15

2.4K 292 66
                                    

Susi menatap penuh rasa bersalah layar ponselnya, hanya karena rencana Arifin yang menyuruhnya jangan berbicara dulu dengan Ari jadilah sekarang ia harus menahan rindu yang sangat menggebu, bahkan pria itu terus menelponnya tanpa henti. Mengirim hampir ratusan pesan selama dua hari, bahkan notifikasi terakhir yang Susi baca adalah besok mereka akan segera tiba di Jakarta. Masalah disana telah ditangani dan selesai berkat campur tangan Ari sendiri. Membutuhkan mental kuat untuk menahan jari tangannya sendiri agar tak menyentuh ikon hijau yang terpampang di ponselnya.
Wanita itu memberengut kesal, karena dia benar-benar ingin mengangkat telpon tersebut.

"Hah. Kenapa sih temen-temen gue cuma mereka, sarannya gak ada yang beres semua."

Susi memalingkan wajahnya dan melempar sembarangan benda pipih itu kemudian merebahkan diri kekasur. Menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk memenuhi rongga dadanya yang sempit akibat memikirkan bagaimana wajah Ari setelah dua hari, catat hanya dua hari saja dia tidak melihat langsung tapi rasanya seperti ribuan tahun berlalu. Apa laki-laki itu mencukur kumisnya? Oh atau jangan-jangan dia terlalu sibuk sampai tidak terlalu peduli kalau biasanya, Susi lah yang akan membantu Ari melakukan pekerjaan sepele itu.

Setiap tiga hari sekali, Ari akan meminta Susi untuk membersihkan jambangnya dan ini terhitung sudah tiga hari pria itu pergi.
Tidak mungkin kan Ari meminta bantuan Kartini menggantikan tugas Susi? Wanita itu kembali menghela nafas pasrah, semakin dia mencoba berpikir positif maka semakin sulit untuk menerima bahwa suaminya adalah seorang boss dan memang harus melakukan pekerjaan dadakan keluar kota seperti ini.

Dia ingin sekali posisinya tidak berubah meskipun sudah menikah, tapi Ari membatasi tindakan istrinya agar tidak terlalu banyak memikirkan soal perusahaan itulah kenapa Susi hanya diminta untuk menemaninya saja.
Memang betul adanya jika sudah menikah maka pemikiran seseorang akan semakin bercabang, dia merasa kesulitan sendiri mengendalikan rasa curiga dan cemburu yang kerap kali menghantui.
Sikap dingin dan acuh Kartini membuat Susi penasaran seperti apa kehidupan sehari-hari wanita itu.
Sifat mereka sangat berbanding terbalik tapi ia tahu bahwa Kartini bukanlah orang jahat yang mungkin berniat menggoda suaminya.

Susi memiringkan tubuhnya, mencoba meraih kembali ponsel yang berkedip-kedip menandakan bahwa Ari tak kunjung berhenti menelponnya.

Lagu Rita Sugiarto, Kereta malam menjadi nada dering ponsel Susi selama kepergian Ari untuk sekedar menjadi pengingatnya bahwa pria itu pergi ke Surabaya bukan ke Arab Saudi.

Tak ingin membuat perasaan bersalah semakin menggunung, Susi menyimpan ponselnya didalam laci nakas dan mencoba untuk melupakan sejenak keberadaan Ari. Karena besok akan menjadi hari paling mengerikan untuk kehidupan rumah tangga mereka, membayangkannya saja membuat Susi berdecak sendiri.

"Belom apa-apa gue udah parnok sendiri, anjir."

Lelah dengan pemikiran ajaibnya, Susi menutup wajah menggunakan bantal memaksa untuk tidur.

💮💮💮

Kepala Ari berdenyut nyeri mendapati sambungan telpon tak kunjung bersambut, segala pemikiran buruk dan prasangka pun tak kalah heboh merasuki kewarasannya.
Tiga hari dia memaksa tubuhnya untuk tetap terjaga untuk menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, bahkan ia tidak peduli tatapan tajam dan aura mencekam yang menyelimuti ruangan karena Kartini sudah seperti robot mengikuti kehendak bossnya yang keras kepala.

Mereka bahkan tidak menginap di hotel yang telah dipesan, melainkan hanya bermalam dikantor. Dengan tidur dikursi atau bahkan menyandarkan kepala dimeja, tenaga dan kesadaran sudah mulai menipis didalam diri kedua insan itu.

Kartini yang melihat Ari meremas kuat ponsel dan melemparkannya begitu kuat hanya bisa menatap bingung namun enggan bertanya, jari tangannya sudah kaku bahkan tenggorokan pun ikut kering karena terlalu lama berhadapan komputer.
OB pun sudah bolak-balik mengantarkam minuman mereka, dan mungkin ini sudah kesekian kali nya tak terhitung lagi.

Kesal dan khawatir mendominasi perasaan Ari, entah apa yang terjadi pada wanita yang menyandang status istrinya itu sampai tak satupun pesannya dibalas.
Rega, mengatakan jika Susi baik-baik saja dan masih bekerja seperti biasa.
Pemuda itu mendapat amukan Ari kemarin dan memintanya agar memastikan keadaan Susi, setelah mendengar kalau istrinya baik-baik saja, lalu kenapa telpon Ari bahkan tidak disambut?

Sial

"Apa kamu sudah memesan tiket pesawat?"
Pertanyaan itu memecah keheningan diantara mereka, membuat Kartini mau tak mau harus menatap lawan bicaranya.

"Sudah pak, besok jam lima sore kita berangkat dari sini."

"Lima sore? Kenapa tidak pagi saja hah?!"

Kartini mengerutkan alisnya mendengar suara Ari yang bernada tinggi menyiratkan penuh kekesalan tidak terima.

"Penerbangan pagi sudah penuh untuk first class, dan bisnis. Saya pikir anda tidak akan suka jika naik kelas ekonomi." Jawaban tenang dengan nada santai seolah tak terusik dengan emosi atasannya itu membuat Kartini semakin terlihat berwibawa. Namun sekarang Ari benar-benar tidak bisa menunggu lebih lama karena secepat mungkin dia harus bertemu dengan Susi dan menanyakan alasan kenapa wanita itu tidak menjawab telponnya.

"Ambil kelas ekonomi! Saya tidak peduli kelas apapun karena yang paling penting saya harus menginjakkan kaki ke Jakarta sebelum malam tiba sialan!"

Ari dan emosinya yang sangat buruk, Kartini hanya bisa mengangguk paham tak ingin menambah apalagi menyambung pembicaraan mereka yang hanya akan berakhir dengan sebuah umpatan dan kemarahan. Ia kembali menghadap komputer, membuka ponsel miliknya dan melakukan perintah Ari tadi untuk mengikuti penerbangan kelas ekonomi.

Sekali lagi Ari mencoba menelpon Susi namun hanya suara operator yang terdengar membuat emosi pria itu semakin memuncak, dia tidak tahu harus melakukan apa jika bertemu Susi nanti namun yang pasti dia akan memarahi siapa saja yang telah membuat istrinya bersikap seperti sekarang.

Ingatan saat sebelum keberangkatannya kemarin terlintas membuat Ari semakin kesal, setidaknya Susi kemarin sudah bersikap lebih terbuka dengannya karena ciuman itu membuktikan segalanya.
Sepasang mata elang milik Ari melirik kearah Kartini yang nampak sibuk mengetik, membuat Ari semakin bertanya-tanya apakah Susi benar-benar cemburu dengan sosok Kartini?
Dia tidak akan tahu jawabannya sampai ia sendiri yang bertanya dan menemui langsung perempuan itu.

Boss Kampret!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang