BAB 56: MERASAI

292 42 8
                                    

"Mampir dulu ke rumah," tawar Langit saat tiba di tepi jalan diantar pulang oleh Raga.

Raga mengacak sekilas dengan gemas rambut Langit seraya, "Nanti aku akan ke rumah kamu, sekarang akunya enggak bisa. Maaf, ya. Eh, makasih udah nemenin aku, hehe."

Langit menganguk mengiyakan.

"Dah, Ngit." Raga pamit bersama motor hitam gedenya, derum motornya menggelegar.

Langit datar lalu mulai jalan menuju rumah. Dia merebah diri di kasur seraya memikirkan hal lain. Sesuatu yang terulang.

Langit bangun, dia mengisi ulang baterai gawai yang mati kehabisan daya. Langit mencolokan lubang charger ke lubang micro tipe C lalu animasi baterai lowbat 0% terpatri di layar legam.

Langit mengunci pintunya lalu melepas bajunya hingga menyisakan badan pelontos. Langit merhatikan tiap inci tubuh itu. Langit mengangkat tangannya terjiplak ketiak tanpa bulu.

Langit meraba dagunya tak ada secuil bulu yang menempel.

"Harus ada bulu, biar Resti makin kesengsem. Tapi ... gimana caranya?" Langit garuk kepala lalu merebah diri di kasur. Dia akan tidur.

Langit terus gerak didalam selimut mencari titik nyaman. Beberapa kali lakukan itu lalu gagal. Dia jengkel. Lalu bangun dan melihat jam dinding menunjuk pukul delapan malam.

Langit menuju meja menengok gawai baru terisi 8%, Langit geram. Langit merebah paksa pada kasurnya lagi. Lalu tidurnya meringkuk dan berubah lagi telentang. Langit jemu. Muak. Langit mendengkus berdiri melakukan lari keliling kamar, loncat-loncat terakhir push up. Baru dua kali sudah menyerah. Langit capai napasnya berat. Langit ketawa. Dia kembali kekasur lalu merebah diri sembari ditemani hembusan napas berat keluar dari gorong-gorong hidung.

Pelan, Langit luput akan tidur. Hembusan napas berat berubah ramah memudar lalu hilang tak bersuara. Langit sudah tidur dan mungkin sedang di dunia mimpi saat ini.

Malam itu sunyi lalu gemerisik hujan diluar terdengar. Sayup-sayup seperti rinai tak besar. Langit tak bangun akan sadarnya hujan. Hujan diluar berubah lebat disusul guntur gemuruh terlukis dilangit gelap. Suaranya mencekam bikin orang tarik selimut tubuh di kasur empuk. Dingin juga takut. Angin menggoyah lampu neon disisi kamar Langit. Terombang tak tenang bikin serangga kecil penyuka sinar saling terbang dicahaya itu, terasa terusik oleh dersik.

Derit seng berkisar-kisar mengebrak di kamar Langit. Seng itu tak dipaku entah terlepas jauh lalu. Lalu angin itu hilang berubah hujan sedang yang banyak disuka. Tak berkecamuk bikin orang takut.

Udara dingin beku menjalari sudut ruangan. Dingin menusuk ke celah kosong sela-sela Langit. Celah bawah pintu kamar Langit berhembus itu seperti AC, temponya seakan sarayu. Langit yang nyaman di zona itu tak pun merasa tergangu, malah tenang tak tahu sekitar. Dia tidur juga meringkuk.

Roman seseorang tertidur kala capai, letih, juga lunglai. Roman itu polos juga lemah. Bibir tipis kemerahan agak kering tak terlumas air, bergerak sesekali lalu membisu tak lagi.

Gemuruh guntur langit shyam kembali lagi. Suaranya sedang tak bikin takut. Langit menangis dan airnya bikin genangan di pelataran. Tumbuhan serai di pinggir halaman tenggelam setengah oleh air.

Satu tetes, dua hingga entah berpuluh, membasahi lantai keramik Langit. Langit bergerak badan dirasa bosan diposisi itu, dia menyamping menghadap tetesan. Setelah meringkuk menghadap dinding.

Tempias temponya satu detik. Menyiprat batang hidung dan pipi. Beberapa kali bikin Langit terbangun. Kedua mata itu membuka sayu, pupil hitam menangkap frame tempias.

Langit bangun lalu menuju dapur di keadaan setengah telanjang. Dia kembali membawa baskom sedang lalu segera diletakkan di sana, Langit melap lantai basah olah dari baju bekas tak dipakai.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang