53

8.5K 547 20
                                    

Satria menggeliat. Saat tersadar, dia melihat bahwa dia bukan di apartemen Natasha. Menurunkan kakinya, dengan langkah terseok sembari memegangi perutnya, Satria melangkah menuju pintu kamar. Sekilas dia melihat Rika tidak ada di kasur tempat dia tidur.

Keluar dari kamar, Satria terperanjat sejenak. Rika tengah duduk di sofa ruang keluarga. Berjalan menenteng jaket, Satria duduk di sofa yang berhadapan dengan Rika. Satria masih melihat sisa tangis Rika. Iba melihat cinta pertamanya itu. Namun, ada hal lain yang lebih penting dari Rika.

Membuka jaket yang dilipat itu, Satria mengambil amplop besar yang berisi uang. Diletakkannya di atas meja.

"Ini uang untuk membeli mobilnya. Tapi ini gak cukup kalo untuk beli mobil baru. Seenggaknya bekas masih bisa. Kalo kamu emang mau beli baru, kabari aku. Nanti aku carikan tambahannya lagi."

Satria pun beranjak dari tempatnya. Baru saja akan berjalan, pertanyaan Rika menghentikan langkahnya.

"Mau ke mana? Kondisimu belum terlalu pulih."

"Pulang. Aku tidak ingin membuat Natasha kuatir. Lagipula tiap pagi sekarang dia muntah-muntah karena kehamilannya. Aku ingin mendampinginya," jawab Satria.

Sejurus kemudian Satria menyeret langkahnya keluar rumah dan memesan mobil online untuk pulang ke apartemen Natasha.

Sesampainya di apartemen Natasha yang dilakukan lelaki itu adalah langsung naik ke lantai dua masuk ke kamar mereka. Satria menaiki kasur pelan-pelan, beringsut mendekati Natasha yang tengah memunggunginya.

Satria memeluk sang istri dari belakang, menghidu aroma rambut Natasha yang disukai Satria. Dia sangat merindukan Natasha. Bertanding dengan menantang maut seperti tadi membuatnya teramat takut  jika nanti tidak bisa lagi bersama sang istri.

Hari pun terus turun menuju pagi. Matahari baru saja akan tampak dari balik cakrawala saat Natasha merasakan perutnya dipeluk dari belakang dan di saat  yang sama perutnya mulai mual, perempuan itu berbalik dan balas memeluk Satria menghidu aroma tubuh suaminya.

Satria menggeliat, mengecup kening Natasha lembut.

"Udah bangun, sayang?" tanya Satria.

"Hu-um."

"Anak ayah apa kabarnya? Baik-baik aja?" tanya Satria.

"Eh, ntar panggilnya ayah ibu atau papa mama sih?" tanya Natasha.

"Aku pengen dipanggil ayah aja. Nggak cocok dipanggil papa. Makannya singkong rebus dipanggil papa. Kalo kamu terserah dipanggil mommy pun oke. Eh, tapi emang cocok ayah sama mommy?"

"Iii--ih ... apaan sih?" Natasha mencubit perut Satria yang terkena pukulan semalam.

"Aaaw!" pekik Satria sembari berdesis.

"Eh, ada apa?" tanya Natasha. Meski Satria sering memekik karena dicubit Natasha, gadis itu amat yakin kali ini teriakan itu seperti benar menahan sakit.

Lampu kamar mati, cahaya matahari yang dibiaskanpun hanya masuk secuil lewat celah-celah kecil. Karena tidak yakin Satria baik-baik saja, Natasha menghidupkan lampu tidur.

Natasha terngaga. "Mas, kenapa?" tanya Natasha panik dan terdengar nyaris menangis.

"Ssshhh ...." Satria menarik Natasha masuk dalam dekapannya sebelum tangis perempuan itu pecah.

Bukannya reda, karena dekapan itu tangis Natasha justru pecah.

"Eh, malah tambah nangis ... Mas nggak apa-apa sayang ... bantuin seorang temen malem tadi lagi ada masalah."

"Pas Nat tidur?"

"Iya, ada temen nelepon. Udah nggak usah dibahas, ya? Udah selesai juga."

"Ta--pi ... se--rem ... liat ... mu--kanya ..., bengkak ...," Natasha berkata-kata di tengah isak tangisnya.

Dijual IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang