BAB 77: JANGAN KATAKAN ITU

320 53 1
                                    

"Sudah berapa lama kenal Gio?" Raga menyeduh kopi di balkon.

"Sejak kelas sepuluh."

Langit menonton Raga menuang air termos di gelas lalu hendak mengisi gelas milik Langit, namun gelasnya direbut olehnya.

"Belum di airi, Ngit?"

"Kopi ala aku itu enggak pake air." Langit menyendok bubuk kopinya melahapnya tanpa ragu.

Raga mengangkat alis kanannya, "Emang enak?"

"Iya, enak." Langit senyum. Raga garuk leher lekas, "coba buka mulut!"

Langit membuka mulutnya menampakkan bubuk kopinya hilang ditelan, bikin Raga keheranan.

"Pake air, ya, itu dedaknya bahaya." Raga mengulur termos. Langit kukuh enggak mau.

Raga berdecak sayang. Dia heran selera Langit yang aneh bahkan nyeleneh.

Ayunan hammock diikat diantara pohon di tepi kolam menghadap pesawahan. Keduanya di ayunan masing-masing bersilang tangan sebagai bantalan.

"Kamu enggak ngerasa takut, Ga?"

"Takut apa?"

"Kamu di sini sendiri gitu."

"Enggak kok, enggak takut kan, ada kamu."

Langit jadi baper. Dia memutar badan menghadap ayunan milik Raga, dan Raga pun begitu, memandang satu sama lain.

"Mau jadi teman aku selamanya?" kata Raga.

Langit tak pikir panjang, dia menganguk.

"Punya puisi buat hari ini?" tanya Raga.

Langit memutar badan menatap langit hitam berhampar benda kedip-kedip jumlahnya banyak.

"Aku enggak tahu." keluh Langit bikin Raga terkekeh rendah saat dia menilik wajah Langit akan serius padahal tidak.

"Kamu udah punya ... sesuatu gitu?" Raga bertanya di ayunan duduk bersama Langit memandang pesawahan.

Langit diam lalu memandang Raga akan ragu pertanyaan ambigu.

"Pernah. Dan aku sadar jika aku tak berhak buat dia. Aku larut dalam permainan itu hingga aku terbawa, lalu jatuh dalam permainan itu juga."

Raga nampaknya paham. Lekas mengusap punggung Langit.

"Kalo kamu?" tanya Langit.

"Coba tebak?"

Langit tak suka itu, "Udah?"

Raga terkekeh dangkal lekas, "Seratus persen?"

"Aku enggak suka menebak." jengkel Langit.

"Ok-ok maaff,"

Langit tak gubris dia merajuk.

"Ngit?"

"Mmm?"

"Menurut kamu, aneh enggak cowok sama cowok saling ...," Raga tak meneruskan.

Langit menunggu, "Saling?"

Raga membuka mulutnya hendak melanjutkan.

"Saling jitak?" Langit pura-pura tak paham. Padahal, Langit tahu meskipun entah jawabannya sama.

Raga terkekeh.

Piano mengalun merdu mengisi ruang tengah dan duduklah Raga di kursi itu seraya bermain piano membawakan instrumen sedih juga bikin haru.

Langit menikmatinya terasa nyata seakan ikut masuk dalam instrumen itu. Raga menghayati juga semangat membawakannya. Langit duduk di kursi merhatikannya seperti penonton.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang