Natasha tersenyum lebar menahan tawa.
"Bukan mandi tapi dilapin aja. Mau ya?" tanya Natasha yang terpana dengan ketampanan sang suami saat mata mereka bertemu pandang.
"Kemana aja lo? Baru nyadar dia tampan?" tanya Natasha dalam hati.
"Oh, iya mau," jawab Satria setengah malu-malu.
Bukan setengah malu tapi sangat malu sebab mendengar istrinya akan mengelap tubuhnya pikiran kelelakiannya bekerja. Satria menggeleng pelan.
"Buka bajunya, Nat bantuin."
Natasha berdiri di sebelah Satria untuk membuka baju sang suami. Satria mengangkat kedua tangannya, sedangkan Natasha menarik kaosnya perlahan. Lelaki itu bertelanjang dada kini. Dengan gerakan hati-hati Natasha mulai menggerakkan telapak tangannya secara perlahan mulai dari pundak belakang hingga ke pinggang. Lalu berpindah ke bagian depan, mengusap dada hingga ke perut dengan pelan dan hati-hati. Natasha takut handuk kecil itu melukai Satria. Wajah serius gadis itu diperhatikan lekat oleh Satria menciptakan dentuman liar di dalam dadanya.
Pun tak jauh berbeda dengan Satria, sang istri mulai merasakan degup liar jantungnya. Apalagi dari sudut matanya, Natasha sangat menyadari jika Satria memandanginya dengan intens.
Setelah dirasa membasuh tubuh Satria sudah cukup bersih, Natasha mengelap sisa tadi dengan handuk kering, dan dilanjutkannya dengan membalur kulit sawo matang itu dengan minyak kayu putih mulai dari perut hingga dada lalu punggung.
Di saat-saat seperti itu, Satria menikmati perlakuan Natasha yang sangat mirip dengan bakti seorang istri. Benar-benar seorang istri. Bukan sebagai wanita yang telah membelinya. Mendadak hati Satria dihinggapi kehangatan.
Natasha memutari ranjang mengambil kaos baru di lemari untuk dipakaikan pada Satria.
"Udah. Segeran nggak?" tanya Natasha lembut.
Satria mengangguk.
"Masih pusing?" tanya Natasha.
Satria menggeleng.
"Masih mau makan? Atau buah?" tanya Natasha kembali.
Lagi lagi Satria menggeleng.
Natasha mengernyitkan dahi karena heran, bibirnya mengerucut. Ada apa dengan suaminya itu? Natasha bertanya-tanya dalam hati.
Adapun suaminya itu merasa tidak sanggup menjawab pertanyaan Natasha. Sebab suaranya akan bergetar karena degup jantungnya yang berpacu dengan cepat.
"Udah tiduran sekarang. Besok mudah-mudahan sembuh ya."
Satria mengangguk. Merebahkan diri di kasur mengatupkan mata yang terasa memberat. Natasha melapisi sang suami dengan selimut hingga dada. Menyusul suaminya yang mulai terlelap.
***
Matahari perlahan muncul dari balik cakrawala. Wangi dedaunan yang dihinggapi embun pagi menyeruak masuk ke celah indra penciuman Natasha. Menggeliat sebentar, gadis itu menyangga kepalanya dengan sebelah tangan berbaring miring menatap lelaki yang tidur di sebelahnya itu.
Seorang pria yang baru saja disadarinya adalah sosok yang bersahaja tapi tampan. Hidung bangir dengan alis yang hampir menyambung kanan dan kirinya, manik hitam gelap yang tajam tapi menyimpan kehangatan pada orang-orang terdekatnya. Mengapa hal itu baru disadarinya? Mengapa dia tidak pernah memperhatikan sosok yang sangat peduli dengan orang terdekatnya itu?
Teringat akan demam yang mendera Satria, gadis itu menaruh punggung telapak tangannya di dahi Satria. Suhu badan suaminya itu sudah sama dengan suhu ruangan.
Dahi Satria mengernyit. Perlahan kelopak matanya membuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar. Menyadari suaminya sudah membuka mata, Natasha menjatuhkan dirinya kembali ke kasur dalam posisi miring menghadap Satria.
Menutup mulutnya yang menguap, lelaki itu menoleh ke samping menatap lembut pada sosok yang tidur di sebelahnya. Kini Satria yang berganti menopang kepalanya dengan sebelah tangan memperhatikan dengan seksama detail wajah cantik itu. Tanpa disadarinya, senyuman tersungging di bibirnya.
