33

7.9K 552 7
                                    

Satria terdiam mendengar kata-kata Natasha. Perempuan itu memintanya berjanji agar selalu ada untuknya. Mungkinkah dia harus menjawab iya? Sementara dia masih belum bisa memastikan seperti apa  hubungan mereka ke depannya.

Bagi Satria janji lelaki adalah harga mati. Menjadi lelaki yang selalu menepati janji adalah keinginan tertingginya. Jadi, dia tidak akan mengumbar janji jika dia masih belum yakin akan memenuhinya.

Tangisan itu masih terus berlanjut, belum reda sama sekali. Satria juga tidak kunjung memberikan jawaban atas ucapan Natasha yang terasa amat tiba-tiba.

Namun ada perasaan mengganjal jika dia tidak menjawab permintaan Natasha di tengah kondisi sang istri yang tengah rapuh.

Sambil terus mengusap punggung Natasha, lelaki yang lelah dengan perang batinnya itu pun menjawab, "Aku tidak bisa berjanji sepenuhnya jika aku akan selalu ada untukmu, karena aku bukanlah Dia yang setiap saat selalu bersamamu. Aku hanya bisa menjanjikan aku akan berusaha ada di saat-saat genting dalam hidupmu. Di saat-saat tersedih dalam hidupmu. Akulah pria pertama yang akan mengusap air matamu. Untuk itu jadikan aku orang pertama yang melihat air matamu setiap engkau bersedih. Kamu dengar? Hmmm?"

Dalam dekapan hangat itu Natasha mengangguk. Perlahan tangisnya pun memudar hingga hilang berganti suara dengkuran halus.

Menyadari tiap untaian kata janjinya pada Natasha, Satria memejamkan matanya serta menghela napas berat. Mengapa begitu mudahnya janji itu diucapkan? Padahal pernikahan mereka hanyalah sebuah kesepakatan. Namun, yang penting sekarang adalah menenangkan Natasha. Mentalnya tengah tertekan. Saat ini yang dibutuhkannya adalah dukungan. Tentang bagaimana nantinya mereka ke depan, dia akan memikirkannya.

Mengantuk berat, mata Satria pun merapat hingga lenyaplah kesadarannya.

Aroma embun pagi menyeruak menyelinap ke dalam indra penciuman Natasha. Tangan sebelah kanannya terasa kaku. Di dalam setengah kesadarannya, dia merasakan bahwa dirinya masih berada dalam pelukan sang suami.

Membuka matanya perlahan, yang dia dapati adalah pelukan Satria tidak mengendur sama sekali sejak malam tadi. Natasha memundurkan tubuhnya mencoba merenggangkan pelukan itu.

"Mau ke mana? Masih pagi banget ini. Lukamu udah gak perih lagi?" tanya Satria dengan matanya yang masih terpejam rapat serta suaranya yang serak.

"Mau ke kamar mandi ..., lagian udah kebas nih tangan yang ketindih," jawab Natasha lirih.

Sontak saja Satria melepas pelukannya lalu memundurkan kepalanya, menatap dengan sendu wajah Natasha dari jarak dekat. "Maaf."

Natasha membalas permintaan maaf itu dengan senyum hangat dan sebuah cubitan sayang di pipi Satria. "Nggak usah minta maaf. Emang Mas salah apa?"

Satria terdiam. Senyuman dan cubitan itu terasa sangat istimewa untuknya. Mata lelaki itu tidak berkedip, membuat senyum Natasha lebih lebar dari sebelumnya melihat reaksi spontan Satria akibat perlakuan sederhananya.

"Tuh pipi kalo gue cium kira-kira gimana ya reaksinya." Natasha membatin.

Natasha beringsut dari tidurnya, menggeser diri perlahan yang dalam pengamatan Satria sangat kepayahan. "Masih perih 'kan?"

Natasha mengangguk.

"Mau ke kamar mandi?" tanya Satria lagi.

"Iya," jawab Natasha lirih.

"Tunggu!" kata Satria.

"Hah?"

Belum selesai otak Natasha mencerna perkataan Satria, lelaki itu dengan gerakan cepat menuruni ranjang dan memutarinya menuju sisi sebelah Natasha.

Dijual IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang