23

2.1K 266 46
                                    

Susi mengusap air mata yang terus mengalir tanpa henti, sesekali ia mengumpat kesal mengingat kejadian yang baru saja membuat nya terlihat seperti orang bodoh. Kartini, perempuan itu bahkan tak mengeluarkan suara apapun saat Susi menampar nya. Seolah-olah membuat diri nya tampak menjadi korban sungguhan, Susi benci ketika posisi nya tergantikan oleh orang yang lebih bisa membuat Ari bangga dengan pekerjaan nya.
Ia sendiri merasa bingung kenapa sangat sulit meyakinkan diri kalau Ari tidak mungkin mengkhianati nya lagi setelah dengan Chika waktu itu.

Mengenang bagaimana dulu Chika memaki nya, membuat wanita itu kembali merasa bodoh. Dengan mempermalukan Kartini tidak akan membuat nya menjadi seorang istri yang baik, dia bahkan dengan terang-terangan meragukan kesetiaan Ari. Cemburu? Itu hanyalah alasan klise di saat ia mengetahui semua tentang Ari, mengenal suami nya itu bukan lah sehari melainkan sudah bertahun-tahun tapi tetap saja tidak mudah bagi nya menerima bagaimana perlakuan Ari selama ia menjadi sekretaris.
Ari bahkan sengaja menyusahkan nya, melakukan apapun sesuka hati tanpa memikirkan perasaan Susi. Dan sekarang ia benar-benar kewalahan menghadapi perasaan kesal dan marah ketika melihat Kartini dengan mudah nya di terima oleh pria itu.

Seharus nya Susi mengerti kalau itu bukan lah sebuah perbandingan, dia masih tidak mengetahui kalau selama itu Ari selalu mempermainkannya karena rasa cinta namun terhalang gengsi yang besar untuk mengungkapkan sampai hari dimana Chika kembali, lalu semua nya terjadi begitu saja.

Susi menghentikan langkah nya, membalikkan tubuh dan merengut tak suka menyadari kalau sejak tadi Ari ternyata mengikuti nya diam-diam.

Tidak sama sekali, Ari bahkan terang-terangan mengiringi setiap langkah istrinya itu. Pria itu memasukkan kedua tangan nya kedalam saku celana, memandang wajah sembab Susi tanpa suara.

"Kenapa disini? Gak di urus s.e.k.r.e.t.a.r.i.s kesayangan nya tadi?" Sambil menahan nyeri di dalam hati, Susi menatap kedua mata Ari yang memancarkan kebingungan sekaligus gemas dengan tingkah istri konyol nya ini.

"Kamu istri aku, dia hanya sekretaris. Kenapa aku harus ngurusin dia di saat istriku sendiri sedang menangis. Bahkan tidak berhenti mengumpat sejak tadi. Aku tidak suka orang-orang menganggap istriku tidak waras." Jawab Ari santai, tanpa mengubah ekspresi wajah nya.

"Jadi maksud kamu, aku gila?! Iya?"

"Aku gak bilang gitu, kamu sendiri yang ngomong."

"Tapi kamu yang bilang tidak suka istriku di anggap tidak waras! Itu artinya kamu ngatain aku gila?!"

Susi menahan laju air mata nya yang siap terjun bebas lagi, semakin sakit ulu hati nya karena melihat raut wajah Ari yang sangat menjengkelkan.

"Emang kamu istri aku?" Sedikit sih, tapi sempurna untuk membuat Susi membulatkan mata nya tercengang.

"Dasar suami kampret sialan! Bisa-bisanya kamu gak anggap aku istri cuma gara-gara cembok! Bangke!" Teriak nya kesal, Susi melepas flat shoes nya kemudian melemparkan benda itu ke arah Ari namun sayang meleset karena dengan gesit pria itu menghindar.

"Sayang sepatu masih bagus, malah di buang. Mending buat aku aja nih sepatu." Ucap Ari sambil tersenyum keji, Susi yang masih belum terima atas kata-kata pria itu karena tidak mengakui nya hanya bisa menatap tajam wajah Ari.

Pria itu memegang erat sepatu Susi berjalan melewati wanita itu dengan sebuah senyuman penuh makna, seolah-olah tidak akan terjadi apapun setelah ini. Susi yang merasakan keanehan kala Ari sudah mendahului nya langsung menoleh kemudian kembali berteriak karena ternyata Ari benar-benar membawa lari sepatu itu meninggalkan dia hanya dengan sebelah sepatu saja.

"ARI SETIAWAN! BALIKIN SEPATU NYA GAK?!" Susi mengejar Ari yang sudah sangat jauh dari nya, perempuan itu kembali di bodohi karena lagi-lagi ceroboh melakukan kesalahan.

Bisa-bisa nya dia melemparkan sepatu di saat matahari masih berada di atas kepala dengan sinar terik nya, aspal pun terasa panas menyentuh kulit mulus Susi.

"Kata nya tadi ambil, ya ngapain di balikin lagi."

"Balikin sepatu nya sekarang!"

Susi berkacak pinggang menghentikan lari nya karena merasa sesak, padahal dia rajin olahraga kenapa rasa nya mau putus nyawa karena mengejar Ari.

"Ambil sendiri lah kalo mau! Selamat tinggal. . Sayang!"

Ari kembali melanjutkan langkah lebar nya, tidak benar-benar meninggalkan Susi. Dia tidak setega itu, lagi pula membujuk Susi yang di penuhi rasa cemburu tidak lah sesulit itu. Meski ia juga merasa bersalah karena Susi berani menampar Kartini, hingga ia menyadari kalau mereka sudah terlalu jauh berjalan Ari menoleh ke samping memandang taman kota yang lagi-lagi mengingatkan nya pada kenangan mereka dulu saat pertama kali berpelukan. Segaris senyuman manis menghiasi wajah pria itu, tempat ini lah yang menjadi saksi bisu antara ia dan Susi ketika pertama kali mereka saling mengungkapkan perasaan.

"Heh, akhir nya dapat juga!"

Susi merampas kembali sepatu milik nya tanpa melihat bagaimana raut wajah Ari sekarang.

"Masih marah?"

Wanita itu masih mempertahankan ego nya untuk tidak mudah luluh dengan tatapan Ari yang penuh cinta, perempuan dan hati nya adalah kombinasi sempurna ketika mereka terjebak oleh tatapan para lelaki. Membingungkan tapi tetap membekas di pikiran.

"Aku tahu kamu cemburu, dan aku juga salah karena merangkul Kartini tapi bukan berarti kamu boleh menampar orang sembarangan. Oke kalau dia tidak membalas, mungkin kalian bisa saja bergulat. Bagaimana kalo ternyata Kartini menuntut kamu melalui jalur hukum karena sudah memukul nya tanpa alasan yang kuat, apa nanti kata orang tua kita?"

"Aku sudah memperingatkan kamu untuk gak dekat sama dia, kenapa malah merangkul dia? Mesra banget lagi."

"Susi Aryanti." Mereka tahu, sama-sama tahu jika sudah begini maka semua nya harus selesai detik itu juga.

"Apa kamu lihat tadi kalau kaki nya abis di serempet orang-orang pengangguran pemalas tapi mau nya hidup enak dengan cara merampas hak orang lain. Kaki nya luka, pencopet itu membawa senjata tajam."

"Kamu cuma ngeliat bagian aku merangkul bahu nya, bukan peduli sama apa yang dia alami."

"Tapi aku gak suka ngeliat kalian dekat, ini kedua kali nya kita bertengkar hanya karena si cembok itu!" Susi dan keras kepala nya.

"Ini kedua kali nya juga kamu meragukan aku. Kamu gak bisa percaya sama aku lagi?"

Kedua nya saling menatap, menyelami diri mereka dan mencari apa yang  membuat kesalah pahaman ini selalu terjadi namun hasil nya nihil. Susi menemukan cinta yang begitu besar salam sorot mata suami nya, sedangkan Ari, pria itu melihat keraguan dan ketakutan yang begitu nyata dalam mata Susi.
Mereka terdiam beberapa saat, sampai Ari merasa kalau dia lagi-lagi harus mengalah. Pria itu mendekat, menyingkirkan poni Susi yang menutupi mata. Mencium kening wanita itu penuh kehangatan.

"Berjanji lah ini terakhir kali kita bertengkar hanya karena kesalah pahaman yang beralasan cemburu, bisa kan?"

"Aku gak bisa janji. Karena aku sendiri bingung gimana cara nya mengontrol pikiran ku saat cemburu."

Ari menarik Susi ke dalam pelukan nya.

"Ingatlah bahwa kita pernah melalui kesakitan yang mengerikan. Tidak mudah untuk kita melewati hari kemarin yang terasa sulit."

Susi hendak membalas pelukan Ari saat suara pluitan terdengar sangat nyaring hingga membuat mereka spontan menoleh.

"Dilarang mesum di sini mbak, mas! Ini area bebas tindakan asusila, lagi pula kita di indonesia bukan barat."

Boss Kampret!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang