Sepanjang perjalanan yang ditempuh oleh Natasha dan Satria tidak membuat keduanya saling melepas diri dari belitan pelukan itu. Tangan Satria mulai terasa sedikit kesemutan. Namun, hal itu tidak membuat dia serta merta melepas tangannya dari tubuh Natasha. Mata Satria tidak terpejam, sementara Natasha sudah terlelap lama.
Bayangan kejadian tadi masih berputar-putar dalam kepala Satria, seperti kaset yang diulang-ulang. Perasaan kalutnya masih tersisa. Membuat Satria yakin pada akhirnya jika dia tidak sanggup melihat Natasha berada dalam keadaan yang berbahaya. Membuat dia meyakini isi hatinya. Satria menundukkan kepalanya melihat Natasha kemudian mengecup lembut tetapi lama puncak kepala istrinya. Satria pun kembali menatap jalanan dari dalam mobil.
Bergerak pelan dalam pelukan Satria, Natasha pun membuka matanya.
"Eugh ...," lenguhan bangun tidur Natasha mengalihkan pandangan Satria dari kaca mobil.
Natasha mendongakkan kepala dan bertemu pandang dengan suaminya. Satria tersenyum tipis padanya.
"Udah bangun?" tanya Satria.
"Hu-um."
"Masih sejaman lagi perjalanan, kamu tidur aja."
Natasha menggeleng.
"Pasti tangan Mas kesemutan." Natasha mengurai pelukan mereka.
Satria tersenyum hangat menanggapi ucapan istrinya.
Waktu terus berjalan hingga sampailah mereka di kediaman Merry. Selama dalam perjalanan, Devin menelepon Natasha dan menanyakan kondisi sang adik. Merry sangat kuatir mendengar putrinya itu mengalami musibah dan sambungan telepon itu pun berujung pada permintaan Merry untuk membawa Natasha pulang ke rumahnya.
Satria menggendong Natasha menuju dalam rumah. Di depan pintu rumah Merry sudah menunggu dengan raut cemas.
"Gimana Nat? Ada yang luka atau apa?" tanya Merry kuatir.
Dalam gendongan sang suami, Natasha menggeleng. "Nggak ada yang perlu dikuatirin, Ma."
"Satria bawa Nat ke kamar dulu ya, Ma."
Merry mengiyakan dan berjalan mengekor di belakang Satria.
Sesampainya di kamar, Satria menaruh pelan Natasha di ranjang.Sementara Merry yang terlihat cemas pun bertanya. "Kok bisa gitu kejadiannya, Nat? Untung tuh ular gak sempet ngigit kamu."
"Iya, Ma. Tapi gak apa-apa, kok. Jalannya emang masih banyak hutan, wajar aja nemu ular. Mama nggak usah kuatir. Nat, nggak apa-apa. Luka lecet doang. Udah diobati juga."
"Syukurlah kalo begitu. Pantas aja Satria keberatan kamu ikut tadi. Tapi selama kamu bersamanya, mama yakin dia akan menjagamu," Merry tersenyum lebar.
Satria terhenyak di tempatnya duduk, di atas ranjang bersebelahan dengan Natasha. Ucapan Merry menusuk jantungnya. Kepercayaan Merry sungguh membuat rasa bersalah kembali menghujam jauh hingga ke dasar hati.
Sejurus kemudian Merry meninggalkan sepasang suami istri itu dan menyusul masuk setelahnya Asti asisten rumah tangga Merry mengantar makan malam lengkap dengan dessertnya.
"Aku suapin, tangan kamu masih luka," kata Satria.
Lelaki itu pun menyuapi Natasha dengan penuh kelembutan hingga makan malam itu habis. Yang tersisa di nampan hanyalah puding. Satria pun menyodorkan mangkuk puding pada Natasha. Sesaat keduanya saling pandang, tatapan mereka penuh arti. Beberapa detik kemudian keduanya tertawa bersama. Puding mengingatkan mereka pada sesuatu, keusilan keluarga mereka.
Derai tawa itu pun usai. "Nat nggak mau makan itu, ah! Ntar kejadian lagi. Repot!"
Satria tersenyum. "Kayaknya kali ini nggak mungkin deh. Soalnya mereka 'kan tahu kamu lagi sakit."
"Ya udah, sini deh mangkuknya."
Natasha menghabiskan puding dan tidak lama kemudian Teguh menelepon.
"Hallo?"
"Sat, kalian udah nyampe mana? Besok aku baru bisa nyusul. Soalnya kalo berangkat sekarang aku kemaleman."
"Sorry, Guh. Aku tadinya udah berangkat. Cuma motor mogok di jalan. Jadi kami pulang lagi."
"Gimana kalo besok berangkat lagi? Kita ketemu di sana. Mumpung beliau masih ada. Ya emang sih kita nggak tahu yang namanya ajal. Cuma mungkin ini waktu-waktu terakhir kita ngeliat beliau. Seenggaknya kita tahu apa yang beliau butuhkan."
"Oke, aku setuju. Aku berangkat siang. Mungkin menjelang malam sampai. Istriku lagi kurang sehat."
"Oh? Rika sakit? Sakit apa?" tanya Teguh.
"Oh, eh nggak cuma ada insiden aja. Luka kecil gitu."
Satria melirik Natasha yang duduk bersandar di kepala ranjang tengah menatap dirinya.
Rasa gugup menjalar di dada lelaki itu saat mereka saling beradu pandang."Oh, oke kalo begitu. Nanti kita berkabar di WA aja, ya. Udah dulu ya, Sat."
"Oke, Guh."
Sambungan telepon itu pun berakhir.
"Mas mau berangkat besok?" tanya Natasha.
Satria mengangguk.
"Nggak apa-apa 'kan?" tanya Satria pada Natasha.
Istrinya menggeleng dengan seulas senyum tipis.
"Aku mau bersihin diri di kamar mandi."
"Oke baiklah."
Satria pun membopong Natasha dalam gendongannya menuju kamar mandi.
Sementara itu di tempat yang berbeda pada waktu yang sama, Rika tengah duduk termenung di meja makan. Pikirannya kusut memikirkan sebuah keinginan yang belum dapat dia capai saat sekarang ini. Sedangkan obsesi itu telah membumbung tinggi di dalam kepalanya, membeli sebuah mobil.
Beberapa waktu terakhir ini Rika sering berkumpul dengan ibu-ibu yang tinggal di komplek mereka. Di perkumpulan tersebut, hanya Rika yang belum memiliki mobil. Membuat perempuan itu iri melihat teman-temannya yang lain. Sehingga timbullah ide dari kepalanya untuk meminta Satria membeli mobil untuknya menggunakan uang Natasha. Bagi keluarga kaya itu sebuah mobil kecil pastilah tidak ada artinya. Rika yakin Satria akan melakukan apa pun untuk mengabulkan keinginannya. Rika yakin jika Satria bisa membujuk Natasha membelikan mobil untuknya.
Namun, hal tersebut tidak mungkin dibicarakan hanya lewat telepon. Mereka harus bicara empat mata. Demikianlah tekad Rika.
Sejurus kemudian Rika melirik jam yang menggantung di dinding. Berikutnya dia menyambar ponsel yang ada di atas meja. Menghubungi Satria. Rika merasa jika sudah larut malam seperti saat ini, pastilah Natasha telah tidur nyenyak.
Satria yang berada dalam keletihan sudah tertidur pulas tengah memeluk Natasha erat. Sebelum keduanya tidur pulas, Satria mengusap punggung Natasha agar sang istri lebih cepat tertidur.
Satria yang mudah terjaga ketika ada pergerakan atau suara meski tengah tidur lelap, langsung mengurai pelan pelukannya dengan Natasha setelah mendengar getaran ponselnya menari-nari di atas meja. Menurunkan kaki di lantai, Satria pun menyambar ponselnya. Sembari berbicara, Satria menyeret langkahnya menuju balkon kamar Natasha.
"Hallo? Ada apa, Rik?" tanya Satria.
"Eh anu, Mas.... besok bisa nggak ngajak Dyah jalan-jalan?" tanya Rika.
Satria terdiam. Tadi dia dan Teguh sudah berjanji akan pergi menemui Pak Yono. Namun, sekarang justru Dyah tengah membutuhkan kehadiran dirinya. Satria dibuat bingung. Lagipula dia mengatakan pada Natasha bahwa dia dan Teguh akan menemui Pak Yono.
Dia ingin menolak permintaan Rika, tetapi dia tentunya akan membuat Dyah kecewa.
"Aku belom bisa, Rik. Mungkin tiga hari lagi ya?" bujuk Satria.
Rika terdiam. Biasanya Satria tidak pernah menolak permintaannya jika itu berkaitan dengan waktu yang akan dipergunakan lelaki untuk membersamai mereka. Apalagi memang sudah sejak seminggu lebih Dyah tidak bertemu Satria.
Mengapa Rika merasa Satria berubah?
Hai...
Nat dan Sat up yaaa...Jangan lupa bintangnya ya...
Terima kasih...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dijual Istri
ChickLitNatasha seorang wanita dingin yang sudah pernah patah hati, hingga dia didesak oleh keluarganya untuk menikah sebab orang tuanya yang sudah sakit-sakitan ingin melihatnya menikah. Merasa terdesak, dan sudah tidak memiliki waktu banyak lagi, Natasha...