Jangan Menghujat!

300 27 4
                                    

Aku menutup pintu perlahan, biasanya lampu menyala terang, tapi malam ini, ah tidak, dini hari ini sepertinya berbeda. Mataku mengawasi sekeliling, aku tahu benar laptop masih menyala, di nakas kecil samping tempat tidur kami.

Setelah mandi dan mengganti bajuku dengan baju tidur seperti biasa, aku beringsut mendekat, mengamati dengan jeli inchi demi inchi yang ditampilkan pada desktop laptop silver ini.

Selesai. Aku sudah menyimpan semuanya dengan baik, kemudian dengan gesit ku matikan seluruh peralatan elektronik ini, aku menyimpannya dengan baik pada meja kecil disamping kaca riasku.

"Sudah pulang?" suara serak yang sayup terdengar.

Bagus, pangeranku terbangun.

"Sudah mandi," aku menjawab sambil melucu. Sangat disayangkan dia pasti tidak melihat kerlingan mataku. Apa lampu kamar dihidupkan saja ya?

"Sini," dia merengek, menepuk sebelah kasurnya dengan lemah.

Ck, dia benar-bnera kelelahan. Tanpa di suruh dua kali aku menempatkan diri disana, kami berpelukan, dia memejam mata, sementara yang kulakukan adalah menatap jambangnya.

"Gimana magangnya?" dia bertanya, masih dengan mata terpejam.

"Seperti biasa, melelahkan sekaligus menyenangkan," aku menjawab pelan, sambil memeluknya lagi.

Sama seperti dia, aku juga letih. Membenamkan kepalaku ke dada bidangnya seperti sekarang nampak seperti anugrah saja. Kalau kalian menilai ini berlebihan ya sudah, anggap saja ini klise, tapi nyatanya, penatku seperti tercuci begitu saja.

"Anak kita gimana?" dia bertanya, serius. Aku terkekeh. Dia memang hobi bergurau.

Salah satu hal yang ku senangi sepanjang hidupku adalah kegiatan pillow talk ini.

"Baik, cuman... dia sedih kalau papanya sibuk kerja terus, sampai lupa aku, sampai lupa segala-galanya." Aku berucap manja, sekaligus melayangkan sindiran karena memang akhir-akhir ini dia terlalu gila kerja. Kali ini dia yang tertawa, hatiku menghangat mendengarnya. Sialan, aku makin jatuh cinta kalau begini setiap hari.

"Anak kita sudah tidur sekarang?" dia mengoceh lagi.

Aku terang-terangan mengeluh, kini aku membalikan badan lalu menunjuki punggungku yang sakit. "Pegal semua ini, tolong pijitin ya, anakmu sama sekali gamau turun dari gendongannya."

Tanpa perlawanan dia menurut saja, tangan besarnya mulai memegang punggungku. Dia pasti tahu sepanjang hari yang ku lakukan memang menjadi budak para atasan, biasa... aku kan anak magang.

"Capek kan punya anak? Jadi, mau berapa?"

"Dua." aku menjawab, tersenyum, berandai, sambil menikmai pijitannya.

"Ck, kamu pasti sudah memikirkan nama, setelah Rendra kemudian siapa?"

Aku terdiam sejenak, dia benar-benar hebat, dia mengerti diriku luar dalam. Bahkan dia tau, aku sudah menyiapkan nama kedua.

"Memang menurutmu Rendra nama yang jelek?" aku mulai menyetir pembicaraan ke arah yang lain. Aku tidak ingin berlarut-larut membicarakan ini sebetulnya, hanya saja aku suka bercakap dengannya seperti ini.

"Tidak, tapi..."

"Rendra artinya bagus lho. Cerdas dan beruntung. Coba namamu? Apa artinya?" aku memotong, tidak memberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya tentang Rendra.

"Iya... Ok... Lalu apa nama kedua yang kamu siapkan?"

Aku menjilat bibir, berpikir. Aku memang menyiapkan nama, tapi kali ini perempuan. Aku ragu untuk mengatakannya.

"Panji gimana?" aku menyetuskan nama yang terlintas. Ini buruk, tapi daripada Nadia?

Meski remang-remang aku melihat dengan baik kalau dia sudah nyaris kehabisan kata kata. Sejak memotong perkataannya, aku sudah berbalik dan duduk tegak.

"Memangnya kamu mau anak kita, keliaran cari ular?"

Sontak kita tertawa bersama.

"Yang terpenting..." ucap dia setelah tawa kita usai.

"Yang terpenting apa?" aku bertanya mendayu. Aku tahu maksud sorot matanya yang sudah kemana-mana.

"Yang penting Kalya tidak tahu aku menginap disini," dia bercanda sambil mencium pipiku.

"Ck," aku berdecih, menganggap semua ini remeh.

Kalya, sahabatku, tentu saja akan marah kalau tahu aku disini bersama dia. Bisa-bisa aku digantung.

"Kal nggak akan tahu, dia ke luar kota. Pulang lusa. Jangan lupa hobi dugemnya." aku mengingatkan.

Ini aku tidak sedang menjelekkan sahabat sendiri ya, tapi Kalya memang begitu, tidak bisa tenang dirumah, minimal seminggu dua kali dia melantai, memberi makan jiwa bebasnya.

Sudah ku bilang kan, aku dan Kalya memang Utara dan Selatan. Dia hobi diluar rumah sedangkan aku senang didalam ruangan seperti ini. Kalya senang gerombolan, kalau aku, senang berduaan. Setiap orang beda-beda kan?

Menghujat karena berbeda itu tidak berlaku dijaman sekarang. Jadi biarkan, biarkan kami melewati sisa hari yang sedikit ini, dengan kegembiraan.

SIDE TO SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang