"Maaf ya Ren, kamu ngantuk ya?" Aku mengucapkan maaf saat dia masih mengucek kedua matanya.
"Ngantuk Bunda. Bunda enggak bisa tidur? Bunda kangen Rendra?" anakku berusaha memberikan pengertiannya.
Aku menciumnya... Lalu mengatur kursi supaya dia nyaman untuk berbaring dan memberi selimut kebadannya.
"Rendra tidur aja ya," suruhku... Tanpa menunggu aba-aba lagi dia menutup mata.
Aku hendak melesatkan mobilku. Kalya masih terlihat dengan baju tidurnya diluar. Aku menurunkan kaca mobilku. Enggan turun.
"Gw duluan."
"Sid, lo enggak papa?" Tanya dia untuk kesekian kalinya.
Aku tiba-tiba datang menjemput Rendra dan mengatakan tidak bisa tidur tanpa dia. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Jelas, ada apa-apa. Namun aku menggeleng.
"Gw duluan," ulangku lagi.
"Gw ikut lo deh," dia tampak khawatir.
Demi Tuhan. Aku tidak melihat sedikitpun dusta atau kepura-puraan diwajahnya. Kekhawatiran itu seperti tercetak begitu rapi dimukanya. Seperti sesuatu yang alami.
Sayangnya kalimat tadi terulang kembali dikepalaku.
"Istirahat aja. Bye." Tukasku. Lalu ku tutup kaca jendela.
Ku lihat Kalya termangu. Bingung.
Aku tidak perduli.
Aku melirik Rendra yang sudah tertidur lagi. Aku terus melaju saja, meskipun ponselku berdering berkali-kali. Telfon dari Kalya. Dengan gamang ku matikan ponselku, ku lanjutkan perjalanku dengan pikiran nyalang.
Sampai aku berada disini, menepikan mobil di dekat bar.
Tidak. Aku tidak akan melantai, minum atau sejenisnya.
Aku punya Rendra, aku tidak mau jadi contoh yang tidak baik buat dia.
Aku hanya punya Rendra, begitupun sebaliknya.
"Bunda..." erangan Rendra menyentakkan lamunanku.
Aku menoleh memastikan kalau dia tahu, aku disampingnya.
Dia mengigau.
Aku teringat dua tahun yang lalu, Rendra mengigau dan tiba-tiba menangis hingga terbangun. Dia tantrum. Menangis sangat kencang hingga aku kebingungan. Saat itu dokter Otto lah yang menjadi pahlawan. Aku membawa Rendra ke rumah beliau karena aku bingung harus meminta bantuan kepada siapa.
Ah, dokter Otto. Saat ku bilang aku tidak akrab dengan dokter kandungan itu benar. Aku tidak pernah suka dengan dokter kandungan. Tapi dengan dokter Otto, jujur saja aku segan. Beliau baik. Aku agak kelu mengatakannya, tapi kenyataannya memang begitu.
Aku ingat saat aku menangis meratapi nasib, dokter Otto mengatakan sesuatu yang cukup menggetarkan hatiku.
"Pilihanmu hanya bertanggungjawab atas tindakanmu, atau kabur dan dihantui seumur hidupmu."
So, thats it. Aku dan Rendra, tumbuh bersama.
Aku kembali mengaktifkan ponselku. Pesan berderet masuk, semua dari Kalya. Dia terlihat mencemaskanku.
"Sorry Kal," hanya itu balasan chatku dan lagi-lagi ku matikan ponselku.
Aku menggunakan ponsel lain untuk membuka sosmedku. Ku gulir linimasa dan ku biarkan semua shit post terlihat oleh mataku.
Salah satunya postingan Kalya dan Rendra.
Disana tertulis, with my luv.
Aku tersenyum sengit.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIDE TO SIDE
RomanceAku, Sidna Minara. Bukan Janda, karena aku tidak pernah menikah. Bukan Nona, karena aku sudah punya anak. Semua baik-baik saja, kalau hari itu, anakku, tidak bertemu dengam boneka kutukan bernama Annabella!