BAB 67: AMAT BERAT

258 40 0
                                    

Pagi dan belum hadir matahari yang muncul bundar dari balik gunung. Suara mesin motor bising dan lampu sorot menerangi jalan cor. Menukik dan menanjak. Langit di jok belakang berkaos kemarin malam. Dia anteng juga merapat dada ke punggungnya ayah Resti. Kala itu tak ada matahari seperti disinggung di atas, kelabu campur putih oleh awan di langit.

Ban menggilas jalan cor menyingsing bersama dingin. Air mengalir dari jalan setapak tanah di bawahnya pesawahan ditumbuhi padi seumur jagung. Daunnya repui juga lunglai.

"Makasih, Pak." ucap Langit dibarengi senyum manis. Ayah Resti menganguk banting stir menuju tempat tadi, pulang.

Langit ditepi jalan mematikan lampu sorot belakang yang mulai jauh lalu hilang. Hilang berarti meninggalkan. Gata terbawa ban yang mengganjur juga menggilas jalan aspal hitam legam itu.

Suara mendesing kala jalan sunyi hanya terlewat motor hanya saja mesinnya tak ribut seperti milik orang itu. Suaranya ramah tak garang juga berbisik layaknya balapan di zona sirkuit.

Langit di sana, di tempat itu juga terpaku badan tak ditendang angin. Seperti patung matanya concong menuju itu lalu kepalanya menunduk juga bibirnya mengukir senyum lagi lekas membalikan badan menyusur jalan tanah setapak yang kerap dilalui roda dua. Yang dulu kita dengar: petrikor kala hujan reda.

Pelataran rumah berhias lampu neon. Si jago bekeruyuk di kandang dan suara itu dari ayam tetangga salah satu rumah yang teras juga halamannya di isi lampu teram-temaram. Langit jalan pelan ke teras. Terbersit takut jika dimarahi sang empu secara gamblang enak dahi pulang tak banyak kabar sejak kepulangan sekolah. Sekali pun dia laki-laki, Langit masih takut.

Pergi lalu hirap saat debat panas tak kunjung mengalah di sudut kamar lalu. Namun, dilihat dari wajahnya sedikit menguar rasa takut juga gelisah. Hanya seperempat.

Daun pintu dipeluk oleh jari jemari yang menjamah lalu diputar ke bawah. Suara derit pisah dari penyangga kunci terketak. Timbul celah suasana dalam terpajang lampu remang lampu neon. Sunyi senyap juga tak ada orang juga tak ada suara memekak telinga kala kemarin.

Pintu membuka setengah saat Langit mengganjur niatan untuk beranikan diri masuk tanpa mengendap bak maling. Dua langkah juga langsung terhenti. Badannya terhipnotis tegap dan kakinya tak langkah lagi.

"Ke mana aja. Mamah sendiri." Wati di sisi, di sofa.

Langit beranikan diri dengan geser bola matanya ke kiri melihat juga mengetahui ibunya sedang apa. Wati terduduk di sofa teranteng sembari memetik kangkung juga terdapat wadah dipenuhi lubang kecil jumlahnya banyak ditaruh dipangkuan.

Wati dingin tak ada siasat kejanggalan apa pun. Beku juga nikmati sunyi pagi. Tenggelam akan kangkung yang dia petik juga setengah habis dikantung plastik bening yang terjelampah di meja.

Bunyi ketak-ketik hanya sedetik lalu terulang dari sebuah jam yang menempel di dinding. Langit teringin menapuk benda itu. Terasa bikin suasana makin cengkam saja.

"Langit di rumah Resti. Langit nginap. Langit jemu kicauan kakak." alasan Langit memberanikan diri.

Wati berhenti memetik kangkung lekas mencongak pelan menatap roman terjiplak gelisah akan putranya. Wati mengangguk pelan dikit senyum.

Langit kembali melanjutkan jalannya tak pun membalas senyum kebolehan soal selamatnya dia tak dibungkam oleh cerocosan Wati kala putranya seenak udel pergi tak pulang sangkar. Pintu didorong juga langsung membuka celah ditepian.

Langit melepas kaos lalu dia hirup aromanya. Langit bingung. Aroma itu aneh. Mengingat aruminya mirip saat dulu dia menghirupnya. Alisnya bertaut dua detik langsung hirap tak terulang. Langit lipat kaosya lalu ditaruh di meja. Tubuh polos juga tak ada otot. Langit tarik handuk yang menggantung dipunggung pintu yang tegak lalu dia taruh dibahunya yang kokoh tapi juga repui jika ditaruh benda berat.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang