Bab 7

8.4K 644 6
                                    

Natasha berusaha mendorong tubuh Rendra sekuat tenaga. Namun tidak berhasil. Rendra terus melakukan serangan beringas. Mencium, meraba tubuh bahkan merobek rok Natasha dan melucutinya dari tubuh Natasha. Kini tubuh Natasha setengah telanjang dengan baju yang robek, sementara roknya juga sudah dilempar oleh Rendra ke lantai.

Natasha menangis dan menjerit histeris ketakutan setengah mati. Tangisannya begitu menyanyat hati. Yang dilakukannya hanya meronta dan berusaha menghindari ciuman yang dilakukan Rendra secara membabi buta.

Tiba-tiba...

Natasha yang matanya tengah terpejam merasa tubuh Rendra menjauh, dan lama-lama terurai darinya. Lalu telinganya menangkap suara pukulan yang dihantamkan ke tubuh seseorang. Natasha membuka matanya dan sebuah adegan pemukulan yang dilakukan Satria pada Rendra terpampang jelas di depan matanya.

Buru-buru Natasha menutup tubuhnya dengan selimut dengan sesegukan dan linangan air mata.

"Kurang ajar! Brengsek!" Satria melayangkan bogem mentahnya bertubi-tubi pada Rendra.

Rendra yang tubuhnya memang lebih kecil dari Satria tentu saja kalah. Apalagi tubuh Satria yang biasa berlatih karate karena bekerja sebagai satpam membuat tubuhnya tetap terjaga kebugarannya. Jangan lupakan pula kemampuan karatenya yang sudah ada mencapai level dan II.

Rendra babak belur dihajar Satria. Mukanya bengkak, pelipis dan bibirnya berdarah. Satria melumpuhkan Rendra tanpa perlawanan berarti. Satria tidak sedikitpun memberi kesempatan bagi Rendra untuk membalasnya. Hingga Rendra tersungkur di lantai meringkuk kesakitan dengan erangan yang terdengar lirih.

"Siapa kamu berani mengganggu istriku?" tanya Satria dengan mata berkilat penuh amarah.

Rendra yang kesakitan tidak mampu menjawab.

"Sekarang tolong keluar dari sini! Atau perlu kuseret dengan kasar? Cepat keluar!" pekik Satria.

Rendra tampaknya masih betah terbaring di lantai. Dihajar berkali-kali pastinya membuat dia kesakitan dan hanya bisa tergeletak menggenaskan di bawah.

Namun Satria tidaklah sabar menunggu pergerakan dari Rendra untuk segera meninggalkan apartemen mereka. Hingga akhirnya Satria merundukkan tubuhnya lalu mencengkeram kerah baju Rendra. "Kalo kamu masih mau idup, keluar sekarang dan jangan lupa untuk tidak akan menyentuh seujung kukupun istriku. Aku pastikan untuk yang berikutnya kamu gak akan bisa bangun lagi jika sampai peristiwa semacam tadi terulang lagi. Ngerti!" Satria berteriak keras saat berucap kata ngerti.

Mau tidak mau setelah diberi peringatan semacam itu, Rendra pun berusaha bangkit dengan susah payah, dan berjalan terseok-seok menuju pintu kamar hingga akhirnya bayangan lelaki itu menghilang dari balik pintu kamar Natasha.

Satria mengalihkan pandangannya pada Natasha yang duduk melipat lututnya di dada, berlapiskan selimut tebal. Air mata istrinya masih setia meleleh. Satria mendekatinya dengan raut kuatir yang tercetak jelas di mata Natasha.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Satria sembari melangkah pelan lalu duduk di tepi kasur Natasha.

Tatapan keduanya beradu. Satria hanya bisa bicara pada Natasha lewat sorot mata mereka. Sejurus kemudian, Natasha menggeleng lemah.

"Aku bikinkan teh anget, kamu ke kamar mandi dulu bersih-bersih, oke?" kata Satria yang diangguki lemah oleh Natasha.

Satria melangkahkan kakinya menuju dapur, dan mulai membuatkan teh untuk Natasha. Pikirannya berkelana pada peristiwa tadi. Entah apa jadinya jika Satria telat sedikit saja pulang ke apartemen Natasha. Selesai ngebadut tadi, Satria harusnya langsung berangkat menuju komplek perumahan dimana dia menjadi satpam di  sana. Namun, ternyata seragamnya tidak ada di dalam tas ransel yang dia bawa. Karena pernikahannya dengan Natasha yang terasa mengejutkan, membuat Satria pecah konsentrasi. Harusnya dia menaruh seragam itu ke ranselnya agar tidak perlu bolak balik ke apartemen Natasha.

Satria pun memutuskan untuk pulang mengganti baju dengan seragam kerjanya. Namun alangkah terkejutnya dia mendapati pintu apartemen yang terbuka lebar, sementara ada buah, sayur mentah, daging, serta kebutuhan rumah yang berhamburan menyambutnya di ruang tamu. Insting sebagai satpamnya mulai bekerja, ada yang tidak beres. Dengan segera dia melangkah menaiki tangga hingga telinganya menangkap tangisan dan jeritan keputusasaan dari dalam kamar Natasha. Hingga Satria menyaksikan kelakuan biadab seorang lelaki pada istrinya. Berikutnya Satria yang kalap menarik kerah baju Rendra dari belakang lalu menghajarnya bertubi-tubi.

Setelah membuatkan segelas teh hangat tadi, Satria pun melangkahkan kakinya ke lantai dua. Dilihat oleh Satria Natasha sudah berbaring meringkuk tertutup selimut menghadap tembok.

Satria membawa teh buatannya ke sisi wajah Natasha menghadap, lalu menaruh teh hangat di nakas dan duduk di sisi Natasha.

Satria dapat melihat tatapan mata Natasha yang menyiratkan kehampaan. Istrinya itu pasti terpukul.

"Mau minum tehnya?" tanya Satria.

Sontak mata Natasha menoleh pada Satria. Gadis itu menggeleng lemah.

"Sedikit aja, buat ngilangin shocknya," bujuk Satria.

Natasha diam sementara tatapannya kembali tertuju ke tembok, seolah hanya tembok itu yang mampu menyedot perhatiaannya.

"Ada yang sakit?" tanya Satria.

Natasha menoleh pada Satria kembali dan menggeleng lemah.
Sejurus kemudian, Natasha kembali menghadap tembok.

"Aku tinggal ke dapur sebentar. Ada yang mau dimakan? Aku buatkan," kata Satria.

Natasha kembali menggeleng lemah. Kali ini tanpa menoleh pada Satria.

Dalam keadaan bingung, Satria pun pergi meninggalkan Natasha sendirian. Mungkin dia bisa memasakkan sesuatu untuk Natasha.

Lelaki itu membereskan belanjaan yang berceceran tadi di lantai. Setelah itu disusunnya barang tersebut pada tempatnya.

Satria melirik jam di dinding. Hari sudah semakin sore. Waktunya berganti shift dengan temannya semakin dekat. Satria harus bergerak cepat memasakkan sesuatu untuk Natasha, agar gadis itu tidak perlu lagi repot-repot memasak atau membelinya secara online.

Saat membereskan belanjaan Natasha tadi, Satria langsung terpikirkan untuk membuat sop. Dengan cekatan dan gerakan yang lebih cepat dari biasanya, Satria mulai memasak.

Masakan Satria sudah jadi. Tinggal menatanya ke mangkuk. Satria melirik jam dinding. Hari sudah semakin senja, hingga akhirnya dengan buru-buru Satria membawa sepiring nasi dan semangkuk sup ke kamar  Natasha.

Kondisi Natasha masih sama seperti tadi. Meringkuk menghadap tembok. Membawa nampan di tangan, Satria menaruh nampan itu lalu duduk di sebelah Natasha.

Mata Natasha sama sekali tidak beralih dari menatap tembok. Satria iba melihatnya. Sementara teh hangatnya masih belum tersentuh.

"Aku bikin sup. Mau?" tanya Satria.

Natasha menggeleng lemah tanpa menatap Satria.

"Minum tehnya ya?"

Natasha diam.

Satria menyentuh gelas teh tersebut. Suhunya sudah menyamai suhu ruangan. Tidak lagi hangat.

Merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukannya, Satria bangkit dari kasur Natasha. "Aku berangkat kerja ya. Jangan lupa dimakan dan diminum tehnya."

Natasha diam. Satria kembali memandangnya dengan tatapan iba. Sejurus kemudian lelaki itu melangkah meninggalkan ranjang Natasha.

"Jangan pergi," kata Natasha lirih saat Satria tinggal beberapa langkah lagi keluar pintu kamar.

Langkah kaki Satria langsung terhenti. Apakah pendengarannya tidak salah?

Hening. Satria menggelengkan kepalanya pelan. Mungkin halusinasinya saja. Lelaki itupun memilih untuk tetap melanjutkan tujuannya bekerja, lalu mulai melangkahkan kakinya kembali.

Selangkah dia berjalan. "Jangan pergi," lirih Natasha tapi suaranya lebih kencang dari sebelumnya membuat Satria dapat dengan jelas mendengarnya.

Jadi pendengaran sebelumnya tidaklah salah, kata hati Satria.

Dijual IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang