BAB 49: TAK HADIR

415 64 8
                                    

Angin memelan mengikut waktu yang tak bisa dibancang.

Pukul setengah tiga sore. Panasnya siang berubah sejuk. Awan-awan tipis menyatu, menarik, berbentuk gempal, bernas. Menutupi matahari yang mulai letih menyorot sinarnya beberapa jam.

Di tempat ini. Suara gemuruh air terjun masih pamer. Udara dingin kian dingin. Angin kian ngeloyor tanpa permisi menggoyah pohon timbul gemerisik daun bambu dan entah pohon apa di sampingnya yang tinggi dan rimbun daun.

Benteng pipih. Bata. Kokoh dan kuat, tangga yang kuat oleh semen yang dibangun masa kolonial Belanda. Itu hanya cerita yang kita dengar dari Langit. Dan masyarakat sekitar.

Entah apa jadinya tempat ini. Mungkin dulu tempat ini adalah singgah bagi turis sekadar rehat menikmati dingin daun dan basah tubuh di air terjun.

Entah.

Arkais.

Cerita lama bahkan Langit belum ada.

Kita menikmatinya saat ini dan tak salahnya mempelajari sejarah dulu.

Tiga sore. Langit meredup. Tak molek hanya murung seperti ogah menguar kirana lagi.

Dua sejoli. Telentang di benteng pipih itu. Memejam mata tertidur dialuni lantunan gemerisik angin.

Kedua tangan menyilang kebelakang kepala sebagai alasa bantal. Gio. Dia melakukannya.

Langit membikin lipatan celana abunya sebagai bantal. Dia memejam mata tak lama membuka terpancang langsung kelangit redup.

Redum tak bercahaya.

Tubuh naik turun memompa udara di dalam sana. Langit menoleh, menggerakkan kepalanya kesamping, melihat Gio sedang tidur.

Arumi tubuh Gio tercium segar. Baunya aneh. Tapi bikin Langit memejam mata. Aroma manis dan itu berasal dari pipi.

Langit teringin mendekat, mendekatkan lubang hidung seraya mengendus sopan mencari arumi itu. Dan benar saja setelah ditilik, wangi itu dari roman Gio.

Langit setengah bangun. Jaraknya rada dekat. Dia bisa melihat visual Gio saat tidur.

Langit mengarahkan jari telunjuknya ke pipi Gio. Dia usap pelan dan menuju spot pipi yang selalu menekuk ke dalam saat senyum.

Langit menekan sedikit dirasa penasaran dengan apa yang terjadi orang yang punya lesung pipi.

Langit menempelkan ujung jarinya di spot itu. Agak lama. Dua puluh detik. Lalu Langit tempel ujung jarinya ke pipi miliknya. Entah apa citta dia, mungkin dengan itu bisa lesung pipi menular ke pipi Langit?

Lucu. Tak logis.

Langit senyum kembali mengarahkan jari telunjuk itu membelai pelan pipi Gio. Terdengar tarikan napas seraya mata memejam. Arumi aneh. Baunya wangi. Seperti parfum manis. Rada pudar tak menyengat.

Ujung jari Langit sudah menjamah pipi itu agak lama. Puas. Jarinya mengangkat, lalu uluran daging merah menjulur tak sopan dari mulut ranum Langit.

Dia menjilatnya. Menjilat sedikit. Lalu dia senyum seperti vampir dapat mangsa dari darah segar.

Langit senyum. Senyum beda. Beda berarti bermakna lain. Kegirangan seperti dapat oleh-oleh. Dia ke posisi semula. Telentang menghadap langit biru yang redup bersama mega yang berkumpul meneduhi dua pria.

Langit menelan air liur yang rada penuh. Kerongkongan itu bergerak tapi tak nampak tonjolan secuil pun dari garis leher.

Langit memejam mata. Menikmati angin. Berusaha istirahat seperti Gio yang terlelap.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang