Bab 17

7K 520 3
                                    

Malam semakin larut menuju puncaknya. Makan malam telah usai setengah jam yang lalu. Sesuai saran Satria, Natashalah yang akhirnya menghabiskan sepotong ayam dengan nasi setengah porsi.

Satria berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Perutnya masih terasa lapar. Kegiatan tidur bersama dengan Rika tadi telah menguras tenaganya menciptakan rasa lapar lebih dari biasanya. Namun melihat binar mata Natasha yang tampak antusias melahap masakannya, lelaki itupun mengalah. Biarlah dia yang menahan lapar.

Pedihnya perutpun semakin menusuk. Sudah sejak tadi dia hendak ke dapur, memasak mi instan atau mungkin menggoreng nugget untuk melenyapkan rasa lapar.

Saat ini Natasha tengah menonton drama Korea. Ruang menonton televisi yang terhubung dengan ruang makan telah mencegah Satria mendatangi dapur. 
Satria hanya tidak ingin dipergoki oleh Natasha telah menyembunyikan rasa laparnya. Tidak ingin diketahui telah mengalah pada perempuan itu. Dia tidak ingin terlihat seolah memberikan perhatian pada wanita selain Rika.

Sementara itu soal Satria yang sering menyiapkan masakan untuk Natasha, oleh karena tidaklah mungkin dia memasak hanya untuk dirinya sendiri, sementara bahan yang dimasaknya dibelikan oleh Natasha. Katakanlah hal itu sebagai tanda terima kasih bagi Natasha yang telah memberikan kebebasan untuknya berada di dapur dan pada akhirnya hal tersebut akan membuat dia bisa menghemat uangnya lalu bisa menyerahkan lebih banyak lagi uang pada Rika.

Memasang telinganya baik-baik, Satria tidak lagi mendengar sayup-sayup bunyi televisi dari luar. Tampaknya Natasha sudah selesai menonton drama Korea kesukaannya.

Lelaki itupun menyeret langkahnya menuju dapur, membongkar isi kulkas untuk mencari apa yang bisa dibuatnya dalam waktu singkat.

Puas membongkar lemari pendingin itu, Satria tidak memiliki pilihan selain memasak mi instan. Isi kulkas Natasha hanya bahan mentah yang membutuhkan waktu lama untuk memasaknya.

Menghidupkan kompor, menaruh air dalam panci kecil, Satria menunggu cairan itu mendidih sembari memasukkan telapaknya ke dalam kantung celana. Tidak lama kemudian timbul riak air di dalam panci dan disertai kepulan asap yang mengudara di sana menandakan mi instan sudah boleh dimasukkan ke dalam panci.

Satria pun memasukkan dua buah mi instan sekaligus.

"Kamu masih lapar?" Sebuah suara merdu masuk ke dalam indra pendengaran Satria.

Seketika Satria menoleh ke belakang sementara sendok sayur yang dia pegangi mengantung di udara. Matanya terbuka lebih besar mendapati Natasha telah berdiri berjarak sepuluh langkah saja.

"Eh, oh iya ... eh ... tidak." Satria gelagapan menjawab pertanyaan Natasha.

Gadis itupun memicingkan matanya menangkap gelagat kebohongan yang diciptakan Satria. Natasha sangat yakin. Namun, dia tidak ingin memperpanjang hal itu. Selain rasa kantuk menyerangnya, dia juga akan menghargai Satria yang menyembunyikan kenyataan bahwa sebenarnya lelaki itu memang masih lapar. Namun dengan rasa empatinya, Satria telah merelakan ayam kecap tadi untu Natasha. Gadis itu sangat yakin dengan analisanya.

Natasha pun mengambil sebotol mineral untuk ditaruhnya di kamar sebelum kemudian tanpa berkata apapun dia meninggalkan Satria yang tengah menyiapkan mangkuk untuk menata mi instan di dalamnya.

Di dalam kamarnya, Natasha  duduk di pinggiran ranjang. Meneguk air mineralnya, pikirannya berkelana. Apakah Satria tadinya masih lapar, tetapi mengalah untuk dia karena mengetahui bahwasanya Natasha masih menginginkan menyantap ayam buatannya?

Diperhatikan secara tidak langsung seperti itu menghadirkan desir halus di dalam hatinya dan menciptakan senyum kecil. Natasha pun menggeleng pelan, berusaha menyangkal perasaan asing yang timbul akhir-akhir ini.

                           ***

Hari ini adalah hari yang melelahkan bagi Natasha serta karyawannya yang kedatangan tamu dari dinas perdagangan pemerintah daerah setempat. Tim tersebut memang secara berkala akan mendatangi restoran-restoran untuk memeriksa ijin dan lain sebagainya. Alhasil, karyawannya sangat sibuk ketika utusan dinas perdagangan ini memeriksa perijinan restoran dan sebagainya.

Natasha tengah meraih tali tasnya bersiap-siap hendak pulang ke apartemen kala ponselnya berbunyi nyaring. Natasha menautkan kedua alisnya ke tengah pelipis setelah melihat nama di layar telepon genggamnya.

Devin.

"Hallo?" sapa Natasha terlebih dahulu.

"Nat, lo pulang sekarang," titah Devin dengan suara yang terdengar risau di telinga Natasha.

"Ada apa?" tanya Natasha dengan hati yang berdebar kencang mendengar nada bicara Devin yang menampakkan keresahan.

"Mama jatuh di kamar mandi," jelas Devin.

"Apa? Kok bisa?" tanya Natasha.

"Lo cepet aja pulang. Jangan lupa ajak Satria. Mama yang minta."

"A-apa? Satria disuruh ikut?" tanya Natasha.

"Lha? Ya iya dong Nat. Dia tuh suami lo. Wajar 'kan menantu jenguk mertua yang lagi sakit. Lo kebangetan kalo sampe gak ngakak Satria pulang. Trus kata Mama nginep di rumah. Mama kangen lo katanya."

"Gue usahain ya, Vin. Kayaknya dia sibuk deh," kata Natasha.

"Gue gak nerima alasan apa pun ya, Nat. Mama minta kalian nginep di sini. Mama tuh udah semakin lemah lho, Nat." Devin mengingatkan Natasha.

"Ngomongnya tambah ngelantur. Gue tetep nanya Satria dulu mau ikut atau enggak," jawab Natasha.

"Oke, dan gue yakin Satria bersedia." Devin pun memutuskan panggilan telepon seluler itu.

Natasha bergegas keluar dari ruang kerjanya menuju parkiran khusus karyawn restoran. Sembari melangkah, matanya tidak berhenti dari menelusuri keberadaan Satria di penjuru-penjuru ruangan restoran.

Tidak menemukan Satria di manapun, Natasha menghubungi
ponsel Satria. Walaupun hubungan mereka bukanlah suami istri dalam pengertian sebenarnya. Natasha tetap menyimpan nomor telepon seluler Satria, sebab mereka tinggal di bawah atap yang sama.  Tidak mungkin mereka tidak saling menyimpan nomor ponsel masing-masing untuk berkomunikasi jika ada sesuatu yang mendesak, seperti saat ini.

"Ya?" Satria memelankan suaranya saat menerima telepon dari Natasha.

"Mama jatuh dari kamar mandi. Beliau nyuruh kita datang dan nginep di sana," kata Natasha.

Hening.

"Hallo?" Natasha melebur keheningan itu.

"Oh, eh ya?" Satria tergelagap.

"Kamu denger apa yang aku bilang tadi 'kan?" tanya Natasha.

"Ya, aku denger," jawab Satria pelan.

"Jadi maksudnya aku tunggu di pertigaan ujung. Aku jemput kamu di sana," kata Natasha.

"Aku kayaknya nggak bisa pergi." Suara bariton itu membuat hati Natasha mencelus.

Benar saja dugaannya. Satria tidak akan peduli. Bukankah pernikahan ini memang sebuah pernikahan pura-pura yang mana keduanya terikat tapi tidak saling mengikat. Bahkan urusan keduanya tidak akan saling bersinggungan. Mereka tidak akan saling mencampuri permasalahan yang ada di antara mereka.

Natasha bingung harus menjawab apa. Bahkan Devin saja menduga jika Satria mau menjenguk mama mereka. Gadis itu jadi bersedih tidak mampu mengabulkan keinginan mamanya di saat-saat genting seperti ini.

Ternyata Satria tidaklah sebaik dugaannya seperti beberapa waktu terakhir ini. Menghajar Rendra, merawatnya saat dia mmerasakan sedikit trauma, memasak untuknya serta mengalah untuk Natasha meskipun lelaki itu juga merasa lapar. Sederet kebaikan itu membuat sebagian tembok yang dibangunnya dari para lelaki mulai merepih sedikit.

Natasha pun melajukan mobilnya sendirian menuju kediaman sang bunda, sembari memikirkan jawaban yang tepat ketika keluarganya melihat Satria tidak membersamainya.

Tanpa Natasha tahu bahwa penolakan Satria itu ada penyebabnya.

Dijual IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang