Jangan Sembunyi

119 15 5
                                    

"Sid, meeting habis lunch ya,"

Abram menyembul di balik pintu ruanganku menjadikan Rendra yang tadinya duduk, mendongak kemudian bangkit menghambur.

"Om Abram," dia memeluknya, jujur saja membuatku sakit mata.

"Aku sibuk, bisa mundur pukul tiga enggak? Sama klien apa sama anak-anak?"

"Sid, aku lupa bilang, aku hire kamu as personal bukan atas nama perusahaan."

Aku melirik kali ini, artinya untung besar.

"Bilang dong, apa nanti after office? Aku sama Rendra soalnya. Eh tapi enggak sama klien kan?"

"Jangan terlalu sore Sid. Deadlinenya besok."

"Tapi aku lembur," keluhku tanpa sadar.

"Aku bantuin, kamu kena proyek dari Pak Winoko kan? Aku udah baca skemanya, kamu tinggal analis nanti aku yang rapihin."

Abram memang lebih muda, tapi tolong jangan lupa, lebih muda bukan berarti bodoh. Dia ini agak pintar.

"Kamu nganggur apa enggak ada kerjaan?"

Aku mengelak, nanti kalau dia salah aku juga yang kena.

"Aku bantuin waktu aku istirahat lunch."

"Sejam doang dong."

"Tapikan lumayan, kamu pasti udah buat analisnya kan? Sini aku rapihin."

Aku memang sudah membuat analisnya, kami kerap bekerja bersama jadi dia pasti sudah tau ritme kerjaku bagaimana.

"Aku ambil laptop ya. Aku kerjain disini, kita take away aja."

Tanpa menungguku lagi dia berbalik hendak kembali menjemput laptopnya.

"Eh—"

Terlambat, pintu sudah ditutup, bersama Rendra yang ikut bersama Abram.

***

"Pacaran kok di kantor!"

"Sejak kapan kantor jadi tempat main bocah?"

"Mentang-mentang senior, suka seenaknya bund."

Aku merekam wajah mereka yang mengataiku satu persatu.

Seperti biasa banyak atasan yang juga seniorku dulu, membelaku. Tapi tidak sedikit juga yang ikut mencemoohku.

Sidna si lugu yang berbahaya.

Tidak pernah dekat dengan pria, tahu-tahu punya anak saja.

"Abram, mending lunch diluar saja,"

Aku baru saja teringat akan masyarakat kantorku yang kadang tidak kondusif.

Si tidak banyak bicara yang baru saja mau menduduki kursi kini mengangguk.

Aku, Rendra, dan Abram berjalan beriringan keluar ruangan.

"Reuni keluarga?"

Yang satu ini mengatai seperti apapun selalu aku maafkan.

"Lunch. Kamu mau ikut?" Tawarku. Ku biarkan Abram dan Rendra mendahului selagi aku masih menanggapi Kalya.

"Tertarik sih, tapi sibuk. Laporan gw ditolak. Lama-lama gw cabut juga nih dari kantor."

As always, setiap dapat masalah dia mengancam begitu.

Gertak sambal, karena meskipun bukan cumlaude Kalya berhasil lulus pas empat tahun. Artinya, dia kompeten. Dia cukup pintar.

SIDE TO SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang