07

4K 348 72
                                    

Regina mendelik tajam melihat betapa menyebalkan tingkah Ari yang langsung menarik Susi menjauh dari sekumpulan teman-teman sosialitanya, membuat sebagian dari mereka menertawakan nasib pengantin baru yang tidak bisa berjauhan.

Namun ia tidak keberatan sama sekali atas sikap putranya itu, melainkan bangga karena kesopanan dan kesederhanaan Susi membuat teman-teman Regina tak berhenti memuji betapa beruntungnya dia mendapat menantu sebaik Susi.

Dirasa jauh dari jangkauan ibunya, Ari melepaskan genggaman tangan mereka dan mendorong tubuh Susi bersandar dipintu mobil yang entah punya siapa.

"Bapak gak berniat cium saya kan?" Melihat posisi mereka dengan begitu dekat dan intim menimbulkan rasa was-was dalam diri Susi.

Ari menaikkan alisnya mengurung Susi dengan sebelah tangan tanpa mengalihkan pandangannya.

"Tadinya saya berniat perkosa kamu, tapi berubah pikiran. Gimana kalo kita makan somay?" Ajakan yang lebih menggairahkan dibandingkan harus duduk bersama para istri pejabat dengan emas berkilauan diseluruh tubuh, toko mas berjalan kali ah.

Susi menempelkan tangannya didada Ari, tidak berniat sama sekali untuk menggoda tapi dia suka melihat ekspresi wajah pria itu saat mereka seperti ini, berdiri begitu dekat dengan jarak yang sangat intim.

"Boleh kok pak makan somay, gak sekalian beli gerobaknya juga?"

"Kalo kamu yang minta, kenapa enggak."

Susi tertawa mendengarnya, sungguh Ari sama sekali bukan tipe pria romantis tapi setiap perlakuan dan kata-katanya mampu melelehkan hati Susi.

"Saya gak mau gerobak, gimana kalo hati bapak aja?"

"Hati saya sudah milik kamu sejak lama. Gak perlu minta lagi, sudah saya berikan."

Ari mengusap pipi istrinya itu tanpa henti memuji betapa manisnya Susi dengan rona merah dikedua pipi.

"Apa kalian sedang melakukan drama untuk pentas seni?" Suara cempreng itu membuat gerakan tangan Ari berhenti, reflek Susi mendorong tubuh Ari menjauh saat mendapati gadis kecil memegang boneka beruang tengah menatap mereka penuh tanda tanya.

Susi tersenyum kikuk melirik wajah Ari yang terlihat kesal karena merasa terganggu dengan kehadiran anak yang tidak tahu dimana orang tuanya. Kenapa anak seumuran ini sudah dibiarkan main sendiri di tempat ramai. Susi berjalan mendekatinya dan berjongkok mengusap pipi chubby milik anak itu dengan tatapan memuja, akan seperti apa nanti anaknya bersama Ari? Apa terlihat begitu menggemaskan seperti bocah dihadapannya sekarang.

"Kenapa kau memandangku seperti itu?" Suara itu lagi-lagi menyadarkan Susi membuatnya kembali memandang wajah si anak.

Susi mengernyitkan alisnya melihat bekas luka dipelipis gadis itu, dan memberikan jarak agar dia bisa lebih leluasa memandangi wajah tersebut.
Kenapa dia merasa tidak asing dengan wajah anak ini?

"Tidak apa-apa, kenapa kau sendirian? Dimana ayah dan ibumu?" Tanya Susi tanpa henti mengusap rambut panjang lurus milik gadis kecil itu.

"Ayahku sedang bertemu rekan kerjanya, jadi apa kalian sedang melakukan drama untuk sebuah pentas seni? Aku melihat kalian sangat serasi, bisakah kau katakan pada ku dimana tempat pentas itu berlangsung?"

Susi tertawa gemas, kemudian menoleh kebelakang dimana Ari tengah berdiri menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Tidak, kami tidak sedang latihan drama. Dia suamiku."

Anak itu mengangguk paham, tak lama kemudian dia mendengar namanya diserukan dari jauh. Membuat Susi ikut mencari sumber suara itu.

"Riksa, dari mana saja kau hm?" Seorang pria dewasa dengan perawakan tinggi menjulang memeluk tubuh mungil itu dan membawanya kedalam gendongan.

"Apa dia menganggumu?" Pertanyaan itu spontan saja keluar dari bibir lelaki itu, mendapat tatapan tak suka dari Ari.

"Ya, anak mu mengacaukan momen berharga dalam hidup kami."

"Pak. ."

"Apa?!"

"Maafkan putriku!"

Susi memandang wajah Ari dengan tatapan penuh peringatan, kemudian beralih pada kepada ayah dan anak yang memandang mereka penuh sesal.

"Dia tidak melakukan apapun yang merugikan, suami saya memang seperti ini. Senang bisa bicara pada mu, Riksa." Ucap Susi sambil mengusap pipi anak itu sekali lagi namun cepat ditarik oleh Ari agar menjauh dari sana.

Meninggalkan kedua orang itu dengan tatapan yang berbeda.

"Papa, dia mirip sekali dengan bunda." Ucap Riksa pelan pada pria yang memeluknya, tanpa ingin mengalihkan pandangannya lelaki itu tersenyum.

"Dia adalah malaikat kita."

💮💮💮

Ari menatap datar wajah tukang somay yang menanyakan berapa porsi mereka ingin memesan, membuat Susi jengkel sendiri.

"Dua porsi aja pak, makan disini."

Menarik tangan pria itu duduk dan menatap jengah atas tingkah laku Ari yang seperti orang kesurupan.

"Bapak ngapain pelototin kang somay segitu sadisnya hah? Kita mau beli somay bukan cari ribut." Susi mendengus kesal, ia tidak mengerti kenapa sikap Ari mendadak sedingin es sejak bertemu anak kecil tadi.

Gadis itu mungkin sudah lupa dengan pertemuan tak sengaja dan Ari masih cemburu karena momen langka mereka tadi harus terhenti karena kehadiran Riksa, nama yang bagus tapi rasanya kurang cocok untuk anak perempuan.

"Kamu belain tukang somay dari pada suami sendiri? Iya!"
Mendadak lamunan Susi buyar mendengar lengkingan suara Ari ditelinganya.

"Heh kok jadi nyalahin kang somay sih pak?! Bapak kenapa sih? Ada masalah apa, sini cerita sama saya."

Susi mengelus lengan suaminya dengan tatapan sendu, ini nih akibat sering nonton drama azab.

Ari menyentak tangan Susi menjauh, kenapa mereka jadi bertingkah seperti artis dadakan gini sih.

"Saya cemburu! Masa gitu aja pakek nanya sih."

"Oh cemburu, ngomong dong sayang. Sini sini saya peluk biar cemburu nya hilang."

Ari menahan senyum mendengar panggilan sayang dari Susi barusan, wanita itu pasti tidak sadar.

"Kenapa diam? Gak mau peluk?" Tanya Susi, niat hati ingin menggoda namun berhenti ketika melihat smirk setan diwajah Ari.

"Saya tagih nanti pelukan nya dirumah, diatas ranjang kita ya."

Mendengar kalimat itu memudarkan senyuman diwajah Susi berganti tatapan menyesal.

"Somay nya neng." Pria paruh baya itu memberikan dua piring somay komplit, sedikit tersentak karena langsung disambut oleh Ari dengan wajah sumringah.

"Maafin saya tadi ya pak, sudah bersikap gak sopan."

Lelaki itu tersenyum canggung namun sudah terbiasa, lagi pula pasangan ini sudah sering kali makan somay dilapaknya jadi sedikit banyak sudah hafal dengan kelakuan kedua orang absurd ini.

"Gak apa-apa nak Ari, biasa saja sama bapak."

Ari tersenyum keji melihat wajah pias Susi yang semakin menggemaskan dimata pria itu.

"Ayo makan, nanti dingin gak enak."

"Saya jadi gak mau pulang gara-gara bapak."

Boss Kampret!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang