13

7.4K 565 6
                                    

"Aku tahu memang setiap bulannya kamu sudah mengirim uang ke rekening aku. Tapi, bukan berarti aku tidak boleh mencari uang sendiri--" cetus Satria. "--lagipula bukankah kita sudah sepakat untuk tidak saling mencampuri urusan masing-masing? Di dalam kesepakatan yang kita buat tidak ada klausul yang menyatakan bahwa aku dibatasi dalam bekerja."

Natasha terdiam mendengar alasan yang dikemukakan oleh Satria. Ya, benar. Mereka tidak pernah menyepakati apa yang boleh dikerjakan oleh Satria atau tidak. Bahkan mereka telah sepakat untuk tidak saling mencampuri urusan masing-masing.

"Ada lagi yang ingin dibicarakan? Kalo tidak aku mau ke kamar." Satria memasang wajah datarnya di hadapan Natasha.

Sontak Natasha kaget. Dirinya merasa terintimidasi. Natasha tidak biasa diperlakukan seperti itu. Dia yang lebih sering memperlakukan orang lain demikian.

"Belum, aku belum selesai," kata Natasha dengan aura dinginnya.

Satria menatapnya dengan tajam. Harga dirinya terasa semakin diinjak dari hari ke hari.

"Apa? Apa lagi yang ingin kamu bicarakan?" tanya Satria.

"Oke, aku tidak akan mengganggumu lagi mengenai pekerjaan. Silakan lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Aku tidak akan melarang. Tapi tolong jangan bocorkan hubungan kita dengan siapapun juga. Terutama pada karyawan restoran."

Satria menarik nafasnya dalam, lalu menghembuskannya pelan.

"Oh soal itu. Tentu saja aku gak akan bongkar. Bukankah kemarin sudah dimasukkan dalam klausul?" tanya Satria dingin.

Mata Natasha mengerjap beberapa kali. Tidak menyangka jawaban Satria yang sangat ketus.

"Sudah?" tanya Satria.

Natasha mengangguk.

"Aku permisi." Satria bangkit dari kursi lalu melangkah tegas menuju kamarnya.

Natasha masih termangu di kursi makan. Tidak menyangka ternyata Satria cukup sulit ditaklukkan. Selama ini dia yang selalu berada di atas. Mampu menaklukkan orang lain dengan kekayaan, kedudukan, dan kecantikan. Menundukkan siapa saja yang dia mau.

Namun sekarang bagaimana? Suaminya sendiri tidak mampu dia taklukkan. Terlebih suaminya itu adalah suami bayaran yang menikah dengannya karena materi. Bukankah ketika Natasha memberikan tawaran untuk menambah uang bulanan yang dikirimkan padanya harusnya dia menerima saja, selama ini 'kan memang seperti itu. Namun justru Satria menolak.

Natasha pun jadi bingung. Bukankah jika melihat laki-laki itu mau saja menikah dengannya karena materi, harusnya Satria tidak akan menolak tambahan uang bulanan. Jadi sebenarnya apa yang mendorong Satria menerima pernikahan ini? Kembali kepala Natasha diberondong pertanyaan yang membingungkan. Kemarin dalam perjanjian pernikahan di sana jelas motivasi Satria adalah uang.

Lagipula mengapa Satria tidak mau? Bukankah dengan demikian Satria tidak perlu bersusah payah bekerja sebagai pelayan restoran. Tanpa perlu capek-capek. Natasha mendesah sebelum memejamkan matanya menyesapi apa yang terjadi baru saja.

Natasha menghabiskan teh hijaunya yang tersisa setengah gelas dan melangkahkan kakinya ke kamar.

Sementara itu Satria di kamarnya menyugar rambut karena frustrasi. Natasha telah menginjak harga dirinya. Menawarkan kembali uang bulanan sangat melukai harga dirinya sebagai lelaki. Jika dia menerima saja uang itu julukannya sebagai suami bagi Rika akan tidak berarti lagi.

Bukankah mencari nafkah adalah tanggung jawab seorang suami? Biarpun hasil yang didapat dari jerih payahnya sedikit, eksistensi nya sebagai seorang suami harus dipertahankan. Jika tidak, dia akan merasa bukanlah lelaki seutuhnya. Baginya ada rasa kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri ketika dia memberikan amplop gajinya untuk Rika.

***

Matahari sudah naik sepenggalah. Natasha masih betah di kamarnya. Dia malas bertemu dengan Satria. Baik di dapur ataupun di restoran nanti. Setelah sedikit perdebatan di antara keduanya, Natasha memilih untuk berlama-lama di kamarnya.

Saat menuruni tangga dengan hati-hati, Natasha celinguk kanan celinguk kiri berusaha menghindari jika saja ada Satria di lantai satu.

Hingga sampai undakan tangga terakhir dia tidak menemukan kehadiran Satria di sana. Natasha bernapas lega. Namun, ada bagian hatinya yang menghangat tatakala dia menemukan kembali secangkir teh di atas meja dan kali ini disertai sepotong sandwich di sana.

Natasha melangkah menuju meja makan sebelum duduk di kursinya. Gadis itu mulai berpikir ternyata benar jika kemarin teh yang tersedia di atas meja memang disiapkan Satria untuk dirinya.

Ah, kenapa dia jadi meleleh begini hanya dengan segelas teh dan sepotong sandwich? Apalagi kemarin mereka sempat berdebat. Namun pria itu malah membuatkan teh dan sandwich untuknya. Tanpa disadari oleh Natasha bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman yang teramat manis karena kelakuan Satria tersebut.

Seharian ini Natasha masih menghindari bertemu dengan Satria. Dia tidak ingin terlihat canggung di depan Satria dan akan menjaga gengsinya untuk tidak menegur lelaki itu lebih dulu. Ah, harga dirinya memang setinggi itu.

Namun apa mau dikata, sebagaimanapun dia menghindari bertemu dengan Satria tidak akan bisa jika takdir sudah menentukan dia akan bertemu dengan sang suami. Seperti kali ini, kamar mandi ruang kerja Natasha di restoran. tengah diperbaiki, sehingga dia terpaksa keluar dari kantornya untuk buang air kecil di toilet karyawan.

Gadis itu menyapu pandangannya ke keseluruhan sudut-sudut ruang utama restoran di mana biasanya berseliweran karyawan-karyawan yang melayani pembeli. Natasha tidak menemukan Satria di sana.

"Mungkin di pantry, baguslah kalo gitu," gumam Natasha.

Gadis berambut panjang hitam legam itupun melanjutkan langkahnya menuju toilet karyawan, dengan langkah sedikit cepat.

Sebelum dirinya memasuki toilet, ada gudang yang menyimpan barang-barang yang terbuat dari kain semisal gorden, celemek, dan lain sebagainya. Pintunya terbuka dan seketika Natasha menoleh, seseorang yang terlihat punggungnya itu, tengah menempelkan benda pipih ke telinga. Seseorang yang sosoknya sangat dikenali oleh Natasha.

"Nggak bisa hari ini, Rika ... aku baru dua hari ini bekerja di sini. Nyari kerjaan jaman sekarang 'kan gak mudah. Iya, tunggu aja aku akan transfer." Sebuah suara yang sangat dia kenali merambat ke gendang telinganya.

Natasha mematung di tempatnya berdiri. Satria berbicara dengan Rika. Perlahan dia merapatkan tubuhnya ke dinding di sebelah pintu gudang demi mendengar apa yang tengah dibicarakan oleh Satria dengan Rika di telepon genggam.

Natasha juga sudah dihinggapi rasa penasaran dengan anak Rika yang diakuinya sebagai anak yang lahir tanpa kehadiran sang suami yang pergi meninggalkan mereka saat Dyah masih berada dalam kandungan. Sebab anak itu justru memanggil Satria dengan sebutan ayah.

Kemudian tadi itu apa? Satria akan mengirimkan uang pada siapa? Rika? Atau Rika meminjam uang? Lalu sejauh apa hubungan Rika dan Satria yang katanya sepupu jauh, tapi putri Rika sangat dekat hubungannya dengan Satria, sehingga harus memanggilnya dengan sebutan ayah. Apa sebetulnya hubungan mereka? Apakah benar jika mereka hanyalah sepupu jauh? Mengapa batin Natasha seolah mengatakan bahwa ada sesuatu di antara mereka?

Dijual IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang