Rendra dan Papanya

45 3 0
                                    

Aku terjaga dari tidur siangku, ini sudah pukul berapa?

Pintu almari berwarna coklat menjulang tertangkap mataku.

Hm... Aku masih ingat betul waktu dulu Mamaku menahan tangis karena almari yang selalu dia bersihkan aku lukis menggunakan gincu warna nude yang bungkusnya bahkan belum sempurna terbuka.

Tidak, aku tidak pernah dipukul. Mama hanya bilang, 'Lain kali minta izin dulu kalau mau pakai barang Mama.'

Aku menoleh lagi disamping kiri, ada meja rias mendiang Mama, yang lagi-lagi warnanya coklat.

Mamaku memang rapi dan sangat menyukai alam.

Kaukasia dan perkebunan teh yang terkenal sangat dicintainya.

Mama adalah salah satu, dari segelintir manusia yang menganggap minum teh langsung di perkebunan adalah hal yang cantik.

Sebaliknya, aku benci teh. Amat sangat benci, sampai Rendra saja hapal. Lihat! Segelas susu coklat yang tak luput di taruhnya di nakas. 

Good boy. 

Salah satu bentuk rayuan Rendra ya begini. Kalau dia pergi main bersama teman-temannya dia tidak lupa menaruh minuman favorit kita berdua ini didekat nakas. Kebiasaan barunya sejak disini. 

Kali ini, dia lakukan karena dia sedang pergi bersama Abram. 

Susu sudah tandas, semestinya yang ku lakukan sore ini ya bersih-bersih rumah. Tapi tidak ketemukan piring dan perkakas kotor yang lain di sink.

Bagus. Abram memang sangat berguna. Sudahlah laporanku selalu diteliti sama dia. Sampai laundry dan cuci perkakas juga dilakukannya.

Baiklah. Aku tinggal menyapu dan mengepel rumah tua ini.

Bagaimana kalau dimulai dengan halaman rumah?

Aku merapikan ikatan rambut, bercermin.

Nah! Manis. Seperti perawan desa.

Aku tersenyum puas. Tidak sia-sia ku kenakan masker mahal hadiah dari Kalya kemarin. Kalau aku mandi dan pakai lulur, mungkin sudah seperti satu tingkat dibawah Abram.

Hah! Ayo Sid, cepat menyapu!

Baru saja ku turunkan ayunan kaki ke lantai gapura. Mataku menangkap siluet yang dulu... Selalu kucari-cari.

"Ketemu juga. Bangun tidur ya?"

Kanebo kering kalah kaku dengan wajahku sekarang.

Ku paksakan mataku untuk berkedip.

"Keluar, sebelum aku teriak dan warga desa dengan brutal main hakim sendiri,"

"Easy... Mana Rendra?"

Mana Rendra katanya?

Siapa dia berhak tanya dimana Rendra. Dimana anakku.

"Pulang saja. Jangan kesini lagi."

Pria itu bergeming. Dia tetap seperti posisinya. Duduk di serambi. Sambil tersenyum.

Senyum yang sejak lima tahun lalu aku benci.

"Sid... Tidak baik lho, memisahkan ayah-anak."

Untung saja yang ku bawa ditanganku cuman sapu. Coba tadi pisau. Aku tidak tau apakah Annabella akan menjadi janda apa tidak.

"Memangnya Rendra itu anakmu?"

"Kalau dia anakmu dan pria entah siapa selain aku, kamu tidak akan bersembunyi seperti ini."

Sial. Dia benar.

Dulu, aku jatuh hati padanya karena dia pintar, lugas, dan membuat aku tidak bisa menampar balik perkataannya seperti ini.

Ya. Itu dulu. Sekarang, melihatnya saja ingin ku wakilkan pada orang lain. Tak perlu bertatapan seperti ini.

"Dia bukan anakmu. Pergilah. Rendra hanya anakku. Kamu hanya kebetulan donor sperma, biar begitu bukan berarti kamu bapaknya."

"Sid. Tolong, setidaknya beri aku kesempatan,"

Aku nyaris tidak percaya dia datang dengan wajah tanpa rasa bersalah dan penyesalan.

"Kesempatan katamu? Setelah kamu memblokir aku di media sosialmu? Setelah kamu bahkan tidak memberitahu aku kalau alamat rumahmu baru? Atau basa-basi kecil seperti nomor handphone mu yang sudah ganti? Masih punya muka?"

Wajahnya menunduk sedikit, kemudian kembali menatapku, lagi.

Aku tau, pasti dia akan menyangkal lagi.

"Sudahlah, jangan usik aku, bukankah selama ini aku tidak pernah mengusikmu?!"

Dia menoleh tajam, "Tapi kamu mengadukanku ke Kalya, kan. Sama aja Sid. Perusahaan hancur, aku terancam didepak dari sana. Keluargaku sudah tak lagi sama. Ini semua karena ulahmu."

Aku kehabisan kata. Ulahku katanya?

Memangnya Rendra lahir ini hanya karena aku?

Sinting!

"Kalau sebegitu tidak sukanya kamu karena aku melahirkan anakku, lantas kenapa kamu kesini? Kamu mau aku membujuk Kalya supaya dia menghentikan apapun yang sudah dia lakukan kepadamu kan?"

Ah! Hampir saja.

Ku kira setelah hampir lima tahun dia kembali, meminta maaf dengan kesungguhan hatinya. Setidaknya... Akan ku biarkan Rendra tau kalau Papanya setampan ini wajahnya.

Sial... Sial... Sangat sial.

Air mata sialan ini mulai berjatuhan.

Sidna. Tahan... Ini semua demi Rendra.

Perkokoh lagi benteng yang sudah susah payah kamu bangun.

Lagi. Lebih kuat lagi. Lebih kokoh dari yang sekarang lagi.

"B—"

"Kamu kira aku mau? Kamu pikir kamu siapa bisa menyuruhku semaumu?"

Pelan aku sela ucapannya...

Apa dia pikir karena aku pernah mencintainya, aku jadi mau disuruh dan direpotkan?

Apa aku memang hanya seperti itu dimatanya?

"Aku tidak punya waktu, tolong pergi."

***

SIDE TO SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang