Ferdiansyah.

142 11 1
                                    

"Tidak perlu ke rumah sakit?"

Aku kembali menggeleng.

Tidak! Yang ku perlukan hanya memeluk Rendra sekarang. Secepatnya.

"Maaf, tapi bisakah lebih cepat?" Aku meminta belas kasihannya.

"Wajahmu pucat sekali, kamu makan sesuatu yang salah mungkin? Timun? Kamu kan alergi timun."

Seingatku, aku tidak makan apapun yang tidak bisa ku makan. Oh seriuosly, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan makanan. Aku hanya—

"Just, drive well. Ok?"

Abram tidak berkata apa-apa lagi. Dia mengemudi lagi dengan tenang.

***

"Lunch?" Aku melirik jam tangan sebelum menjawab sapaan Kalya. Baru pukul 11, masih terlalu dini untuk lunch, ini sih waktu yang tepat buat brunch, daripada itu, sekarang adalah saat yang tepat untuk menjemput Rendra.

"Mau jemput Rendra." Jawabanku akhirnya meluncur sambil ku benahi berkas-berkasku.

Habis ini aku harus meeting bersama Abram dan team. Pukul 14.00 nanti dan berkas yang ku benahi sekarang ini yang menjadi kunci rapat nanti.

Kalya terang-terangan berdecak, "Sejak kapan Rendra enggak full day?"

Setelah mendapatkan hardcopy dokumen yang dibutuhkannya, bukannya kembali dia malah leha leha disini. Baru saja hendak ku buka mulutku, gawaiku mendahului dengan jeritan nyaring yang bisingnya memenuhi pejuru ruangan ini. Dengan gugup aku menggapai tasku.

Ingatkan... aku punya dua ponsel, yang satu yang sedari tadi dimeja, yang satunya lagi diam saja di tas. Dan memang tidak ku keluarkan.

Siapa yang menelfon? Tidak mungkin Rendra kan?

Ku kernyitakan dahiku menatapi nomor yang terpampang jelas dilayar.

"Enggak mungkin klien kan? Mana ada cerita Sidna Minara memberi nomor pribadi ke kliennya? Masih mungkin Neraka pindah ke Batavia."

Aku tersenyum kecil mendengarnya menyebut Neraka. Pas sekali, yang menelfon memang Neraka. Ya, ya. Klienku tidak mungkin menelfon ke nomor yang ini. Dan betul, yang menelfonku ini sama sekali bukan klien.

"Memang bukan. Kamu mau ikut enggak?" Sengaja tidak ku angkat, yang satu ini jangan sampai diangkat didepan Kalya.

Bahaya! Untung saja perempuan kaya ini tidak lagi menuntut jawaban. Dia malah sibuk memeriksa ponselnya yang ikut berdering 5 detik setelah milikku diam.

"Klien?"

Ku lihat dia mereject panggilan. Sepertinya sudah rahasia umum, Kalya hanya menerima panggilan jika dan hanya jika orang tersebut disenanginya.

Makanya, dia tidak bisa menjadi penasihat finansial personal. Keyakinanku menjadi 100% ketika menilik wajahnya saat menutup telfon sangatamat kesal. 

"Klien lo nih," sungut dia sebal, lalu duduk di kursiku. Dia ini gimana sih? Mau ikut apa tidak?

"Kal, aku mau—"

"Bunda!!!" panggilan keras dari Rendra segera saja mmebuatku menoleh.

Masih dengan seragam dia berlari sambil menyeret lelaki dewasa yang pangilan selulernya, baru saja ku tolak. 

Aku melirik Kalya. Aku mengerti. Jadi ini biang keroknya. Kalya sebal karena iri. Nyaris saja aku tertawa. 

Ku denger Kalya menggerutu, ku biarkan saja dan aku lekas-lekas menyongsong Rendra. 

"Tadi dijemput Papi," dia mulai melaporkan serangkaian kegiatannya hari ini. 

"Mau makan Pizza tapi Ren bilang minta ijin bunda dulu. Masalahnya kamu ditelfon tidak bisa." 

Suara lembut ini memenuhi ruangan, aku melirik Kalya, dia menampilkan ekspresi hampir muntah. 

Yayaya, biarkan saja dia, toh semua sudah tau watak Kalya.

"Bunda kan lagi sibuk sama Tante Kalya," 

Aku dibela Rendra, spontan aku tersenyum. Lucu sekali anakku ini. 

"Mau traktir ke mana mas?" tanyaku segera. 

Sementara kami bertiga, aku-Rendra-dan Naraka, bertukar suara mau makan dimana kali ini. 

Naraka kalau versi Kalya adalah neraka, dan versiku, Mas Arka dulu adalah kakak tingkatku, dia  orang baik, yang paling baik, dan pernah menjadi idola pada masanya, berpasangan dengan Kalya menjadi pangeran dan putri impian di kampus kami.

Namun, berbanding terbalik dengan ketampanannya, dia ini... bobrok abis... Kalya tidak cocok karena itu menjelekkan imagenya. Mungkin itu alasan kenapa Kalya sebal dengannya, hingga sekarang. 

Mataku menangkap dari arah lorong, ada Abram membawa dua cup minuman, ditenteng dengan riang. Jangan bilang dia hendak ke ruanganku, apa yang ku katakan kepada mas Arka nanti? 

"Sidna." Damn, dia memanggilku. 

"Ya?" aku cepat-cepat menghampiri, syukur saja Rendra masih sibuk bermanja dengan Mas Arka, kalau dia tiba-tiba menghambur ke Abram kan bahaya. 

"Vanilla latte untukmu, dan susu untuk Rendra." dia mengangsurkan minumannya, sambil menatap bingung Naraka. Dia memindai dari ujung ke ujung, pria yang sedang bercengkrama dengan anakku itu. 

"Terima kasih Abram, lain kali tidak perlu repot-repot." ujarku cepat dan segera kembali ke arah Naraka, sebelum Abram terkena masalah. 

Dan pria itu masih dengan sangat linglung bukan kembali ke ruangannya malah menghampiri dan duduk disamping Kalya. 

Gila! Kalya pasti berbicara yang bukan-bukan. Setelah memberi segelas susu yang tadi dibelikan oleh Abram kepada Rendra, anakku yang sedang asyik main gawai milik Naraka, kini aku dengan terburu kembali ke tempat dimana Kalya yang aku yakin dua menit lagi, mengarang cerita dengan bebasnya, tentang aku dan Naraka. 

"Lo pengen tahu dia siapa? Bravo! Saingan terberat lo nih. Lo boleh aja sudah menginvansi Rendra sampai bisa tidur di rumah Sidna, tapi tetep, cuman dia. Cuman Pria keparat itu yang bisa bikin Sidna Minara ketawa!" 

SIDE TO SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang