BAB 61: KENANGAN

322 45 6
                                    

Truk memacu kecepatannya di jalan raya membawa rombongan yang lalu. Saling berdiri di tepian sembari menyanyi sepanjang jalan. Yel-yel hingga gombalan terus tergelar. Langit duduk di depan merasa demam saat kejadian tadi. Gio di belakangnya, duduk di lantai dasar sembari melihat ke depan, tepatnya sebuah jendela sedang di belakang punggung leher truk. Langit di dalam sana terlihat kepalanya menghadap depan tak menoleh ke belakang.

Gio tergurat khawatir campur cemas soal kejadian tadi. Kejadian saat Langit hilang mendadak di air tenang itu. Tak terbayang jika dia dengan egonya yang apatis, mungkin kejadian mengerikan menimpa Langit lebih dari itu.

Kepala Langit bergerak lalu menoleh ke belakang melihat Gio merhatikannya. Gio terasa terciduk, dia memalingkan wajahnya ke arah lain pura-pura kebetulan momen itu terjadi.

Langit melihat Gio merasa pura-pura akan buruknya dia berakting. Langit membisu. Harsa terukir di wajahnya. Lengkung senyum dan sorot mata terpancang pada Gio.

Lalu Gio melihatnya lagi. Kali ini mata keduanya bertemu dalam jarak. Gio melihat senyuman Langit untuknya namun dirinya enggan membalas.

Langit kembali ke posisi semula. Dirasa tak acuh oleh Gio. Dia merapikan poni botaknya oleh jari tangan kembali memejamkan mata menikmati perjalanan satu jam untuk tiba ke sekolah.

Langit ketiduran lalu terbangun, dia membuka jendela truk melihat keadaan luar. Pohon berjejer dan pot bunga ditata rapi sepanjang trotoar. Bunga itu adiwarna jika dipandang lama.

Langit senyum lalu wajahnya tergurat ceria lagi. Tak seperti lalu—yang bisu datar juga murung. Kalo ini—wajah itu berbinar lagi terisi  keceriaan.

Truk itu tiba di sekolah, orang-orang turun dari truk lalu pria menggotong perabotan bawaan dari truk secara estapet. Langit turun hendak membantu, namun orang menolaknya menyilakan Langit agar rehat di tepian.

Langit terasa ogah, dia mencoba membantu dengan yang ringan dengan berbaris secara estapet mengumpulkan barang perabot di teras sekolah.

Truk pelan kosong lalu truk satu datang terisi para ladies menyambut oleh kicauan mereka. Ada yang memegang galon kosong dipukul sambil nyanyi-nyanyi, ada juga yang nyanyi pake toa tentu dari Santi dan juga Hana bikin kelakar tak malu pada adik kelas.

Kinan turun dari truk saat pintunya dibuka, dia loncat segera menuju Langit yang estapet memegang wajan.

"Ngit, lu baik-baik aja?!" Kinan segera merapatkan punggung tangannya ke dahi Langit.

Langit mangut-mangut, lalu kembali estapet.

"Kita ke UKS. Kamu sakit!" Kinan menarik lengan Langit menuju UKS.

"Tuhkan demam. Baring tubuh!" Kinan turunkan badan Langit dibaringkan di kasur, dia heboh sendiri menyalakan air dispenser agar panas. Lalu Kinan menuang airnya dalam gelas.

"Minum dulu, lu dehidrasi." Kinan mengulurkan gelas.

Langit mengambilnya jengah, lalu dia teguk setengah.

Gio di luar estapet menurunkan barang ke teras, setelah usai, truk kembali menyetir ke jalan. Orang-orang masuk keruangan ada juga yang tepar di teras. Mengipas wajah oleh kipas bambu setelah panas kelantang di truk.

Sekolah kala itu lengang. Hanya ada anak ekskul dari futsal yang tak ikut semua juga suara angklung mengumandang di ruang musik. Angklung mengumandang 'Manuk Dadali' berupa intsrumen.
Gio menuju kantin bersama Santi memesan minum. Gio duduk di kursi panjang dan botol air teh dingin di ulur oleh Santi.

Gio memutar tutupnya lalu menengadah kepala meneguk airnya.

"Langit baik-baik aja, 'kan?" tanya Santi seraya duduk berhadapan.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang