61

12.8K 780 59
                                    

Warning...
Siapin tisu...
Soalnya aku nulis aja nangees...
Uhuk

Rika mendesah berat. Sesak menghimpit dadanya. Peristiwa malam itu masih menyisakan kegetiran tersendiri untuk dia. Bagaimana tidak? Lelaki yang baru disadarinya telah dia cintai itu nyaris mati hanya untuk wanita lain. Rasanya tidak sanggup bercerita pada Natasha. Baginya itu sangat menyakitkan.

"Dengarkan ceritaku dari awal, Nat."

Rika memejamkan mata. Dia kembali mengingat raut sedih pada wajah sang malaikat. Kemudian kata-katanya yang mengucapkan supaya melakukan hal yang benar sekali saja untuk dia. Rika pun menarik napas dalam-dalam.

"Sebelum hari itu, aku meminta Mas Satria membelikan mobil untukku. Aku menyuruhnya meminta uang darimu dengan alasan apa saja yang penting terlihat genting---"

Rika menatap Natasha yang kembali memasang wajah jengah. Setelah sebelumnya menatap dengan wajah penuh tanya.

"Maafkan aku untuk itu, Nat."

Natasha mendengkus.

"Waktu itu Satria menolak. Aku mulai melihat malam itu dia telah jatuh cinta padamu. Tapi aku belum yakin. Aku masih percaya diri Mas Satria setia. Dia tipe setia. Dia sangat memujaku dulunya. Hingga aku tidak takut kehilangannya. Tapi aku salah. Aku terlalu meremehkan cinta kalian berdua---"

Rika mengusap air matanya dengan kedua punggung tangannya.

"Nat ... hari pembuktian cinta itu datang untuk kali pertamanya. Saat itulah aku sadar Mas Satria sudah mulai terbagi hati. Aku terjatuh di kamar mandi saat itu. Karena sulit berjalan, aku pun menelepon dia. Jawabannya saat itu dia nggak bisa. Padahal sebelum ini dia tidak pernah mengabaikanku. Aku bertanya-tanya apa yang membuat perhatiannya padaku teralihkan. Sampai aku diantar oleh temanku ke rumah sakit. Dan bertemu kalian di sana. Aku melihat wajah Mas Satria sangat bahagia. Aku--aku--belum pernah melihat dia sebahagia itu---"

Rika terisak. Dia sungguh merasakan pedih saat mengatakan hal itu. Dia menoleh pada Natasha dan mendapati wajah sahabatnya dengan kaca-kaca di netranya. Sedetik kemudian meluruh bulir bening itu di pipi Natasha.

"Dia amat bahagia, Nat ... aku--aku---" Rika terisak kembali dan tidak mampu mengucapkan kata-katanya lagi.

Natasha tidak kalah harunya. Dia ingat hari itu, saat mereka pergi ke dokter kandungan. Dia memang melihat binar sangat bahagia terpancar dari mata Satria saat anak mereka ada di rahim Natasha. Tanpa sadar Natasha mengelus perutnya.

"Hari itu aku sadar, aku kalah ... Malam harinya Mas Satria masih--masih ... datang---"

Rika menarik napas mengambil oksigen sebanyak yang dia bisa di antara sesak yang menghimpit dadanya. Setelah mampu mengatasi hal itu, Rika kembali bercerita.

"Malam itu kami bertengkar. Aku mendesaknya mengapa dia lebih memilih menemanimu. Jawaban dari dia sungguh menyesakkan. Dia menyalahkan aku karena akulah yang mendorongnya untuk menikah denganmu. Dia juga bilang dia memang mencintaimu---"

Rika melepas tangisnya keluar hingga nyaris tersedak. Sementara Natasha sudah banjir air mata. Hidung dan matanya memerah.

"Malam itu aku mengancamnya agar mau membelikan untukku mobil. Jika tidak aku akan mengatakan semua rahasia kami padamu. Saat itu aku hanya ingin melihat apakah dia benar-benar mencintaimu atau hanya ingin membuatku cemburu. Karena aku tau suamiku. Dia justru senang jika aku memberitahukan padamu tentang hubungan kami. Sebab dari dulu dia menolak menikah denganmu. Dan dia akan senang hati berpisah denganmu. Tapi ternyata malam itu yang terjadi bukanlah seperti yang kuharapkan. Dia marah saat aku akan memberitahukan rahasia kami. Dia bahkan mengatakan jika terjadi sesuatu pada kalian, dia tidak akan tinggal diam---" Rika menjeda kalimatnya. "---Dan dia membuktikan ucapannya ...," kata Rika dengan suara lirih.

Hening sejenak. Hanya isak tangis Rika dan Natasha menggema di udara.

Suara Natasha melebur keheningan itu. "Aku belum percaya sepe---"

"Besok malamnya, tengah malam lewat, Bagas teman satu perguruan karate dengannya menelepon, memintaku mengirimkan alamat rumah yang dibeli dari uangmu. Bagas memapah Mas Satria dalam kondisi mukanya bengkak-bengkak dan pelipisnya masih berdarah meski sudah diobati. Malam itu aku sungguh takut melihat wajahnya. Hanya wajah, tidak tahu perut, kaki dan yang lainnya---"

Rika berhenti lalu menatap Natasha nanar dan kembali melanjutkan ceritanya.

"Malam itu dia hanya tertidur sebentar di kamarku. Sebelum subuh dia pulang ... berjalan tertatih-tatih sambil memegang perut karena sakit. Dan kamu tau kenapa dia pulang meski dalam kondisi lemah begitu?"

Rika dan Natasha saling menatap dengan muka yang sama-sama menyiratkan kesedihan serta tangis. Natasha menggeleng lemah saat mendengar pertanyaan Rika.

"Dia tidak ingin kamu bangun di pagi hari tapi tidak menemukan dia ...."

Rika terdiam kembali. Sementara Natasha dengan perasaannya yang semakin sedih mendapati kisah pilu suaminya.

"Kamu tau apa sebabnya dia pulang dalam kondisi babak belur begitu?" tanya Rika.

Natasha menjawab dengan lirih. "Tidak ...."

"Dia ikut pertarungan liar supaya mendapatkan uang untuk membungkam mulutku agar tetap merahasiakan hubungan kami sebenarnya."

"Pertarungan liar? Semacam gla--gladiator itu?" tanya Natasha dengan raut tidak percaya.

"Iya ... dia nyaris kalah saat itu. Tapi, ingatan tentangmu membuatnya bangkit dan bangun kembali ...."

Seketika Natasha menutup wajahnya. Tangisnya pecah. Dia ingat, sangat ingat malam itu. Malam di mana Satria mukanya membengkak dan keesokannya menjadi lebam-lebam. Benar yang dikatakan Rika, mereka hanya melihat muka. Tidak melihat perut, punggung mau pun paha. Satria menyembunyikannya. Tiap kali berganti baju, Satria memilih memakainya di kamar mandi. Sangat beda dengan kebiasaannya yang mengganti baju di luar kamar mandi.

Natasha menggelengkan kepalanya lemah. Menekuri meja yang ada di depan. Gadis itu tersedak oleh tangisnya sendiri. Cerita Rika pada awalnya tidak mudah dipercayai olehnya. Namun, cerita soal gladiator itu Natasha sangat yakin kebenarannya. Malam itu Satria memang terlihat menyembunyikan sesuatu. Baru hari ini dia tahu sebabnya. Saat itu Natasha melihatnya sudah menangis. Kini kian pedih hatinya mendapati kisah di balik itu.

Natasha memukul dadanya pelan. Sesak, rindu, sedih, jadi satu. Tidak dapat dia bayangkan bagaimana sang suami melewati itu semua sendirian. Diabaikan istrinya, dijual, dimanfaatkan. Sementara dirinya malah meragukan cinta Satria.

Melihat Natasha teramat rapuh, Serly pun mendekatinya dan mengusap punggung adik iparnya itu. Natasha memeluk Serly erat, meledakkan tangisnya di bahu Serly.

"A--aku--mencintainya, Mbak. Sangat ... sangat mencintainya ...," kata Natasha.

"Dia memang layak dicintai dengan tulus, Nat. Nyatanya dia adalah lelaki sejati."

Serly mengurai pelukannya. "Rika, bagaimana dengan Dyah kalo kalian bercerai? Dyah ikut kamu atau Satria?" tanya Serly.

Rika menggeleng. "Dyah bukanlah anak Satria."

Seketika itu juga Natasha terperangah.

"Satria menikahi aku karena mau menyelamatkan nama baikku. Agar Dyah lahir dengan seorang ayah."

Tangis Natasha kembali pecah. Dia menggeleng pelan sementara tangannya menggenggam baju di bagian dada. Seolah genggaman itu mampu menggantikan hatinya yang sakit. Nyatanya tidak sama sekali. Natasha malah semakin sesak.

"Bagaimana mungkin ada cinta semurni itu di dunia ini? Dan betapa beruntungnya aku menjadi wanita yang dicintai seindah dari satu cinta-cinta yang pernah ada. Mas Satria ... aku ... aku rindu ...."

Sampai sini dulu ya...
Hahaha... Sabar ya... Aku nggak janji bikin part endingnya hari ini.
Sebab bikin adegan uwuw itu agak susah bagiku. Hahaha

Jangan lupa bintangnya ya...
Terima kasih...

Dijual IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang