Fatherless

151 11 6
                                    

"No Way!" 

Teriakan memekik, menukik, seperti Valentinno Rossi pembalap nomor 46 di lintasan. Dramatis sekali ya ku katakan? Mau bagaimana lagi, Kalya—

"Sidna Minara, mengijinkan laki-laki menginap di rumahnya," dengan nada menyebalkan dia terus melanjutkan sindirannya. Aku terdiam, tak berminat menimpali. 

"Oh! Apa besok gw harus menyembah berhala? Atau menyembah api sekalian? Begini-begini gw Islam lho Sid," kalimat itu berlanjut dan terhenti ketika dia meminum es markisanya. 

Rendra sedang menikmati tidur siangnya sementara aku harus dipusingkan dengan celotehan wanita muda dengan semangat gossip membara bernama Kalya. 

"Ceritakan Sid, apa dia mengancam akan bunuh diri, sampai lo enggak ada pilihan lain kecuali mengijinkan dia menginap disini, terlelap di bed ini? Oh God!!!" 

Nada suaranya sangat menyebalkan, asal kalian tahu. 

Aku menghela napas panjang. Kami berdua memang sedang di kamar tamu, aku memberesi baju yang sudah selesai dicuci, dan Kalya yang membantu, well kalau boleh dikatakan mengamatiku sambil duduk adalah membantu, ya Kalya memang membantu. 

Kalya yang biasanya tidak jeli mendadak menarik satu baju, milik Abram. Yaps, baju yang dia masukan tanpa sepengetahuanku ke mesin cuci, dan aku juga lupa menyembunyikannya ketika Kalya datang tiba-tiba. 

Aku tidak tahu harus beralasan apa, aku tidak memberikan jawaban, membuat Kalya semakin rajin dengan spekulasi ngawurnya. 

"Dia memang menginap, tapi tidak di sini," 

Tak ingin memperkeruh situasi ku katakan saja apa yang harusnya ku katakan. 

"What?! Di mana? Kamar lo?" Sambar Kalya kesetanan. 

"Sembarangan!" pekikku panik. 

"Terus dimana?!" Dia menyambung tidak sabaran. 

Ada apa sih? Kenapa dia getol sekali? Aku dan Abram adalah kemustahilan. Andaikata terjadi sesuatu pasti bukan hal yang bertahan lama. 

Sidna Minara dan segudang gossipnya. Begitulah kira-kira. 

"Waktu itu banjir, Batavia lumpuh total." 

Aku berusaha menjelaskan poin penting yang harus Kalya ketahui. 

"The hottest guys in the wordl, Abram. Menginap di rumah Sidna Minara. U-uh Nice..."

"Kecilkan suaramu," aku menghardiknya setengah malas. 

Mulai lagi, dia pasti begini setiap aku ketahuan dekat dengan laki-laki. FYI, tidak sekali ini saja dia memergokiku. Aku memang dekat dengan banyak pria, dekat maksudku disini mengenal ya. Hanya saja reaksi Kalya selalu sama, berlebihan. Seakan-akan mereka yang mendekatiku akan menikahiku. Padahal bukan. 

"Sid," Kalya menjawil lenganku, saat aku sedang memikirkan spekulasi saham pekan depan. 

Akhirnya semua baju masuk dengan rapi ke lemari, kecuali baju Abram yang aku lipat dan ku sembunyikan di rak paling bawah, bercampur dengan kaus Rendra waktu bayi. 

Cukup Kalya yang tahu hal satu ini. 

Dan sekarang, dia meneguk habis markisanya kemudian menatapku, tampak serius. Aku mendekat meminum es markisa satunya dengan tenang hingga habis tanpa sisa, menunggunya membicarakan sesuatu yang sebetulnya sudah sering aku dengar. 

Ingat. Ini aku dan Kalya. Kalau aku laki-laki dia akan menikahiku, begitulah sumpahnya saat mabuk. 

"Kita tidak pernah membicarakan hal ini," 

Bohong, dia terlalu sering mengucapkan hal ini. Yang akan Kalya lakukan adalah menasehatiku dengan kalimat yang sama setiap aku kepergok dekat dengan laki-laki. 

"Dengar. Ini berbeda." 

Aku bosan, dia selalu bilang tidak semua laki-laki sama, tapi dia pula yang mengumpati suaminya dengan kalimat semua pria sama saja. 

See? All men do is lie. We have to stand in our legs. Don't beg.

"Apa lagi kali ini?" aku dengan amat malas menanggapi, ayolah aku bisa seharian duduk berdebat membahas kelicikan para pria, tapi aku tidak akan melakukannya dengan Kalya. 

"Memang Abram kurang apa? Dia dekat sama Rendra," 

Kalya tidak akan mengerti, dekat dengan anak kecil itu hal biasa, babbysitter juga akan baik dengan bos babby-nya, karena apa? Karena itu pekerjaan mereka. Hal semacam ini kenapa sangat sulit ia pahami sih? 

"Kamu juga dekat sama Rendra, kenapa kita tidak menikah saja." 

"Jangan gila." 

"Kamu yang jangan gila. Di dunia ini, aku dan Rendra, sudah itu saja. Cukup."

Aku berkali-kali menekankan bahwa aku sama sekali tidak butuh laki-laki. Kalya tidak akan pernah mengerti, ia terlalu sering dipuja dan dikejar laki-laki. 

Sedangkan aku ... 

Sayang sekali aku tidak pernah lahir untuk dijadikan seperti itu. 

Aku dan kemalang sangat erat, seperti urat dan nadi. 

"9 dari 10 wanita pintar pasti mau menjadi istri Abram--" 

"Aku yang ke 10," selaku cepat. 

"Sid, dia kurang apalagi? Abram adalah Papa yang pas untuk Rendra. Wajahnya biasa tapi bibirnya seksi, penghasilannya lumayan, dompet berisi, posturnya yang ting—" 

"Kalya," aku cepat-cepat menyela ingin sekali membungkamnya. 

"Iya kan? Benar kan? Abram—"

"Abram bujang," tandasku cepat. 

Bukan berarti aku mengincarnya, tapi fakta paling betul yang bisa mematahkan mimpi serta omong kosong Kalya memang cuma ini. 

"So what? Emang lo mau nikah sama bapak anak satu?" 

"Aku punya anak." Tanpa bermaksud singung menyinggung aku mengingatkannya.

"Ya, dan Abram tahu lo punya anak. But all is well." 

"Not at all. Ini sederhana Kalya, aku hanya tidak mau. Itu saja." 

Kalya memandangku, dia memeluk bantal kecil yang memang dari tadi sudah dihimpitnya. Aku biasa saja, tidak ada yang penting dari percakapan ini. Kalya hanya menumpahkan rasa kasihannya dan aku merasa tidak membutuhkannya.

Aku bukan manusia menyedihkan yang butuh laki-laki sebagai pegangan.

"Gw cuman mau lo ada temannya buat ngurus Rendra,"

Setelah ia mengatainya anak haram, aku sedikit ragu ketulusan dalam ucapannya.

"Ada kamu," balasku dengan senyum yang entah kenapa tidak mau keluar meski sudah ku paksa.

"Gw enggak bisa jadi Papa buat Rendra,"

Aku terdiam. Aku juga tidak mengharapkan Kalya atau siapapun menjadi Papa untuk Rendra.

"Kal, Rendra memang tidak pernah punya Papa," ucapku tepat dengan sorot yakin memandangi dua bola matanya.

SIDE TO SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang