13

2.5K 273 17
                                    

Kepergian Ari secara mendadak menyisakan rona merah yang masih  membekas diwajah Susi, bayangan mereka berciuman dengan penuh gairah pagi ini begitu menyesakkan dadanya. Jantung nya serasa akan melompat keluar karena kuatnya debaran, desiran darah yang mengalir membuat Susi tiada henti menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan.

Tanpa bisa dicegah, rasa manis yang berasal dari bibir pria berstatus suaminya itu seakan masih melekat di bibir membuat reflek tangan Susi menyentuhnya.

"Bisa gila gue ngebayangin nya terus, gini amat perawan oi!" Ucapnya pada diri sendiri merasa lucu sekaligus haru karena pada akhirnya dia berhasil memberikan ciuman pertama kepada suami tercinta. Membatasi pergaulan agar tidak terjebak dalam lingkaran gelap yang sering kali mengikat dan menenggelamkan anak-anak jaman sekarang tidak lah begitu sulit, selagi mereka mempercayai bahwa akan tiba masa dimana kita sudah siap bertemu dengan orang yang telat untuk menyerahkan diri sepenuhnya. Dan Susi merasa beruntung karena berhasil mempertahankan dirinya sendiri, sifat pemalu yang tertanam dalam diri Susi membuatnya menjadi gadis yang secara tidak langsung menjaga batasan dalam sebuah lingkup pertemanan.

Bertahan demi menjaga kesetiaan dan harga diri seorang ayah memang sangat sulit disaat jaman semakin berubah dan pola pikir semakin luas dan juga rasa ingin tahu semakin besar, namun pentingnya diterapkan pemikiran bahwa Tuhan akan marah jika kita melakukan sebuah dosa sejak dini juga dapat berpengaruh pada pemikiran mereka. Meski semua hal yang terjadi dalam hidup seorang anak sudah menjadi takdirnya, mungkin saja takdir keberuntungan ini milik Susi bukan berarti semua perempuan harus sama dengannya, tidak!
Tugas orang tua hanya mendidik tanpa menekan keras keinginan mereka, dan harus bagi mereka untuk menerima keadaan anak-anaknya walau bagaimana pun baik buruknya.

Susi menoleh kesamping mendapati meja Ari yang kosong, terasa hampa dan sunyi. Biasanya jam sekarang Ari sedang sibuk membaca lembaran kertas yang berisi angka-angka menunjukkan kenaikan atau penurunan saham. Sekarang tidak ada siapa-siapa disini selain dirinya, wanita itu beranjak mendekati kursi kebesaran Ari. Walau pun mereka sudah menikah tapi Susi tetap menjaga batasannya sebagai seorang pekerja jika dikantor, perasaan rindu dengan lelaki itu membawa Susi duduk dikursi Ari merasakan kenyamanan dan membayangkan jika saat ini ia sedang berada dipangkuan pria itu.

"Aishh. "

Lagi-lagi Susi mengenyahkan bayangan itu, dan menggelengkan kepala nya kuat sekali demi mengusir imajinasi yang cukup liar itu.

Ia memutar kursi menghadap keluar jendela kaca yang menampilkan pemandangan kota, meski tidak seindah saat malam hari namun tetap saja memberikan sebuah keindahan dan kedamaian dalam benak Susi.

Dia sangat merindukan Ari, tiga jam pria itu tidak terlihat oleh nya namun terasa begitu menyakitkan tak dapat mendengar apalagi merasakan genggaman tangan suaminya.

Ari suka sekali memainkan tangan Susi saat mereka sedang duduk bersama, atau ketika pria itu sedang menyetir, ketika tidur pun Ari selalu menjadikan telapak tangan Susi sebagai bantal pengganti.

Wanita itu memandang ponselnya yang sejak tadi tidak berbunyi, karena memang Ari belum memberi nya kabar.

Dia yakin pria itu sudah sampai, tapi kenapa belum menghubunginya juga.

Tak ingin terlalu lama berlarut dalam kesenduan tanpa Ari didekatnya, Susi keluar dan menemui Arifin agar pria itu membelikannya thaitea. Dengan senang hati Arifin menerima uluran uang tersebut dan bergegas pergi.

💮💮💮

A

ri menatap bengis wajah-wajah yang kini tertunduk lesu akibat kesalahan fatal yang mereka buat sendiri.

Pria itu sudah banyak mengumpat dan marah kepada siapa saja yang dia temui setibanya di Surabaya, bahkan ketika mereka terjebak macet hampir setengah jam dijalan tadi Ari tak hentinya memarahi orang-orang tanpa peduli tatapan aneh mereka pada nya.

Kartini hanya bisa memijit pelipisnya sembari meletakkan kacamata yang  tadi bertengger dikepala, jujur saja ia tidak tahu jika Ari memiliki temperamen yang sangat buruk.
Telinganya terasa sedikit panas karena tak henti mendengar kata-kata umpatan penuh kekesalan dari boss-nya itu.

"KELUAR!"

BRAKK!!

Ia melemparkan tumpukan map yang berada didekatnya mengusir para pekerja. Matanya menatap nyalang penuh kemarahan karena kelalaian dua orang, hampir satu perusahaan terkena dampaknya. Ari menyangga kedua tangannya ke meja dan melihat Kartini yang kini menatap remeh dirinya, membuat pria itu berdecak tak suka.

"Saya ngajak kamu kesini untuk bantu kerja, bukan duduk manis dan menonton saya memarahi mereka!"

Lagi, Ari berbicara menggunakan nada suara tinggi dan penuh kekesalan. Tidak ada masalah yang selesai dengan sebuah kemarahan dan makian, payah batinnya.

"Bapak sendiri belum memberikan saya kerjaan, bagaimana bisa saya bekerja. Ini pertama kalinya saya datang kesini, kalau bapak lupa." Jawaban Kartini sontak membuat Ari memandangnya dengan alisn yang bertautan. Sekilas tingkah perempuan itu mirip sekali dengan Susi dulu saat mereka baru menjadi atasan dan bawahan, ah ya ngomong-ngomong dia sangat merindukan wanita itu.
Menyadari kalau perkataan Kartini ada benarnya, Ari menyuruhnya untuk mengecek semua laporan yang ada dimulai dari tiga bulan lalu sampai hari ini.

Ari paling benci jika ada yang tidak bekerja dengan becus, dia tidak masalah kalau hanya dirugikan seorang diri tapi perusahaan ini tempat bergantungnya ratusan kepala keluarga yang butuh biaya hidup.

Lelaki itu membiarkan Kartini pergi sendiri mencari siapa saja yang dapat membantunya, lalu Ari?
Sudah pasti dia akan menghubungi wanita yang tadi pagi sudah dengan berani nya membangkitkan gairah dalam diri Ari disaat yang tidak tepat. Mengingat itu membuat satu senyuman terbit diwajah pria itu.

Tak butuh waktu lama untuk bisa tersambung dengan orang yang dirindukannya.

"Kenapa baru nelpon? Saya kira bapak udah lupa sama istri."

Wajah cemberut itu membuat amarah dalam hati Ari menguap seketika, ajaib bukan?

"Maaf, tadi saya habis marah-marah sama manager keuangan disini. Kamu lagi apa?"

"Mereka gak lari liat bapak marah? Saya nungguin bapak nelpon dari tadi."

"Mana berani mereka lari dari saya, cuma kamu yang bisa ngeles kalo kena marah."

Susi tertawa pelan, sebetulnya itu hanya untuk menutupi kegugupannya bertatap muka dengan Ari.

"Tapi bapak jatuh cinta kan sama yang suka ngeles ini."

Ari menatap lekat layar ponselnya kemudian mengecup singkat benda pipih tersebut, membuat dada Susi kembali bergemuruh karena ulah pria itu barusan.

"Tunggu saya pulang ya."

Perempuan itu mengangguk, tak hentinya mengutuk diri sendiri karena terpesona dengan tingkah suami sendiri. Ewh kan halal?

"Pak, saya sudah memesan hotel terdekat. Bapak bisa beristirahat sebentar sebelum kita meninjau gudang sore nanti."

Suara itu memudarkan senyuman Susi yang sumringah, namun Ari tak dapat melihatnya karena beberapa saat kemudian ia mematikan sambungan tanpa mengetahui jika Susi sedang dirundung rasa cemburu akut.

Boss Kampret!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang