Bab 5

9.2K 647 3
                                    

Satria lebih banyak diam karena murung setelah akad nikah tadi. Pikirannya berkelana. Apalagi dia yang merasa telah dibeli oleh perempuan di sebelahnya. Saat ini kedua pengantin baru itu  berada dalam mobil yang dikemudikan oleh Satria menuju apartemen Natasha. Suasana di dalam mobil sangat hening. Tidak ada yang berinisiatif untuk memulai percakapan antara keduanya. Sementara malam semakin merambat naik menuju puncaknya.

"Ini kamar kamu," kata Natasha sementara jari jempolnya mengarah ke kamar yang ada di lantai satu.

Satria sedikit terkejut sesaat, tapi beberapa detik berikutnya dia justru mensyukuri keputusan Natasha untuk pisah kamar. Dia tidak bisa membayangkan jika malahan mereka ditempatkan dalam satu kamar.

Satria hanya mengangguk.

"Istirahatlah," titah Natasha.

Satria dan Natasha pun masuk ke dalam kamar mereka masing masing. Memulai hari yang tidak akan pernah mereka sangka apa yang akan terjadi ke depannya. Memulai menapaki kehidupan pernikahan yang terasa sangat mengejutkan. Terlalu mendadak dan terkesan main-main.

                        ***

Harum tanah basah menyeruak hidung penghuni bumi di pagi yang cukup berembun ini. Semalam turun hujan sehingga suasana dingin membuat Natasha masih betah bergelung di bawah selimut tebalnya.

Namun ingatannya tentang hari kemarin yang telah mengubah statusnya dalam satu hari membuatnya mau tidak mau beranjak juga dari tidur pulasnya. Melihat jam di atas nakas, Natasha sudah merasa telat bangun.

Membersihkan tubuhnya sebentar, Natasha melangkah menuju dapur. Gadis itu cukup kaget menyaksikan dapurnya sudah mengepul pagi ini. Aroma kopi yang harum serta bau masakan lain menyeruak hidungnya menyambut kehadirannya di dapur pagi ini.

Seketika Satria menoleh saat dirasakannya ada sosok lain di dekatnya. "Eh, udah bangun?"

"Iya, udah." Natasha berdiri mematung di tempatnya berdiri.

Pernikahan mereka terlalu mendadak, rasanya Natasha bahkan tidak percaya lelaki di hadapannya ini adalah lelaki yang dipilihnya menjadi suami hanya untuk menyenangkan ibunya. Natasha hanya berharap karena tujuannya yang mulia, maka dia hanya akan menemukan kebaikan yang mendominasi keburukan yang dimiliki pria yang ada di dapurnya saat ini.

"Tidak mau duduk dulu untuk menunggu masakannya siap?" tanya Satria.

"Oh, eh ... i-i-iya ...," jawab Natasha terbata-bata.

Natasha pun memilih duduk di kursi yang bisa dengan leluasa menatap punggung lebar Satria. Haruskah seperti ini? Di hari pertama pernikahannya dia justru disambut kenyataan suaminya pagi-pagi sudah memasak. Bolehkah Natasha mengira Satria juga memasak untuknya. Selain karena pria itu adalah orang asing---lelaki yang tidak dikenalnya dengan baik---Natasha merasa bahwa tugas melayani adalah tugas seorang istri.

Namun, mereka bukanlah pasangan pernikahan seperti pasangan lainnya, jadi memang Natasha tidak harus melayani suaminya bukan? Akan tetapi, kenapa Natasha merasa canggung jika justru Satria memasak untuknya juga? Bagi Natasha mereka adalah dua orang asing yang terlibat dalam sebuah pernikahan yang saling menguntungkan. Lalu untuk apa mereka saling peduli? Natasha tidak membutuhkan itu. Peduli lalu naik pangkat jadi cinta? Tidak! Natasha merasa dia belum membutuhkan perasaan itu kembali muncul ke permukaan.

Natasha terkesiap saat Satria membalikkan tubuhnya lalu menaruh dua buah piring nasi goreng di atas meja makan. Kepulan asap di atas piring menyambut penciuman Natasha, harumnya sangat menggoda.

"Mau teh atau--"

"Aku bisa bikin sendiri," Natasha cepat menjawab.

Satria mengangguk. Lelaki itu memundurkan kursinya sendiri lalu duduk dengan gagah berhadapan dengan Natasha. Pagi ini dia harus tetap bekerja mencari nafkah untuk Rika dan Dyah. Jadi sejak pagi dia harus sudah bersiap-siap. Melihat di kulkas tidak ada yang bisa dia masak, Satria memilih memasak nasi goreng yang bahannya tersedia di dapur Natasha. Sebenarnya Satria tidak peduli Natasha sarapan apa pagi ini, toh dia adalah suami yang harusya dilayani. Namun apa salahnya jika dia juga memasak untuk Natasha. Sekalian. Satria juga bukan pria tidak berhati yang hanya menyantap makan sendirian sementara mereka tinggal di atap yang sama.

"Maaf sudah mengganggu tidurmu pagi ini."

"Oh, tidak apa-apa. Aku memang sudah terbangun dari tadi," jawab Natasha.

"Aku boleh menggunakan dapur ini lagi 'kan?" tanya  Satria. Pria itu merasa dia akan menggunakan dapur itu dalam jangka waktu yang tidak sebentar.

Natasha mengangguk. Keduanyapun larut dalam harmoni denting sendok dan piring yang beradu.

"Ada yang ingin aku bicarakan," kata Natasha membuka percakapan.

Satria menoleh. "Ya?"

"Rumah tangga ini tidak menuntut adanya hak dan kewajiban antar satu sama lainnya. Jadi, jangan heran jika aku tidak bisa menjadi istri sebagaimana istri kebanyakan di luar sana--"

Satria mengangguk.

"Mengenai rumah ini kamu boleh ada di mana saja, asal bukan di kamarku dan di ruang kerja. Oh ya, soal kebutuhan rumah aku akan belanjakan sendiri. Jangan repot memenuhinya dan jangan sungkan untuk menggunakannya," jelas Natasha.

Satria mendecih dalam hati. Dia hanya berpikir bagaimana mungkin dia akan memenuhi kebutuhan rumahan untuk apartemen Natasha. Bukankah uangnya memang banyak. Satria tidak akan repot untuk hal semacam itu. Lagipula dia akan menghemat pengeluarannya agar bisa menyerahkan gajinya utuh pada Rika.

"Oh ya, satu hal lagi. Aku mungkin tidak akan mengatakan padamu ke mana saja aku pergi. Bagaimana? Dan berlaku juga untukmu," lanjut Natasha.

"Baiklah," jawab Satria tenang.

"Oke, dan soal sarapan atau makan siang dan sebagainya kamu enggak usah mikirin aku. Aku bisa sendiri, tapi untuk nasi gorengnya hari ini makasih," tambah Natasha.

"Gak papa. Aku juga senang masak kok. Lagipula ini rumah kamu, rasanya nggak enak aja kalo cuma masak untuk sendiri," kata Satria.

"Ya udah, terserah kamu." Natasha pun bangkit dari kursi menapakkan kaki jenjangnya menuju kamar yang ada di lantai dua.

Satria mendesah. Entah apa yang akan terjadi ke depannya. Dia menikah dengan gadis yang datar, cuek, dingin tapi juga tegas. Tampak seperti perempuan yang tidak memiliki empati. Lalu mau diapakan pernikahan ini? Satria bingung.

Satria pun akhirnya mengikuti jejak Natasha untuk bersiap mencari rejeki dengan menjadi badut.

Saat keluar dari kamarnya, Satria yang tengah memanggul tas punggungnya yang besar--berisi peralatan badut--terkesiap saat mendapati Natasha tengah ada di depan pintu apartemen yang tampaknya juga akan berangkat ke restoran.

Keduanya saling bertatapan sejenak lalu Natasha lebih dulu memutus kontak mata itu untuk melangkah ke luar apartemen tanpa sepatah katapun.

Satria sungguh tidak nyaman setiap kali berhadapan dengan Natasha. Apakah sebaiknya dia menghindari Natasha?

Dijual IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang