"Langit, kamu PP satu, Kinan PP dua, Agus PP tiga sisanya Rifki, Ajimar, Dodi, Halim kalian tim tandu!" opsi Pandi di ruang rapat mempersiapkan acara lomba.
Mereka duduk di kursi kuliahan. Mendengar komando dari ketuanya yang punya paras tegas tapi juga barbar dan nyebelin. Pandi di depan dekat papan tulis memegang spidol mencoret-coretnya.
Langit bersisian dengan Kinan sembari menahan dagunya oleh telapak tangan. Dia perhatikan kosong.
Anggota PMR SMA terdiri dari enam orang laki-laki termasuk ketuanya dan satu perempuan Kinan selaku wakil ketua PMR. Struktur tugas masing-masing anggota ialah; Pandi ketua, Kinan wakil ketua, Langit perdivisian terampil, Agus divisi kesehatan, Halim divisi kebersihan, Rifki divisi wirausaha, Ajimar pertanduan bersama anggota lain.
"Pan, kenapa coba kita yang turun. Bukannya 11 or 10?" Kinan berargumen.
Pandi menepuk telapak tangannya satu kali.
"Kalian tahukan, kita di ekskul ini tak banyak waktu. Sebentar lagi kita purna. Enggak apa-apa sekalian terakhiran. Biarin kelas 11 atau 10 fokus belajar dan masih banyak kesempatan." terang Pandi.
Kinan menatap jengah.
"Tapi, tugas kitakan sibuk, belum praktek?" sela Ajimar berparas manis.
"Tau. Sengaja. Kalian emang enggak mau merasakan dulu-dulu sebelum purna?" timpal Pandi.
"Aku enggak mau ikut!" sergah Langit.
Semua pasang mata mengarahnya.
"Kenapa?"
Langit berdecak. "Enggak. Enggak mood!"
"Kamu harus ikut. Kamu tim PP kompak. Sayang jika tak ikut. Ini momen terakhir kita berkompetisi, Ngit!" Pandi menjabarkan.
"Dia ikut kok. Biasa hatinya lagi gundah. Terusin aja rapatnya." Kinan mengusap bahu Langit yang tak hirau.
"Kompetisi akan dilakukan di sekolah tetangga jaraknya dekat dari sini ...," Pandi memulai rapatnya kembali. Semuanya serius mendengarkan sang ketua. Hanya saja Langit yang beda dia tak sebegitu antusias. Biasanya dia paling bersemangat jika ada rapat terlebih acara-acara penting. Tapi kali ini berbeda yang biang keladinya secarik kertas berisikan kalimat menohok tadi.
....
"Ngit, kamu kenapa?" tanya Kinan saat jalan di lorong hendak pulang.
"Aku Baik-baik aja. Jangan tanya apa-apa lagi!" timpal Langit jalan concong.
"Kalo ada masalah cerita. Jangan segan sama aku, ya!" pekik Kinan yang tertinggal. Langit menoleh ke belakang senyum mengiyakan.
Wulan merhatikan keduanya saat melewatinya di koridor lantai dua. Dia mengikuti mereka secara diam-diam.
"Langit, Ayo!" seru Gio di bawah menunggu di sepedanya yang terparkir di antara deretan motor.
Wulan di atas leluasa melihat Gio di bawah. Bola matanya bergerak mengikuti Langit menuruni tangga bersama Kinan menuju Gio, mereka basa-basi. Kinan pamit duluan dan sisa Gio dan Langit yang mengobrol. Suaranya terdengar sayup beberapa kali Wulan berusaha menajamkan telinganya namun gagal karena bising motor yang berlalu lalang di jalan.
Keduanya berdialaog tawa. Gio menyibak helaian poni Langit agar sedikit ke belakang memunculkan dahi putih Langit. Penampilannya lebih manly jika Langit memangkas poninya.
Sorot mata Wulan tertuju pada Gio. Dia tergenang tanya perihal kedekatan keduanya. Terasa janggal dengan dua pria di lapang mengobrol sosweet seperti seorang gadis menunggu sang pacar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Langit [BL]
Teen FictionDUA siswa terjebak dalam cinta tabu. Gio dan Langit. Gio mengincar Langit sejak kelas sepuluh SMA sejak perasaan menyukai itu bermulai. Langit manis bikin kepincut Gio berhasil menjadi pacarnya meski tersentuh masalah. Bully juga tuntutan ingin beru...