33

1.7K 217 20
                                    

Susi mencari keberadaan suaminya yang tidak hadir di rapat sore ini, ia bahkan tidak mengangkat telpon yang semakin membuat wanita itu khawatir. Winda yang duduk paling dekat dengan Susi pun hanya bisa menatap pasrah wajah istri bosnya tersebut, lagi pula tumben sekali bos mereka tidak hadir rapat penting seperti sekarang. Yang mereka tidak sadari adalah sosok lainnya juga tidak hadir di ruangan itu tapi itu tidak menjadi fokus mereka, berkali-kali Susi menekan nomor Ari menghubungi pria itu berharap akan di jawab tapi hasilnya nihil.

"Mbak sus, pak bos emang gak mungkin nyasar kan? Ini perusahaan milik dia loh, masa iya nyasar sih". Ujar Winda yang duduk paling dekat dengan Susi, berbisik pelan membuat Rani ikut mendengarkan.

"Kayaknya pak bos di gondol wewe gombel dah mbak, masa iya nyasar. Gak lucu dia yang buat nih kantor, dia juga yang sesat". Susi menghela nafas berat karena Ari masih tidak menjawab telponnya, mengabaikan kedua sahabatnya yang saling menatap.

"Fin, lo yakin laki gue tadi gak ada diruangannya?" Tanya Susi memandang wajah Arifin yang sibuk mengetikkan sesuatu di laptop, dia menggeleng keras.

"Gak ada, gue udah cari kemana-mana gak ada pak bos. Coba telpon sekali lagi". Arifin kembali menatap layar laptopnya, wajah lelaki itu nampak lelah karena bekerja keras menyelesaikan proyek baru mereka.

Susi baru saja men-dial nomor suaminya saat seseorang membuka pintu ruangan, dan muncul sosok yang sejak tadi mereka tunggu. Kedatangan pria itu membuatnya bisa bernafas lega, setengah jam sudah mereka menunggu dan kini Ari muncul dengan Kartini, susi menatap wajah sembab Kartini kemudian beralih kepada Ari tapi netra nya melihat jelas bercak basah di jas suaminya. Suasana hati yang sejak tadi membaik sedikit terganggu, kenapa ia baru sadar kalau Kartini sejak tadi tidak ada? Lalu dari mana mereka, kenapa bisa datang bersamaan? Pikiran-pikiran buruk kembali muncul, Susi tidak mengerti kenapa pikirannya cepat sekali mengambil kesimpulan hanya dengan melihat kedua orang itu datang bersama.

"Maaf karena membuat kalian semua menunggu, kita bisa melanjutkan rapat sekarang". Ari duduk dan menoleh pada Arifin untuk membuka rapat mereka dengan menampilkan perkembangan proyek baru, dan Rani yang mengambil tugas untuk menjelaskan. 

Susi melirik sesekali kewajah suaminya yang kelihatan kesal, ia ingin sekali mendekat tapi entah kenapa aura yang ditunjukkan Ari membuat Susi segan. Winda mencolek lengan Susi membuat wanita itu menoleh kepadanya, gadis itu memberikan isyarat pada Susi untuk melihat kearah Kartini. Susi menoleh tapi tidak mengerti kenapa winda menyuruhnya untuk melihat gadis itu, tapi matanya menangkap setitik air mata yang jatuh lalu cepat-cepat Kartini menghapusnya. Saat ia masih berusaha memandangi Kartini, suara Ari membuyarkan semua pemikiran Susi tentang gadis itu.

"Rapat ini ditunda sampai minggu depan, saya tunggu perkembangan selanjutnya. Terima kasih". Susi yang melihat perubahan sikap Ari langsung mengejar pria itu keruangan mereka, tapi sayang denyutan di kakinya membuat ia harus memelankan langkah.

Setibanya Susi langsung menerobos masuk dan melihat Ari tengah berdiri menghadap jendela kaca, kedua tangannya ia selipkan di saku celana. Susi berjalan mendekat, tapi denyutan itu kembali terasa.

"Kamu dari mana aja, tadi aku nyariin kamu sampai minta tolong Arifin bantuin". Ari hanya diam, dia masih terbayang dengan cerita Kartini tentang masalah rumah tangganya membuat Ari hanyut dalam lamunan.

Susi menarik lengan Ari memaksanya menoleh, ia tidak suka diabaikan oleh suaminya. Susi merengut kesal, tatapan mata Ari sangat asing.

"Kamu kenapa sih? Tadi dari mana aja, di telpon gak angkat". Ari membalas pegangan Susi dilengannya, bukan menjawab melainkan menarik wanita itu dalam pelukannya.

"Tadi aku habis bantuin seseorang, dan ponsel aku tinggal disini jadi gak tau kamu nelpon. Maaf ya".

"Bantuin seseorang? Emang kamu dari mana, tadi bilangnya cuma ngambil berkas dimobil taunya lama banget". Ari mengeratkan pelukannya pada Susi, menghirup aroma yang menguar dari rambut istrinya untuk meredakan rasa kesal dan marah yang sedang berusaha menguasai dirinya hanya karena sepenggal cerita hidup Kartini. Bodoh!

"Kartini, tadi aku bantuin dia yang hampir diseret sama penculik". Susi melepas paksa pelukan mereka menatap wajah suaminya tak percaya.

"Jangan ngaco kamu, jangan sampai kalian terlibat hubungan gelap dibelakang aku. Kalo emang kamu mau selingkuh, ngomong sama aku biar kita pisah baik-baik".

Ari mengeraskan rahangnya mendengar perkataan Susi, berpisah? Tidak akan pernah!

"Seburuk apapun nanti hubungan kita, tidak akan ada yang namanya perpisahan apalagi perceraian. Saat kamu datang kedalam hidup aku, itu artinya Tuhan menjadikan kamu satu-satunya yang pantas aku sayangi".
Susi menempelkan kepalanya didada Ari, merasakan detak jantung pria itu sama seperti miliknya yang tak henti berdebar. Hei dia kan masih hidup jadi wajar kalau jantungnya berdebar!

Kartini yang berdiri diambang pintu hanya bisa menatap sepasang suami istri itu dengan tatapan sedih, sepertinya dia memang harus pulang mengikuti saran Ari. Tak ingin menganggu kedua orang itu, dia memutar balik badan berjalan menuju lift.

***

Malam harinya Ari benar-benar melakukan apa yang mereka bicarakan ketika dirumah sakit, entah sudah keberapa kali mereka melakukan kegiatan panas diranjang yang jelas Susi benar-benar kelelahan. Antara senang, bahagia dan letih tapi kabar baiknya mereka sudah tidak secanggung kemarin, Susi bahkan tidak segan mengambil alih permainan. Dan sekarang, dua insan itu sedang mengistirahatkan tubuh. Susi memilih tidur dengan menjadikan lengan suaminya sebagai bantal, sedangkan Ari memilih melipat sebelah tangan dan kedua matanya belum ingin terpejam.

"Aku tidak pernah mencintainya sampai kami menikah, dan itu semua aku lakukan karena terpaksa". Suara Kartini yang menangis kembali terngiang-ngiang ditelinga Ari, tak mau memperpanjang tali kelambu akhirnya pria itu ikut terlelap membalas pelukan Susi.

Sebelum ia benar-benar tertidur, Ari melakukan kegiatan rutinnya dengan mencium kening Susi lalu tersenyum sekilas memandang wajah cantik istrinya meskipun sedikit berantakan tapi itu tak mengurangi rasa sayangnya pada wanita ini.

"Aku mencintai kamu, lebih dari yang kamu tahu".

****

"Bagaimana keadaan putri saya dokter?" Pria itu menatap cemas wajah wanita paruh baya dihadapannya, sungguh perasaan takut mulai menyergap kedalam hati sampai ia merasa sesak untuk bernafas.

"Putri anda baik-baik saja, tapi mohon untuk tidak memberikannya makanan cepat saji dulu pak. Menjaga kesehatan anak dalam memilih makanan yang sesuai butuh ekstra hati-hati". Katanya menjelaskan pada pria itu, ia tidak tahu kalau ternyata selama ini pengasuhnya diam-diam memberikan putrinya makanan cepat saji meski itu baik karena menuruti permintaan sang buah hati tapi dampak dari makanan tersebut membuatnya harus terbang pulang dari Singapore ke Jakarta padahal disana dia memiliki janji temu dengan klien mahal.

Telpon yang mengatakan Riksa demam tinggi, dan muntah-muntah membuat jantung Radi seperti dicabut paksa. Dia tidak ingin mengambil resiko dengan mengabaikan sakit anaknya maka dari itu pulang adalah tujuannya, disinilah dia sekarang sedang melihat kedalam ruangan dimana gadis kecil itu dirawat.
Keracunan makanan membuat tubuhnya lebih cepat kurus, ditambah hampir kehabisan cairan Riksa harus merasakan tusukan jarum infus dari tangan dan kaki. Membuat hati lelaki itu kembali mencelos, beginilah jika sudah bersangkutan dengan putri semata wayangnya. Dia bisa menjadi pria paling menyedihkan, lihat bagaimana dia mengepalkan erat tangannya karena melihat sang anak terbaring lemah didalam sana.

"Sialan nina! Seharusnya aku memecat kamu!" Ucap Radi penuh penekanan, nada bicaranya mengandung kemarahan yang benar-benar siap meledak sekarang.

Boss Kampret!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang