24

7.1K 503 7
                                    

"Mama hanya mengajukan keinginan hatinya. Aku nggak mungkin bilang bahwa kita tidak mungkin memiliki anak karena kita memiliki kesepakatan bukan?" Satria bertanya sarkas pada Natasha saat berada di dalam kamar.

Deg.

Natasha langsung tertohok mendengar Satria.

"Lagipula tidak ada yang menyuruh kamu melibatkan diri dalam kesehatan ataupun pengobatan mama. Jika dengan itu bayarannya seorang cucu aku nggak setuju. Kita akan buat kesepakatan sendiri soal itu," tegas Natasha.

"Kamu nggak usah kuatir mengenai hal itu. Aku juga sudah memikirkannya. Kita tidak akan benar-benar mewujudkan mimpi mama. Cukup dengan berjanji saja pada mama. Aku minta kali ini kamu ikut dalam permainan ini. Kasian mama kalo kita tidak bersandiwara. Biarkan dia menganggap pernikahan ini nyata, dan kita memang sedang berjuang untuk saling mencintai. Setidaknya tunjukkan sikap sebagaimana layaknya pasangan suami istri sungguhan."

Natasha terkesiap mendengar Satria. Bukankah dia yang membeli lelaki itu. Lalu mengapa sekarang dia diatur oleh pria yang dibelinya?

Namun di sudut hati Natasha yang tersembunyi, dia membenarkan sikap yang akan diambil Satria saat ini. Kesembuhan Merry adalah proritas utama. Namun ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Natasha. Mengapa dan untuk apa lelaki ini melakukan semuanya? Bukankah Satria terikat pernikahan dengannya hanya karena materi?

"Boleh aku bertanya satu hal?" tanya Natasha.

"Apa?"

"Untuk apa kau melakukan ini?" tanya Natasha.

Satria menegang di tempatnya berdiri. Menatap lekat dan dalam pada wajah istrinya.

"Aku--terlahir tanpa merasakan kasih sayang ibu. Bahkan tumbuh di panti tanpa sentuhan seorang wanita. Walau pernah ada yang membiayai keperluanku dengan menyebutnya sebagai ibu angkat, tapi bagiku mama berbeda. Mama adalah wanita berstatus ibu yang memelukku dengan hangat di hari pernikahan kita. Mama wanita pertama yang membuatkan sweater untukku dengan jemarinya sendiri. Dialah yang menerima kehadiranku di sini secara utuh. Menantu berkasta sudra sepertiku. Mama mempercayaiku, dengan ketulusan dan cinta seorang ibu. Jadi--a--aku--ingin mama sembuh, sehat. Aku ingin lebih lama lagi merasakan kasih sayang mama. Aku juga ingin mama pergi dalam kondisi sehat, bukan sakit-sakitan. Aku--terlanjur menyayangi mama dan menganggapnya sebagai seorang ibu. Bolehkah? Bolehkah aku benar-benar seperti ini? Menjadikan mama sebagai ibuku?"

Mata Natasha berkaca-kaca. Sedingin apapun dirinya, sekeras apapun hatinya, mendengar pengakuan Satria yang sangat memilukan pastinya membuat sebagian hatinyapun ikut teriris. Bukankah dia juga manusia yang punya hati?

Seketika Natasha melangkah sedikit cepat menubruk tubuh Satria, melingkarkan lengannya hingga ke punggung lelaki itu, menempelkan pipinya di dada sang suami, memeluknya dengan hangat. "Boleh, tentu saja boleh."

Mendapati pelukan seorang Natasha, Satria membeku di tempatnya berdiri. Tidak menyangka reaksi Natasha seperti ini. Bahkan Natasha mengusap punggungnya dengan pelan, seolah memberinya dukungan. Entah mengapa dan bagaimana, Satria pun membalas pelukan itu dan berkata, "Terima kasih."

                          ***

Keluarga Baskoro telah lengkap duduk di meja makan besar villa.  Devin duduk di kursi kepala meja, sementara di sebelah kanan duduk ibunya. Kursi di sebelah kiri Devin ditempati oleh Serly. Adapun Satria duduk diapit oleh Merry dan Natasha.
"Ini mama yang bikin. Tapi tetep dibantuin Reni, sih." Merry terkekeh kemudian.

"Tumben mama masak lidah sapi?" tanya Devin di meja makan.

"Oh, itu kesukaan Satria soalnya. Hari ini kan momen spesial mereka, jadi mama juga mau masakkin yang spesial juga," jawab Merry seraya menatap teduh pada Satria.

Lagi dan lagi Satria merasakan efek kasih sayang Merry yang langsung menghujam ke dalam dadanya membuat Satria semakin merasakan kehangatan cinta seorang ibu. Lelaki itu tersenyum tipis pada Merry.

"Ambilin Nat, buat suamimu," titah Merry.

"Oke, Ma." Natasha pun mengambilkan lidah sapi goreng dan nasi pada sepiring nasi. Tidak lupa sayur capcay yang dicampur seafood di dalamnya ditaruh Natasha di pinggiran piring untuk Satria.

Natasha mengulas senyum lembut pada Satria, membuat lelaki itu terpana dan tanpa sadar membalasnya serta berkata, "Terima kasih."

Satria memakan santap malamnya dengan lahap, membuat bibir Natasha melengkung indah melihatnya. Entah mengapa sejak pengakuan Satria mengenai arti Merry bagi lelaki itu, Natasha mulai merasakan hal yang berbeda di dalam hatinya. Merasakan bahwa pernikahan ini bukan hanya tentang dia dengan segala kepentingannya. Namun, ada Satria dan Merry yang juga berpusar di dalamnya. Pernikahan ini bukanlah tentang seorang Natasha saja, tapi melibatkan Satria serta Merry pula. Dengan kata lain, ada orang lain yang juga mesti Natasha pikirkan. Dengan pernikahan ini Merry akhirnya mau menjalani pengobatan. Dengan pernikahan ini pula, Satria merasakan kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah dirasakannya sebelum ini.

"Kamu nggak makan?" tanya Satria menoleh ke arah Natasha yang tengah menatap dirinya.

"Ini juga makan," jawab Natasha dengan senyuman khasnya.

"Kenapa sayurnya sedikit?" Satria menaruh capcay ke dalam piring Natasha.

"Nat nggak suka sama buncisnya," kata Natasha dengan suara pelan.

Tanpa suara Satria menyingkirkan buncis dari piring Natasha dan menaruh sayuran hijau itu di piringnya sendiri satu demi satu.

"Udah Mas singkirin buncisnya. Banyakin makan sayurnya," kata Satria.

"Iya ...," Natasha kembali memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.

"Dengerin suamimu, Nat. Sayuran bagus lho supaya cepet hamil," tambah Merry.

"Uhuk ..., uhuk ...," tiba-tiba saja Natasha tersedak mendengar perkataan ibunya.

Secepat yang dia bisa, Satria mengangsurkan segelas mineral dan mengusap punggung Natasha. "Pelan-pelan."

"Hu-um."

                          ****

Malam itu langit sangatlah gelap. Bulan yang bersinar redup bahkan tidak tampak. Angin bertiup sedikit kencang terasa menusuk tulang, Natasha yang tengah berada di balkon segera masuk ke dalam kamar.

Gorden kamar meliuk-liuk mengikuti arah angin yang menerobos masuk dari celah pintu kamar, Natasha menghalau kain besar yang tergantung untuk menutupi pintu berlapiskan kaca itu. Seketika saat dirinya berbalik, dia mendapati Satria tengah tidur menghadap dinding membelakangi Natasha.

Cuaca malam sangatlah dingin. Sebentar lagi langit akan mencurahkan hujannya. Satria tertidur meringkuk, mungkin pendingin ruangan yang diatur paling rendah membuat lelaki itu  terlihat kedinginan.

Satria memang tidak tahan tidur dengan suhu dingin, berbeda dengan Natasha. Namun, dia mengalah. Selimut yang tersediapun cuma selembar. Jadilah, lelaki itu tidur meringkuk.

Melihat hal tersebut, Natasha terenyuh. Didekatinya sang suami lalu ditariknya selimut untuk menutupi tubuh Satria hingga dada.

Natasha pun menyusul Satria memasuki alam mimpi masuk ke  dalam selimut yang sama dengan Satria.

"Hallo? Ya? Apa? Oke, aku berangkat sekarang!" Mata Natasha terbuka mendengar suara Satria di sebelahnya yang tengah menerima telepon dini hari.

Ranjang di sisi Satria pun terasa bergoyang pelan. Menandakan pria itu beringsut perlahan dari kasur.

Natasha masih belum mengubah posisi tidurnya dan menyimpan rasa penasaran yang membuncah di dada. Ke mana lelaki itu akan pergi? Siapakah yang meneleponnya?

Dijual IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang