Resign

110 13 1
                                    

Ting!!!

Denting lift yang menyebalkan menyadarkanku, aku bergegas melangkah. Sudah pukul delapan malam, Rendra pasti sudah mengantuk.

Ku langkahkan kakiku lebar-lebar, sepanjang koridor sangat sepi, maklum saja, aku boleh dikatakan pulang terlambat. Akhir bulan, lembur dan kejar target sudah masuk dalam agenda.

"Sidna,"

Aku menoleh, selangkah lagi aku keluar dari kantor menjemukan ini.

"Ada apa?"

Abram yang notabenenya tetangga devisi ku alias satu devisi dengan Kalya, memanggilku. 

Apapun yang hendak dikatakannya sebaiknya penting, karena aku buru-buru.

"Salah satu klienku, meminta kamu sebagai analisnya. Berminat?"

Aku menyerngit. Sudah banyak sekali klien yang kita handle bersama, kenapa dipertanyakan lagi. Dan dia juga bisa wassap atau email tentang pekerjaan ini. Tinggal klik, selesai. Lagipula sejak kapan aku menolak uang?

"Kamu tau emailku kan?"

"Kebetulan melihatmu, jadi aku sampaikan sekalian."

Modus.

"Ya sudah, aku duluan."

"Bagaimana kalau aku antar?"

"Aku bawa mobil sendiri. Aku lulus ujian sim."

Dia tersenyum menyilahkanku berjalan lagi.

Ck, aku tambah telat karena ocehannya.

"Sidna,"

Kami sampai pada ujung parkiran dan aku kembali berhenti untuk menoleh ke arahnya lagi.

"Apa lagi?" Kesabaranku sudah sampai ubun-ubun.

"Kalya menyebar rumor kalau kita—"

"Tidak ada kita, Kalya memang seperti itu. Dengar ya, kamu berapa tahun disini? Sidna Minara dengan segudang gossipnya. Kamu tuli kalau tidak pernah kamu dengar sama sekali."

Aku berusaha menjelaskan dengan sabar.

Demi Tuhan, Rendra menungguku, dia kesepian.

Dia kembali diam, tidak membalas tapi lagaknya seperti menahanku agar tidak pergi dulu.

"Kalau begitu ... "

Dia kembali berujar penuh ragu.

"Apa?" Aku mendesaknya.

"Aku masih boleh mengenalmu?"

Ku lipat bibir ini mati-matian agar tidak tertawa.

Kalau aku masih maba mungkin aku akan langsung jatuh ke pelukannya. Sayang sekali, aku sudah punya anak. Hal-hal seperti ini sudah tidak mempan lagi.

Abram yang agung. Tampan, punya uang, punya jabatan. Sempurna.

"Catat. Aku dan kamu adalah rekan. Kenal tidak kenal. Suka tidak suka. Sidna Minara tidak lebih dari rekan kerjamu."

Mengenalmu.

Diksi yang menggelikan. Memangnya selama ini aku dan dia orang asing. Saling panggil nama saja sudah biasa. Itu belum kenal?

"Kamu benar." Ucap Abram akhirnya.

Dia benar-benar tersenyum. Senyum yang menuntunku untuk segera pulang.

***

Kalya sudah lebih dulu tidur di kamar tamu, memeluk Rendra.

Batavia dan segala lakalantasnya. Mengakibatkan macem pada perjalanan pulang. Motor dan angkutan yang malang.

Dijalan aku menelfon Rendra, memastikan anakku baik-baik saja.

Dia bilang, Kalya sudah datang sejak tadi, mengajaknya ke dr Otto karena aku tidak bisa dan berakhir di rumahku, mereka sudah makan dan bersiap untuk tidur.

Aku sedikit lega, setidaknya Rendra baik-baik saja.

Mbok Ijah sedang tidak enak badan, jadi beliau absen membantuku.

"Bunda..."

"Sstt..." aku mendesis. Memberi isyarat agar dia diam saja. Ku julurkan dua tanganku untuk menggendongnya.

Kali ini dia tidak menolak, mumgkin karena ngantuk. Coba saja kalau tidak. Dia pasti tidak mau. Sudah besar, itu alasannya.

"Rendra kangen bunda. Besok jangan lembur lagi ya?"

Ini yang aku takutkan. Rendra akan rewel kalau aku telat pulang.

"Pekerjaan bunda masih banyak." Pelan pelan ku jelaskan.

"Kalau begitu Rendra bantu."

Aku tersenyum. Dia gigih juga. Sama sepertiku.

"Mau menemani bunda ke kantor?"

"Boleh?"

"Habis sekolah boleh. Besok pulang pukul 11.00 kan?"

"Nanti bunda saja yang jemput ya, jangan tante Kalya."

Aku tersenyum. Rendra tidak terlalu suka dijemput Kalya, karena mereka pasti akan singgah dulu baru ke rumah, tidak seperti aku yang langsung pulang ke rumah.

"Tadi diajak ke dokter Otto?"

"Iya. Oiya, bunda dapat salam dari dokter Otto."

Bosan. Dokter Otto selalu titip salam.

"Terus tante Anna juga."

Kedua mataku menyipit. Sudah ku bilang kan, siaga satu.

Sambil menggendong Rendra, aku berjalan menuju kamarku.

"Jadi, kamu juga bertemu tante Anna?"

"Iya, sama Om juga."

"Suami tante Anna?"

Anakku mengangguk. Ku biarkan dia diatas ranjangku.

"Om ajak makan malam, tapi tante Kal, langsung ajak pulang."

Aku bersyukur, kali ini Kalya pintar. Sepertinya acara ngambekku kemarin mempan juga.

"Lain kali, jangan terlalu dekat dengan orang asing ya."

Rendra sudah tidak terlalu mendengar, dia menarikku, memelukku.

"Rendra ngantuk bunda."

Aku mengecup hartaku, anakku. Memeluknya erat-erat.

***

SIDE TO SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang