Satria memutar tumitnya. Ternyata Natasha telah bertukar posisi menghadap ke arah Satria berdiri. Mereka saling menatap satu sama lain. Satria masih betah mematung di tempatnya berdiri. Sementara Natasha menatap Satria dengan sendu.
Satria mendekat kembali menuju ranjang Natasha lalu duduk di sisi gadis itu. Keduanya sama-sama diam dengan tatapan mata yang masih beradu.
"Kamu ingin aku tinggal?" tanya Satria.
Natasha mengangguk pelan.
"Dengan satu syarat!" kata Satria.
Kening Natasha bertautan karena heran sekaligus menyiratkan sebuah pertanyaan pada Satria tentang syarat yang diminta oleh lelaki itu.
"Makan dan minum tehnya, abis itu istirahat," kata Satria.
Natasha diam sebentar. Sejurus kemudian mengangguk lemah kembali. Natasha bangkit dari tempatnya berbaring, duduk bersandar pada kepala ranjang.
Satria pun mengambilkan teh yang sudah mendingin lalu mengangsurkannya pada Natasha. Gadis itu menerima gelas teh dan meminumnya hanya beberapa teguk. Natasha menaruh gelas tehnya di atas nakas.
"Makan, ya?" kata Satria.
Natasha mengangguk lemah.
Satriapun mengambil nasi dan mencampurnya dengan sop sebelum diberikan pada Natasha.
Gadis itupun makan perlahan. Sementara Natasha memakan nasi dan sop buatannya, Satria mengirim pesan pada seseorang untuk menggantikannya bertugas malam ini. Namun, baru setengah dihabiskan nasi itu, Natasha sudah menyerahkan piring makannya pada Satria.Suami bayarannya itu mengernyitkan dahi. "Gak dihabisin?"
Natasha menggeleng lemah. "Kenyang. Gak pengen makan."
Satria menghela nafasnya pelan. "Ya udah, istirahat habis ini. Tunggu lima belas menit lagi. Gak baik untuk kesehatan kalo langsung tidur setelah makan."
Natasha menggangguk.
Satria pun membawa piring dan gelas serta nampan tadi bersamanya menuju ke dapur.
"Kamu nggak kemana-mana 'kan?" tanya Natasha dengan suara lirih.
Satria berbalik menghadap Natasha. "Enggak. Hari ini aku di rumah. Tadi aku sudah kasih tahu temen untuk menggantikan aku."
Satria duduk termenung di meja makan. Tio temannya tadi mengatakan jika dia nyaris tidak bisa menggantikan Satria bertugas karena putrinya tengah berada di rumah sakit. Sekaligus Tio mengingatkan agar ijin yang mendadak seperti ini sebaiknya tidak diulangi lagi. Karena akan banyak orang yang siap menggantikan Satria.
Mendesah berat karena resah, Satria pun mulai menyantap makan malam.
Setelah makan malamnya tuntas, Satria mengeluarkan ponsel dari kantung celana, kemudian melakukan panggilan pada Rika.
Bunyi nada sambung di ponsel Satria terdengar nyaring.
"Hallo?" sapa Rika dari seberang.
"Hallo. Gimana kabar kalian?" tanya Satria.
"Ya ampun, Mas. Kabar kami baik. Rasanya dalam hidup kami nggak pernah ngerasa sebaik ini.
Kita bisa beli rumah yang nyaman banget. Nggak sebesar rumahnya Natasha sih, tapi nyaman. Kamarnya tiga, dapurnya luas, ruang keluarga juga luas. Ada tamannya juga. Makasih deh buat Natasha dan kamu juga, Mas. Baikin tuh Natasha, biar awet pernikahan kalian, 'kan dia bisa ngasih uang terus buat kita," celoteh Rika.Satria mengangguk-angguk mendengar cerita Rika. Dia ikut merasakan kebahagiaan Rika. Walau sebetulnya jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, dia teramat sedih karena berjauhan dengan Rika dan Dyah. Sedangkan dirinya malah terdampar bersama wanita yang dikenalnya secara mendadak. Namun tidak apa, asalkan Rika dan Dyah bahagia, dia akan mewujudkannya meskipun dengan pengorbanan yang tidak sedikit.
Menjadi suami gelap Natasha bukanlah menjadi sebuah kebanggan. Ada semacam harga diri tergores saat Rika seolah menjual dirinya. Hatinya hancur mendapati kenyataan bahwa Rika hanya menganggapnya sebagai barang pencetak uang. Namun, selagi semuanya untuk kebahagiaan Rika dan Dyah, dia rela melakukan apa saja. Bahkan menjual harga dirinya sebagai lelaki.
Menikah dengan wanita yang tidak dia cintai bukanlah perkara mudah. Ada semacam rasa rendah diri yang besar saat berhadapan dengan Natasha. Perempuan kaya yang sudah membelinya. Namun, lagi-lagi perasaan tidak nyaman itu harus dia tekan sebanyak mungkin. Kebahagiaan Rika dan Dyahlah yang paling utama.
Satria juga tidak dapat memastikan apa akhir yang akan mereka temui nantinya. Dia hanya berharap suatu hari nanti kebahagiaan yang akan ditemui.
"Rik, aku mau video call dengan Dyah," kata Satria kemudian.
"Oh iya, bentar."
Berikutnya di layar ponsel Satria muncul wajah Dyah.
"Hallo ayah," sapa gadis kecil yang berusia lima tahun itu.
"Hallo sayang, lagi apa?" tanya Satria.
"Lagi maen sama ibu. Yah, ibu sekarang beli mainan banyak. Dyah seneng deh, Yah," celoteh Dyah.
Satria merasa lega. Sebab pengorbanan yang dilakukannya teramat besar, tapi mungkin sepadan dengan kebahagiaan Rika dan Dyah. Hal yang membuat dia paling mengeluh adalah berjauhan dari Rika dan Dyah. Rindunya sudah membuncah, padahal baru sehari mereka berpisah. Namun, Satria kembali harus menekan perasaannya agar rindu tidak semakin menyiksa.
"Apa aja yang dibeliin ibu?" tanya Satria.
"Teddy Bear, buat maen dokter-dokteran, puzzle. Banyak deh, Yah. Dyah gak bisa bilangnya. Terlalu banyak."
"Dyah seneng?" tanya Satria.
"Iya, dong ayah."
"Ya udah ntar belajar yang rajin."
"Iya, Ayah. Ayah kapan ke sini? Ke rumah baru kita?" tanya Diah polos.
Satria hanya tersenyum simpul. Selain masih bekerja dan menjadi badut untuk tetap memberikan nafkah pada Rika dan Dyah sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang suami, Satria juga tidak tahu kapan waktu yang tepat bisa menemui keluarga kecilnya. Waktunya sudah tersita untuk bekerja. Lagipula sekarang tidak mungkin secepat itu untuk berpergian di awal-awal pernikahannya dengan Natasha. Bisa-bisa gadis itu jadi curiga. Satria tidak mau hal itu terjadi. Membohongi Natasha adalah sesuatu yang buruk bagi Satria karena dia harus menyimpan rapat-rapat kebohongannya agar tidak ketahuan. Entah sampai kapan dia akan terjebak dalam situasi ini. Menjadi suami bayaran seorang perempuan yang telah memberi kebahagiaan pada keluarga kecilnya.
"Nanti kapan-kapan Ayah ke sana. Sekarang tutup dulu ya teleponnya. Jangan nakal, baik-baik ya," pesan Satria.
"Ya, Ayah. Muuuaaach."
"Oke, bye sayang. Ayah tutup teleponnya ya," kata Satria.
"Bye Ayah."
"Bye sweetheart."
Panggilan teleponpun ditutup Satria. Dengan senyum sedikit lebar, Satria bangkit dari kursinya lalu berbalik membawa piring sisanya makan tadi ke wastafel yang ada di belakangnya.
Saat Satria berbalik, dia dikejutkan oleh kehadiran Natasha di anak tangga paling bawah mematung menatapnya tanpa ekspresi. Seketika jantung Satria berdegup kencang mendapat tatapan seperti itu.
Berbagai pertanyaan berkelabat di dalam kepala Satria. Apakah Natasha mendengar percakapannya dengan Rika? Sejak kapan Natasha berada di sana?
Belum sempat otak Satria memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu, suara Natasha merambat di telinganya. "Ayah? Siapa yang memanggilmu Ayah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dijual Istri
ChickLitNatasha seorang wanita dingin yang sudah pernah patah hati, hingga dia didesak oleh keluarganya untuk menikah sebab orang tuanya yang sudah sakit-sakitan ingin melihatnya menikah. Merasa terdesak, dan sudah tidak memiliki waktu banyak lagi, Natasha...