44

7.1K 489 9
                                    

Mendengar pertanyaan itu, Satria menyipitkan matanya dan sejurus kemudian beranjak dari depan motor menghampiri Natasha hingga keduanya hanya berjarak dua langkah saja.

"Apanya yang ada apa?" tanya Satria dengan tatapan menelisik.

"Kenapa Mas berubah?" tanya Satria.

"Berubah? Berubah apanya? Berubah gimana?" tanya Satria pura-pura tidak tahu.

"Sejak malam itu, Mas justru berubah. Ada apa sebenarnya?" tanya Natasha.

"Jangan dibahas! Kita sekarang butuh sampai ke tempat Pak Yono lebih cepat."

Wajah Natasha berubah dari kesal menjadi muram. Dadanya terasa sesak. Dia hanya ingin semuanya kembali seperti hari-hari yang mereka lewati dengan sangat manis. Gadis itu merasa dicintai dan dihargai.

Melihat wajah Natasha berubah jadi muram, terbesit iba di hati Satria. Lelaki itu pun mendengkus kasar.

"Dengar ..., perjalanan kita ini tidak mudah. Jalan yang di sisi-sisinya ada jurang, terus masih banyak jalan yang belum diaspal dan entah apa lagi tantangan yang ada di depan. Aku tidak bisa memprediksi perjalanan ini bisa membuat kamu nyaman. Maksudku, kamu pulang aja, ya?" bujuk Satria agar Natasha mau kembali ke rumahnya, sebab dia butuh waktu untuk menyendiri merenungi langkahnya ke depan nanti tentang pernikahannya dengan Natasha mau pun Rika.

Istri Satria itu menggeleng. "Aku mau ikut aja."

Satria menarik napasnya dalam-dalam. Kesalnya bertambah melihat keras kepalanya Natasha. Sementara itu Natasha tidak ingin pulang, dia mau merekatkan kembali hubungan mereka. Natasha yakin dia telah mencintai suaminya itu. Begitu pun sebaliknya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal pikiran Satria, jika Natasha tidak salah tebak.

Satria tidak berkata apa pun. Tumitnya memutar kembali menyeret langkah menuju motor Devin. Memperhatikan mesin motor yang sebenarnya dia sendiri tidak paham letak masalahnya ada di mana.

Sementara kelam hari semakin menjadi. Bahkan nyamuk sore bertambah banyak mengerubungi Natasha. Namun, dia tidak akan mengeluh lagi. Gadis itu tidak ingin membuat Satria berpikir untuk memulangkannya ke rumah.

Satria menoleh kepada Natasha. Melihat wajah cemberutnya, Satria iba. Dia pun kembali mendesah berat. Rasa iba dan kesal datang bersamaan membuat dia bertambah bingung dengan isi hatinya.

Satria melepas tas punggung yang sejak tadi dia panggul dan membuka reseletingnya dengan cepat. Lelaki itu memasukkan tangannya hingga ke dasar tas mencari sesuatu. Sejurus kemudian dia berhasil menemukan apa yang dicari. Sebotol krim anti nyamuk.

Menaruh tasnya di atas dudukan motor lalu mengaturnya agar tidak terjatuh, Satria melangkah mendekati Natasha. Diraihnya telapak tangan sang istri untuk dioleskannya dengan krim tadi.

Seulas senyum tipis terpahat di raut Natasha yang cantik. Dia sangat suka dengan sikap Satria yang terkadang dingin, tetapi masih memedulikan dan memperhatikan dirinya. Wajah mereka teramat dekat. Mata Natasha tidak beralih sedikit pun dari Satria yang tengah serius mengoleskan krim anti nyamuk. Krim itu memang tersedia selalu di dalam tas Satria. Hal itu dikarenakan pekerjaan dia sebagai satpam dahulu membuat Satria selalu menaruhnya di sana.

Tanpa kata Satria membalikkan tubuhnya lalu menaruh kembali botol tadi ke dalam tas. Sejurus kemudian Satria menengadahkan kepalanya ke langit. Suasana sudah benar-benar gelap. Hanya cahaya bulan bulat penuh yang membantu menerangi mereka. Lelaki itu berdecak kasar.

Natasha melepas tali tas punggungnya melewati lengan. Sejurus kemudian perempuan itu membuka ransel kecil yang hanya berisi alat-alat pribadi Natasha serta beberapa makanan yang tadi sempat disiapkan oleh Asih, asisten rumah tangga mereka.

Natasha mengambil dua buah roti dari dalamnya, menyodorkannya pada Satria. "Makan dulu."

Satria berdeham lalu menerima roti itu tanpa kata. Keduanya makan dalam hening, tanpa suara sama sekali. Sesekali Satria melirik ke arah Natasha. Dalam hati sebenarnya dia iba, harusnya Natasha tidak perlu ikut. Tidak lama kemudian keduanya telah menghabiskan roti mereka masing-masing.

"Kita jalan dulu nyari rumah penduduk di depan sana. Sambil istirahat, nanti kita tanya mereka apakah masih jauh. Kalo jauh kita pulang saja," ujar Satria memecah keheningan.

Natasha mengangguk setuju.

Satria pun menuntun motor berjalan menjauhi Natasha. Langkah kaki Satria yang lebar meski tengah menuntun motor nyaris tidak bisa diimbangi Natasha. Gadis itu tertinggal agak jauh dari suaminya. Sementara jalan sangat sepi. Hampir tidak ada motor yang lewat.

Jalanan yang mereka lewati itu di kanan dan kirinya adalah jurang yang memang tidak terlalu dalam. Namun, meski demikian bukan berarti jurang itu rendah sehingga jika terperosok di sana, sudah cukup mematahkan tulang-belulang manusia.

Tiba-tiba dari tepi jalan yang tertutup semak dan ilalang tinggi muncul seekor ular yang berjalan perlahan dan itu membuat napas Natasha tercekat di tenggorokan bagaikan ada sebongkah batu yang menghambatnya. Langkah gadis itu pun terhenti.

Sementara itu ular yang panjangnya sekitar tiga meter itu saat menyadari ada manusia di dekatnya, berubah posisi yang tadinya melata menjadi tegak membentuk sendok, ular kobra.
Natasha sontak menghentikan langkahnya. Matanya terbelalak. Kakinya tanpa sadar mundur ke belakang dengan arah menyerong.

Ular itu menatap Natasha tanpa kedip, lidahnya pun terjulur keluar. Jarak gadis itu dengan ular tidak terlalu jauh. Jika saja ular itu meloncat maka dalam satu lompatan, ia pasti berhasil mencapai tubuh Natasha dan menusukkan bisanya.

Adapun Satria sudah berjalan semakin jauh, lelaki itu tidak menoleh sekali pun ke belakang meski tahu ada Natasha di belakang. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya yang terus berkemelut. Memikirkan jalan hidup ke depan akan seperti apa keputusan yang dia ambil.

Tiba-tiba dari arah belakang Satria mendengar bunyi teriakan Natasha yang diawali dengan bunyi seperti ranting kering terinjak. Sontak Satria menoleh, dan dalam jarak yang masih bisa dia lihat, Natasha ada di antara semak-semak di tepi jurang tengah berpegangan pada batang pepaya yang masih muda. Batang itu belum kokoh, tetapi masih cukup kuat menahan tubuh Natasha untuk waktu yang tidak lama. Sebab jika Natasha terus bergelayut, batang itu akan patah tidak sanggup menahan bobot tubuh Natasha.

Satria spontan melepas motornya begitu saja dan berlari mendekati Natasha. Saat jaraknya dengan Natasha tidak jauh lagi, langkahnya terhenti seketika setelah melihat ular kobra dalam posisi siap menyerang Natasha.

Isak kecil mulai terdengar di telinga Satria. Lelaki itu memandang Natasha dengan perasaan campur aduk. Dalam cahaya bulan purnama dia dapat melihat usaha Natasha bergantung di pohon pepaya muda itu. Satu hal yang diyakini Satria, pohon itu tidak akan lama bertahan menanggung berat tubuh Natasha. Sementara lelaki itu pun belum bisa langsung menyelamatkan Natasha, sebab ular sendok yang ada di tengah mereka siap melompat ke arah Natasha, jika dia merasa terancam dengan gerakan yang timbul saat Satria bergeser sedikit saja dari tempatnya berdiri.

Hai...
Aku up nih Nat-Sat nya...
Jangan lupa bintangnya ya...
Terima kasih...

Dijual IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang