Ari meletakkan cangkir tehnya kemudian mengambil posisi ternyaman untuk duduk menghadap kearah hamparan luas halaman rumah mereka yang menghijau, menghidupkan laptop yang berada dipangkuannya dan mulai tenggelam dalam pekerjaan. Menikmati dan menghirup aroma lavender yang berasal dari humidifier.
Hingga dia merasakan seseorang mendekatinya lalu melingkarkan kedua tangannya keleher Ari.
Susi mencium pipi suaminya sekilas, tersenyum lalu menyandarkan kepala mereka. Ari yang merasa aneh dengan sikap manja Susi menutup laptopnya kemudian mengusap kepala wanita itu penuh sayang."Ada apa?"
Susi menggeleng pelan, menimbang rasa apakah dia pantas menceritakan kejadian siang tadi pada Ari atau lebih baik memendamnya saja.
Karena tidak semua hal bisa kita ceritakan, ya meskipun sering kali perempuan apalagi sebagai seorang istri merasa patut membagi keluh kesahnya. Susi merasa berat tapi dia cukup terganggu karena sikap Kartini yang terlihat sangat dingin pada nya, meskipun semua orang dikantor mulai membicarakan wanita itu. Tetap saja Susi tak mau memperpanjang masalah, hingga membuat Ari berpikiran yang tidak-tidak."Sekretaris kamu yang baru, dia gimana?"
Ari menghentikan usapan tangannya dipipi Susi.
"Maksudnya?"
"Ituloh si Kartini, menurut kamu dia gimana?"
Ari mengingat bagaimana pertama kali dia melihat Kartini dan beberapa hari mereka saling bicara dan sesekali Ari mengajak wanita itu berdiskusi soal pekerjaan, tidak diragukan lagi bahwa Kartini seorang pekerja yang professional. Dia seorang boss, tentu memiliki penilaian tersendiri terhadap setiap karyawan.
Walaupun jika dipikir-pikir, Kartini memang bukan tipe orang yang suka menebarkan senyuman namun itu tak mengurangi potensi kinerja nya. Ari suka sikap serius dan bertanggung jawab Kartini, apalagi dia orang yang disiplin."Bagus, professional dan bertanggung jawab. Meskipun hampir gak pernah senyum. Kenapa emangnya?"
Susi menegakkan tubuhnya berjalan mengitari tempat duduk Ari, menyingkirkan laptop dan duduk dipangkuan pria itu. Dengan senang hati Ari menyambutnya kedalam pelukan, ini pertama kali Susi mau berdekatan tanpa dipaksa.
"Gak apa-apa, cuma nanya aja. Anak-anak banyak ngomongin dia karena jarang senyum, ewh emang gak pernah deh kayak nya." Keluh Susi mempelankan suaranya, teringat bagaimana dinginnya tatapan Kartini saat dia menawarkan untuk duduk bersama. Sedih tentu saja, ternyata Susi selemah itu sampai tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Meskipun dia menguatkan hati dan mengatakan pada diri sendiri bahwa Kartini orang baru yang mungkin belum mengenal siapa Susi, tapi rasanya itu tidak juga menjadi masalah karena pasti Kartini belajar sopan santun ketika orang bicara padanya jangan bertindak semena-mena.
Ari meraih dagu Susi dan menatap kedua mata wanita itu, menyelami apa yang tersembunyi dalam pandangan sang istri yang terlihat sendu.
"Kamu cemburu?"
Sekali lagi dia menggeleng, tidak ada rasa cemburu melainkan tersinggung. Apa sekarang Susi terserang penyakit hati yang akan merusak kepercayaan dirinya sendiri, kenapa dia ingin sekali menyuruh Ari menegur Kartini agar bersikap lebih baik namun apa yang dipikirkan oleh wanita itu kalau sampai dia mengadu pada suaminya.
"Kita ketemu setiap hari, gimana lagi mau cemburu. Kangen sama bapak, mamak." Lirih Susi, sebulan tanpa bertemu kedua orang tua nya ternyata berdampak cukup besar dalam kehidupan Susi, meski ia hampir setiap malam menelpon ibunya namun tetap saja perasaan seorang anak tak bisa diabaikan begitu saja.
"Kita kesana abis isya, mau?"
Susi menampilkan senyum yang tulus penuh ungkapan terima kasih karena Ari langsung mengetahui maksud ucapannya, mencoba untuk mengabaikan perasaan nya pada Kartini. Susi memilih memeluk Ari, menyembunyikan wajahnya diceruk leher pria itu. Membuat Ari mengumpat dalam hati, posisi mereka benar-benar sangat berbahaya.
"Kamu berniat menggoda saya Sus?"
Susi membuka matanya menyadari kalau ucapan Ari barusan adalah sebuah peringatan untuknya.Dengan cepat ia bangkit dari pangkuan Ari dan berlari masuk kedalam, mengabaikan tawa Ari yang menggema. Lagi-lagi Ari hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan istrinya itu.
"Kapan saya lepas perjaka Sus, Sus."
💮💮💮
Susi memeluk ibunya erat sekali, melepaskan kerinduan pada wanita yang telah melahirkan dan merawatnya hingga dewasa.
"Jangan nangis ya, malu sama suami." Lastri mengusap air mata Susi yang mengalir tanpa tahu situasi, tapi dia benar-benar ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama kedua orang tua. Kalau saja dia tidak ingat besok Ari akan ada pekerjaan diluar kantor, pasti dia akan meminta Ari untuk menginap saja.
"Anak bapak masih aja cengeng, ngapo nak nangis nian? Rumah kalian gak jauh dari sini." Isakan Susi semakin terdengar jelas ditelinga Ari, membuatnya ikut merasa bersalah karena selama sebulan ini baru pertama kali lagi menginjakkan kaki dirumah mertuanya.
"Bapak, adek gak bisa nyetir mobil kan. Huuu." Tangis Susi semakin menjadi, bukannya Ari tak mengajari wanita itu menyetir tapi sudah berapa kali mobil mereka menabrak pagar rumah dan pohon, bahkan terakhir kali gerobak sayur keliling yang tiap hari lewat dikomplek perumahan mereka pun ikut jadi korban Susi. Sedih kan!
Sulaiman mencium kening putri kesayangannya itu tersenyum.
"Yasudah nanti naik motor sama bapak, dijemput mau?"
Sulaiman menatap wajah Ari meminta persetujuan, dibalas anggukan sekaligus senyum oleh Ari. Walau bagaimana pun, Susi adalah anak nya namun izin suami adalah hal utama. Susi bukan lagi tanggung jawab mereka melainkan Ari sudah mengambil alih seluruh tugas Sulaiman sebagai figur seorang ayah, bukan berarti mereka lepas tangan tapi karena memang Ari berperan penting dalam kehidupan Susi baik di dunia mau pun diakhirat nanti.
Dan seorang istri wajib meminta restu suami jika hendak keluar selangkah dari rumah mereka, karena harga diri seorang suami terletak pada para istri."Kapan pun bapak mau jemput Susi, saya pasti izinkan."
Susi memeluk ayahnya sekali lagi, lalu mencium pipi pria tua itu penuh cinta. Mencium kedua tangan orang tua nya dan pamit pulang, meski kerinduan belum sepenuhnya hilang tapi setidaknya Susi lega karena tadi ia sudah bercerita banyak pada ibunya mengurangi sedikit kegundahan yang sedang mengganggu hati dan pikirannya.
Dan jangan lupakan soal ucapan ibu yang mengatakan kalau Susi harus segera memberikan hak Ari sebagai suami.
Pipinya terasa panas, dia benar-benar tidak mengerti kenapa ibunya bisa berkata seperti itu. Apakah begitu jelas terlihat?
Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara sampai Susi melihat gerobak makanan favoritnya yang sedang bertengger ditepi jalan, baru lah dia meminta Ari untuk berhenti.
"Orang lain stress nafsu makannya berkurang, kok kamu makin nambah porsi makannya?"
"Prinsip Arifin yang saya pakek sekarang, berguna juga tuh anak kalo soal beginian."
Ari menggelengkan kepala melihat mangkuk kedua telah selesai dilahap oleh istrinya, menatap mangkuk dihadapannya Ari mendadak kenyang sendiri. Ia terkekeh dalam hati melihat kuah yang belepotan dipinggir bibir Susi, menepis segala pemikiran laknat yang berniat merasuki otak.
"Makannya pelan-pelan, gak akan ada yang mau ngambil bakso kamu kok." Tangan pria itu mengambil tisu dan membersihkan tetesan kuah di dagu Susi sambil tersenyum. Perlakuan Ari yang lagi-lagi mendebarkan jantung Susi, mereka lagi dangdutan didalam sana gara-gara Ari.

KAMU SEDANG MEMBACA
Boss Kampret!
HumorPERINGATAN! Kalo kelen bukan penyuka drama, bucin parah, dan juga menye-menye mending jangan mampir karena disini bakal penuh sama kebodohan karakter utama. ARI-SUSI Kita ini berumah tangga, bukan lagi main ular tangga yang bisa lempar dadu sana si...