Telapak tangannya yang bebas mengusap kepala Natasha dengan lembut. Akhir-akhir ini Satria merasakan letupan-letupan kecil di dalam dadanya. Sejak pelukan Natasha untuknya waktu itu, dia mulai menyimpulkan jika istrinya itu adalah perempuan yang baik. Hanya sedikit cuek dan dingin.
Mata Natasha berkedut-kedut karena sesungguhnya memang dia tidak tidur. Melihat itu, Satria pun membentangkan kembali jarak mereka. Dia tidak ingin kepergok oleh Natasha tengah memandangi diri gadis itu. Sedangkan Natasha yang tadinya merasakan hembusan napas Satria sangat dekat lalu tiba-tiba saja menjauh membuat rasa penasarannya muncul. Dengan hati-hati Natasha membuka sebelah matanya perlahan, mengintip.
Dari sebelah matanya dia dapat melihat Satria memejamkan mata menghadapnya dan gadis itu sadar jika Satria berpura-pura tidur kembali. Natasha pun tersenyum lucu. Demi menjaga agar Satria tidak malu jika ketahuan berpura-pura tidur, maka Natasha pun beringsut pelan dari kasur mereka menuju kamar mandi.
Selesai dengan mandinya, Natasha bergegas menuju pantri, sedangkan Satria membuka matanya setelah bunyi pintu ditutup. Menapakkan kakinya ke lantai sebelum membawa langkahnya menuju kamar mandi. Rasa lengket tubuhnya harus segera dihilangkan dengan kucuran air hangat.
Memasuki pantri, Natasha menghampiri sang bunda.
"Hei, udah bangun? Gimana Satria? Udah baikan?"
"Kayaknya sih udah."
"Oh syukurlah."
"Bantuin Rina tuh siapin sarapan. Kamu tuh udah jadi istri lho, Nat. Harus belajar masak. Masa' harus beli terus makannya. Kasian Satria," ujar Merry memberi wejangan pada Natasha.
"Iih Mama, Satria aja nggak protes. Mama yang malahan protes."
"Ih, dikasih tau malah sewot."
"Pagi ...," sebuah suara berat menggema di ruang makan.
Natasha yang tengah menyeduh teh hijau menoleh pada sumber suara. Tidak jauh dari mereka berdiri suaminya dengan rambut yang masih sedikit basah sementara kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana kainnya berwarna hitam dipadu dengan kaos putih yang mencetak tubuh berototnya. Tatapan keduanya saling beradu, dan masing-masing menyungginggkan senyum hangat.
"Udah seger, udah sehatan banget?" tanya Natasha.
Merry yang tengah mengaduk nasi goreng di wajan pun menoleh pada Satria dan tersenyum melihat menantunya itu telah bugar kembali.
"Udah---" jawab Satria sembari melangkah pelan mendekati Natasha, "---makasih ya, sayang...." Sebuah kecupan mendarat di pelipis Natasha.
Gadis itu terbengong di tempatnya, mengerjapkan matanya pelan, sementara Merry tersenyum bahagia melihat interaksi keduanya.
Satria belum juga menjauh dari Natasha. Lelaki itu masih menikmati keterbengongan sang istri. Disentilnya pelan dahi Natasha, didekatkan bibirnya ke telinga gadis itu dan berkata, "Kamu cantik banget kalo ngelamun. Jangan ngelamun di depan pria selain aku."
Natasha jadi kikuk diperlakukan seperti itu. Berikutnya Natasha berjalan pelan meninggalkan Satria dengan pertanyaan yang berkelabat di kepalanya.
Ada apa dengan suaminya itu?
Benarkah kecupan tadi hanya sebuah sandiwara di depan Merry?
Jika benar sandiwara mengapa Natasha melihat sikap Satria sangat alami dan natural?
Ataukah memang Satria mulai mencintainya?
Apakah cinta lelaki itu bermula dari rasa harunya karena Natasha merawatnya saat dia sakit?
Atau ada hal lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dijual Istri
ChickLitNatasha seorang wanita dingin yang sudah pernah patah hati, hingga dia didesak oleh keluarganya untuk menikah sebab orang tuanya yang sudah sakit-sakitan ingin melihatnya menikah. Merasa terdesak, dan sudah tidak memiliki waktu banyak lagi, Natasha...