada dua kotak sterofoam berisi nasi uduk yang hangat.
"Kamu aja. Enggak lapar." tolak Langit datar.

"Kamukan belum sarapan, Beb?"

"Kata siapa?"

"Kata Mamah kamu!"

Langit mendelik lalu ketawa kecil.
"Au, ah."

Gio senyum mengusal sekali rambut Langit untuk kesekian kali. Dia membuka tutup kotak nasi uduknya mulai menyendok nasinya melayang-layang ke udara bermaksud menyuapi Langit.

Langit yang jengah merasa dipermainkan seperti anak kecil, dia mencondongkan kepalanya melahap sendok Gio lalu menguyahnya menyukai paksa.

Gio ketawa riang. "Lagi?"

Langit merebut sendoknya lekas membuka kotak nasi uduknya mulai menikmatinya segera.

"Bukan teman semata seperti ... ada hubungan lain." gumam perempuan yang mengintip dari celah kunci luar perpus, dia Wulan.

Dia senyum seringai.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang