Aku membuang napas di dalam mobilku, lampu merah di jalan ini terasa panjang, aku menundukan kepala di setir, memikirkan segala hal yang tiba-tiba terjadi dalam hidupku.
Sebetulnya didalam hidupku banyak yang serba mendadak sih, mulai dari aku mendapat beasiswa, berteman dengan Crzay Rich seperti Kalya, melahirkan sekuat tenaga, kemudian memiliki Rendra, sampai ...
Titt!!!!
Cih, klakson mobil tidak santai dibelakang menguarkan pikiranku.
Aku melirik sepatu yang berserak disamping keset kucing warna abu hadiah Kalya, cendera mata dari Bali.
Ngomong-ngomong, aku habis mengunjunginya, dia sudah membaik, apalagi sejak suaminya, akan mengajaknya bulan madu lagi ke Paris. Tau Kalya kan? Asal kau beri makan egonya, dia akan baik-baik saja.
"Sudah pulang?"
Aku melempar senyum sambil menganguk, menaruh tasku di meja kecil dan duduk tepat sebelah anakku, Rendra.
Ini pukul tujuh, mbok Jah pasti sudah pulang, dan pria lurus ini sesuai janjinya, datang sejak pukul tiga. Jangan tanya untuk apa, tentu saja untuk mendekatiku, apalagi? Dengan memanfaatkan kepolosan Rendra.
Lihat saja, bumblee bee, ultraman, dan entah apa itu namanya tapi bentuknya seperti dinosaurus tampak berserakan mengelilingi REndra, siapa lagi kalau bukan dia yang bawa?
"Lain kali taruh sepatumu dirak," aku menghardiknya.
Kalian sebut aku kasar? Aku tidak peduli, aku tegaskan ya, aku tidak butuh dia.
"Di luar hujan, sepatuku kotor," alasannya terdengar ditelingaku. Betul sih, memang Btavia kerap menangis dan kemudian banjir, masih untung tadi aku bisa pulang.
"Dilap dulu kan bisa," aku menjawabnya, tidak mau kalah.
Aku mulai berjalan ke dapur setelah membereskan kaus kaki dan berkas penting pekerjaanku.
"Rendra mau makan sop ayam apa nasi goreng?" aku mencuci tanganku, siap siap memasak.
"Tadi sudah makan sama Om Abram." Dia menjawab cepat, tanpa menolehku, dia asyik dengan tyrex mainan.
Aku menatap pria disamping Rendra lekat, sudah ku bilang berapa kali. Aku tidak suka Rendra diajak makan diluar.
"Ren yang ngajak, makan sehat kok, enggak makan Pizza."
Ck, alibi apa ini. Aku tidak suka mereka terlalu dekat, itu saja.
Aku memlihi diam, sebagai tanda kemarahan. Tidak, aku tidak marah dengan anakku, tapi dengan manusia sok asyik ini. Dari sekian banyak orang yang mendekatitku, dia ini satu-satunya yang tahan dengan mulut pedasku. Andai saja, dia bukan orang yang lebih pintar dariku, aku sudah lama membuangnya.
"Bunda marah ya? Tapi Rendra pengin banget makan sop baso di sana Bun, kan Bunda belum sempet."
Jadi semua ini salahku yang belum sempat? Kenapa jadi sebal ya?
"Bundamu marah karena enggak diajak," ku dengar pria yang setahun lebih muda dariku berkelalar.
Aku mendengkus, mengeluarkan sebungkus mi instan, salah satu makanan terdesak yang hampir tidak pernah ku sentuh sejak Rendra lahir, karena aku takut usus buntu.
"Rendra buatin coklat buat Bunda ya," anakku membujuk, dia kini memeluk pinggangku dan memamerkan wajah imutnya.
Aku menyipitkan mata, "Janji dulu, kalau mau pergi bilang bunda ya nak."
Aku mengintip dari balik tirai jendela, masih saja hujan, ini gelas coklat keduaku. Dan semangkuk besar mi instan kuahku sudah tandas. Hanya tinggal cucian teronggok di wastafel dan Abraham yang masih tidak pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIDE TO SIDE
RomanceAku, Sidna Minara. Bukan Janda, karena aku tidak pernah menikah. Bukan Nona, karena aku sudah punya anak. Semua baik-baik saja, kalau hari itu, anakku, tidak bertemu dengam boneka kutukan bernama Annabella!