BAB 26: TIM TERBAIK

577 89 4
                                    

Tali simpul sepatunya terikat rapi. Langit berseragam putih-putih PDL palang merah di lengan bahu.

Sebuah name-tag yang dijahit rapi di dada kiri dan sebuah syal oren. Langit menjinjing tas merah P3K menyusur jalan setapak tanah lalu.

Jalan kaki tak naik angkot. Bukan tak ada uang hanya saja Langit sudah biasa dengan rutinitas itu. Temannya Bayu menemaninya bersama untuk tiba ke sekolah, dia menyemangati Langit agar semangat tentu juara.

Langit di sekolah. Rinai tiba-tiba menguyur dari langit redum. Sekejap lantai lapang terbasah oleh hujan. Hujan terbawa angin mengirima.

"Dinginn," Langit mengempas pantatnya di kursi berlaga menggigil.

Raka di sisinya, sekilas melirik sembari memegang buku paket sejarah.

Rambut Langit terpenuhi oleh embun rinai yang hinggap di kepalanya seperti telur kutu bersemayam nyaman. Dia gerakan kanan-kiri kepalanya bikin embun terlempar ke udara. Raka yang kena semprot otomatis memejam mata terkena ambaian darinya.

"Tumben telat?" tanya Raka.

Langit mengedikkan bahunya seraya merapikan baju sedikit basahnya.

....

Suasana tenang hanya suara diisi kicauan burung gereja yang bertengger di kabel, terlihat dari celah ventilasi kelas. Bu Titin selaku guru SBK menulis buku absensi di mejanya. Sementara semua pelajar sibuk menyalin tulisan dipapan tulis dibuku masing-masing.

Langit antengnya menulis tak ada seruan darinya. Dia menyalin dengan telaten. Tulisan rapi berisi paragraf baris memenuhi setengah buku putih.

"Ngit," bisik Raka pada Langit. Langit berhenti menyalin, dia menoleh.

"Hmm?"

"Semangat!"

Langit kembali menyalin. Dia menganguk.

....

Bel berdering nyaring menunjukan pulang. Hari-hari penat telah usai. Semua pelajar berhamburan seperti lebah terkoyak sarangnya. Semuanya berha saling bersahut di lapang ada yang dijemput oleh motor ditunggu kekasih ada juga yang jalan kaki semuanya lengkap.

Kelas pelan mengosong hanya tersisa; Kinan, Nurul, Raka, dan Gio. Langit masih sibuk dengan aktivitas nyalin aritmetika, meskipun ia tak bisa mengerjakannya, sekiranya masih ada niat untuk menyalin.

Gio duduk di bangkunya merhatikan Langit dengan tiduran. Kepalanya menyamping dan lengannya dijadikan alas bantalan.

Gio melihat setengah wajah Langit yang manis anindita. Hidungnya mancung sedikit pesek tapi pas. Apalagi bibir ranum Langit merahnya alami. Gio di bangkunya merhatikannya lekat-lekat sama seperti dia merhatikan Langit sebelum jadian.

"Haii," Sapa Gio menuruni anak tangga menuju kelas bawah yang kosong untuk latihan PMR.

"Apa?" Langit menyahut datar.

"Aku bantuin?" tawar Gio melihat Langit menjinjing tas besar P3K.

"Aku bisa sendiri!" Langit tak mengenakkan.

"Uwuu." seru Kinan kenes di belakang.

"Haha iya, nih, gue semenya haha!" timpal Gio bikin Kinan membelalak mata.

"Serius!" Kinan terkesiap.

Langit, Kinan, Agus bersedia di lapang dengan Gio menjadi bahan uji percobaan sebagai korban patah tulang. Dia telentang pura-pura merintih nahan sakit.

Pandi ketua ekskul memegang stopwatch untuk menghitung jalannya operasional.

"Kalian siap?" Pandi memegang stopwatch.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang