Malam ini malam menyakitkan. Lebih menyakitkan dari hari sebelumnya. Menyakitkan karena Gio kalah soal posisi sebagai pelindung. Dia kalah menahan tangisnya.
Di lantai dua berdinding kaca penerang. Gio di sana sembari duduk memeluk lutut dan menyandar ke belakang. Sorot matanya melihat kebawah pelataran. Ibunya sedang menyapu halaman oleh sapu lidi setengah membungkuk.
"Gio," suara memanggilnya.
Gio tahu suara itu berasal dari siapa. Suara galak dari Gian. Gio tak acuh, masih diposisi itu pura-pura tuli. Mengalihkan tatapan layu pada ibu di pelataran bersapu daun kering.
Gian mendekat lalu berjongkok di sisi adiknya melayangkan usapan hangat di rambut Gio yang jarang Gian lakukan. Gio masih tak ubris, bergeming. Alis memiring setengah tanda kebencian dan emosi namun tetap saja Gian tak peka.
"Apa yang bisa bikin adikku senyum lagi. Apa yang bikin permohonan kakakmu diterima?" terdengar tulus dari Gian.
Pelupuk mata Gio menurun, melihat sayu pada Gian.
"Malu?"
Gian menunduk kepala, meresapi kesalahan itu.
"Minta maaf, Kakak tidak bermaksud bikin kamu sakit." ragu namun berhasil terlontar.
Gio dingin juga sayu, tapi juga tergurat rasa gulana bekas kemarin.
"Kakak tak perlu berkata." lugas Gio.
Gian terdiam mencerna kata-kata Gio.
Gio kembali melihat luar, kali ini mengarah pada jambu air yang sudah lebat lagi.
Ayunan hammock dan Gio di sana diatas seraya mengayun di udara dengan tenang. Selonjor kaki dan sebuah badan enak diayun pelan. Jambu air setengah gigit, dipegang tangan yang putih kuning langsat, dipegang oleh Gio di ayunan itu. Udara kala itu hangat, tak panas karena baru saja panah jam menunjuk pukul delapan pagi. Burung beo bertengger di gerbang pintu rumah tetangga, bulunya molek dan dia sedang mengepak sayap sesekali menusukan paruhnya kebulu-bulu, kegiatan burung di pagi hari.
Ayunan menggerak pelan, pelan dan nyaman jika kita berada di sana. Lupa akan waktu dan akan tertidur kala nyaman di zona itu. Gio menggulir layar gawai yang dia pegang oleh tangan kiri. Sorot matanya menikmati tayangan gulir di beranda instagram.
Gio mengetuk unfollow di akun Langit lalu senyum seringai mengukir dibibir. Jambu air setengah habis, Gio makan semuanya hingga tak tersisa.
Seorang wanita di lantai dua, tengah mengintip di jendela tempat Gio termangu tadi. Ratnasari. Wanita itu beliau. Beliau merhatikan Gio di ayunan lengang itu. Tak ada ekspresi lain selain cemas akan gelisah dihantam sebuah masalah. Sebuah khawatir.
Gian di belakang, telah siap dengan seragam kerjanya. Tanda pengenal pegawai menggantung didada dan dia sedang memasukan kaki ke sepatu pentofel.
Ratnasari menyadari, tapi tak memutar tubuh sekadar melihat putranya hendak berangkat.
Uluran tangan mengudara disisi Ratnasari, mengulur untuk bersalam. Ratnasari menyahut, beliau mengerat jari tangan putranya. Punggung tangan Ratnasari dikecup hangat oleh Gian dan Ratnasari memeluk Gian hangat seraya mengecup rambut kepalanya.
"Sugeng tindak, hati-hati." Ratnasari setengah bisik disusul senyum ramah seorang ibu.
"Gian udah minta maaf sama Gio, Gi-"
"Enggak apa-apa, dia perlu waktu. Nanti juga dia baik lagi. Ibu yang akan ngurus, kamu buru berangkat, nanti terlambat. Jangan khawatir." imbuh Ratnasari mengukir senyum.
Gian menundukan kepala sekilas, mengangguk dan pelan menuruni tangga menyisakan kenangan suara kaki dianak tangga.
Sebuah mobil di pelataran samping teras. Gio di ayunan pura-pura tidur dengan memejam mata. Ratnasari di atas tentu menangkap detik-detik putranya melakukan itu. Terpergok jika Gio tak ingin berpapasan dengan kakaknya. Wajah penuh antipati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Langit [BL]
Teen FictionDUA siswa terjebak dalam cinta tabu. Gio dan Langit. Gio mengincar Langit sejak kelas sepuluh SMA sejak perasaan menyukai itu bermulai. Langit manis bikin kepincut Gio berhasil menjadi pacarnya meski tersentuh masalah. Bully juga tuntutan ingin beru...