Bab 16

7.4K 538 10
                                    

Satria dan Rika telah menyudahi aktifitas ranjang mereka. Rika segera memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara Satria tampak terlelap setelah rasa lelah menyapanya.

Usai mandi, Rika mendekati Satria yang sudah dibuai alam mimpi. Melirik jam di atas nakas,  hari sudah menunjukkan pukul 22.15. Dalam pemikiran Rika, Satria harus pulang ke apartemen Natasha. Sebab jika suaminya itu tidak pulang, pastilah Natasha akan mencurigainya.

Rika mengguncang tubuh Satria. "Mas, bangun. Mas, bangun. Kamu harus pulang ke Rumahnya Natasha."

Suara lenguhan terdengar dari bibir Satria. "Jam berapa sekarang?"

"Jam 10 lewat," jawab Rika.

"Apa?" Satria melompat dari tempat tidur lalu bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Tergesa-gesa lelaki itupun memakai baju dan jaket sebelum mengecup kening Rika. "Aku pulang. Jaga baik-baik Dyah, ya."

Satria pun memesan kendaraan online untuk pulang kembali ke apartemen Natasha. Lelaki itu sepanjang perjalanan berpikir apa yang akan dia jawab jika Natasha menanyakan dari mana saja dirinya. Dia belum menyiapkan jawaban apa pun.

Telepon dari Rika tadi yang mengabarkan berita bahwa Dyah diserempet motor telah melumpuhkan logika Satria. Tanpa berpikir panjang dia melesat menuju rumah Rika. Padahal kondisi Dyah baik-baik saja. Kepanikan yang membuat Satria tidak sempat lagi menanyakan bagaimana kondisi Dyah yang ternyata hanya sekedar lecet.

Namun mengingat bagaimana sikap Natasha yang cuek dan perjanjian sebelum menikah, tidak mungkin 'kan Natasha sok peduli untuk bertanya ke mana saja dirinya? Mengingat hal itu Satria sedikit lega.

Alis Satria saling bertautan karena heran. Apartemennya masih menyala terang hingga ke bagian-bagian ruangan yang lebih dalam dari ruang tamu. Apakah Natasha belum tidur? Atau tadi sesaat setelah dia memanggil Natasha di dalam kamar, gadis itu bahkan tidak turun ke lantai satu tapi langsung tertidur? Benarkah demikian? Karena rasa penasaran melingkupi hati, ada baiknya dia mencari tahu.

Langkah kaki Satria semakin memelan sesaat dia memasuki ruang makan. Netranya disambut sebuah pemandangan yang tidak pernah diduga Satria sama sekali. Natasha tertidur di atas meja beralaskan punggung lengannya.

"Kenapa dia tidur di sana? Tidak mungkin 'kan dia menungguku?" tanya Satria di dalam hati.

Jarak antara keduanya semakin sempit oleh langkah-langkah Satria. Hingga Satria berada di tepi meja, Satria dapat melihat wajah Natasha yang terlelap pulas tapi tetap cantik itu.

Tatapan Satria beralih ke atas meja. Tumis brokoli dan ayam kecap serta tempe goreng tepung masih utuh di atas meja. Persis saat ditinggalkannya pergi tadi.

Satria mencelus. Menggelengkan kepalanya pelan. Dia tidak ingin menduga jika Natasha menungguinya untuk makan malam, karena itu pasti tidak mungkin. Lalu mengapa perempuan itu ada di sini dengan kondisi memprihatinkan seperti ini?

Satria menepuk pelan punggung Natasha agar istrinya itu bangun.
Gadis itu menggeliat sebentar sebelum mengucek matanya, lalu kepalanya menengadah pada sosok suami yang berdiri menjulang di tepi meja makan tidak jauh dari tempat dia duduk.

"Eh, udah pulang?" tanya Natasha dengan kesadaran yang belum tergenapi sempurna.

Satria mengangguk. Bolehkah Satria menduga jika Natasha memang tengah menunggui dirinya?

"Kenapa tidur di sini?" tanya Satria.

"Oh gak papa. Tertidur aja, tadi mau bikin teh," bohong Natasha.

Oh, baiklah. Si angkuh ini tidak mungkin mengaku tertidur karena menungguinya bukan? Satria berkata dalam hatinya seperti itu. Namun jikapun iya, Satria tidak akan ambil peduli. Bagi Satria, Natasha tidak lebih dari alat untuk menghasilkan uang bagi Rika dan Dyah.

Melihat bagaimana kondisi Rika dan Dyah berada dalam rumah yang lebih dari kata layak, rasanya Satria sangat siap jika harus melakukan pernikahan seperti ini lagi demi Rika dan Dyah. Memang dia akan sedikit berjauhan dengan Rika, tapi itu tidak masalah. Dia bisa menemui Rika kembali sewaktu-waktu seperti tadi.

"Kamu belum makan?" tanya Satria yang tidak dapat lagi menyembunyikan rasa penasarannya.

Natasha menggeleng.

"Kenapa belum makan?" tanyanya.

"Enggak lapar." Natasha berbohong.

"Aku lapar. Mau makan sama-sama?" tanya Satria. Dia merasa harus mengalah dengan keangkuhan Natasha. Mana mungkin gadis itu tidak lapar. Malam semakin menuju puncaknya, sementara gadis itu belum makan sejak tadi.

"Kalo kamu maksa, ya udah. Kita makan bareng," jawab Natasha.

"Perempuan ini gengsinya tinggi sekali," kata Satria di dalam hati.

Tidak lama kemudian keduanya makan dalam keheningan. Sejurus kemudian Natasha telah menghabiskan makannya. Entah karena lapar atau karena memang masakan Satria yang enak, gadis itu melahap makanannya lebih cepat dari Satria. Bahkan sebenarnya dia ingin menambah satu porsi lagi. Gadis itu melirik ayam yang masih tersisa sepotong. Hal itu mengundang tanda tanya bagi Satria.

Lelaki itu dapat menangkap makna di balik lirikan mata Natasha. Dia pun tersenyum simpul melihat gadis itu. Gengsinya yang luar biasa. Satria meyakini jika Natasha masih menginginkan ayam kecap buatannya yang juga jadi kesukaan adik-adiknya di panti asuhan. Betapa lahapnya sang istri makan karena menungguinya makan bersama menghadirkan rasa asing di dalam hati Satria.

"Kamu nggak nambah?" Suara Satria merambat ke gendang telinga Natasha.

"Hah?" Natasha mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Ini lho ayamnya masih ada, sayang gak dihabisin. Aku udah kenyang," kata Satria sebelum mengelap mulutnya dengan

"Aku sebenernya juga udah kenyang. Tapi ya ... sayang juga ya kalo nggak dihabisin." Natasha masih dengan gengsinya mengakui jika perutnya masih lapar dan juga lidahnya yang merasakan lezatnya masakan Satria di saat yang bersamaan.

Sudut-sudut bibir Satria berkedut menahan senyum atas keangkuhan Natasha. Padahal dia sudah tahu jika memang Natasha masih lapar. Andaikan hubungan mereka tidak sekaku ini, sudah dapat dipastikan Satria akan menggoda Natasha. Meledeknya tanpa henti.

Namun Satria sadar, dirinya tak sepadan bersisian dengan Natasha. Wanita kaya, berpendidikan serta mempunyai keluarga yang harmonis. Dengan keadaan mereka yang tinggi sebelah itu, membuat Satria harus membangun jarak yang tidak dekat dengan wanita yang menjadi istrinya itu. Ditambah sikap Natasha yang seolah tidak memberi ruang bagi mereka untuk saling mendekat.

Entah sampai kapan mereka akan terus membangun sebuah hubungan yang kaku dan dingin itu. Namun satu hal yang Satria tahu, mereka tidak ditakdirkan untuk menjadi sepasang insan yang mempunyai hubungan dekat. Mereka memang berada di bawah atap yang sama, bertemu setiap hari, bahkan sering saling bertatapan. Akan tetapi ada jarak tak kasat mata seolah membentang di antara keduanya.

Walaupun tanpa disadari keduanya bahwa tidak ada satupun manusia di dunia ini yang mampu menolak ketetapan yang sudah ditentukan-Nya, ada pusaran takdir yang akan berpendar mendekati keduanya tanpa bisa mereka tolak meski mereka sangat ingin menghindarinya.

Dijual IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang