Inkubasi

175 15 5
                                    

Aku memangku Rendra yang tertidur. Ini pukul lima, karena Rendra sejak terbangun menjadi rewel akhirnya Mbok Jah mengantarkannya kesini. Kalya masih pada posisi yang sama dengan infus yang tertancap ditubuhnya. Annabella? Entahlah, dia tadi terlihat menelfon seseorang. Mungkin suaminya. Siapapun itu, yang jelas sekarang ia tak lagi hilir mudik atau membual disampingku. Syukurlah. Aku tak perlu repot mencari alasan lagi.

Aku memandang Kalya. Hatiku iba, ini sudah yang kesekian kali. Tambah satu kali lagi, genap lima kali sudah ia masuk rumah sakit dengan alasan yang sama. Pendarahan dilanjutkan dengan keguguran.
Dokter rumah sakit ini, dokter Otto, sampai hapal.

Dokter termasyhur, tergolong dokter senior, dan digadang-gadangkan paling pintar. Sekaligus, paling aku hindari.

Bukan apa-apa, aku kan sudah bilang, aku, kehamilan, dan dokter kandungan tidak pernah menjalin keakraban. Sama sekali. Aku pun tak berniat beramah tamah atau mengulang peristiwa empat tahun yang lalu, lagi. Tidak. Cukup sekali.

Jangan salah, dokter Otto mempunyai integritas yang tinggi. Hanya saja, aku malas melihat beliau lagi-lagi menampilkan raut muka terlalu empati miliknya. Padahal dari awal aku sudah bilang, aku bisa mencari dokter lain lagi. Tapi dia bersikeras. Jadi... ya sudahlah. Yang berlalu biar saja berlalu.

"Suaminya mana?"

Dokter Otto tiba-tiba ada disampingku.

"Dok," pekikku, kaget.

Aku menidurkan Rendra disofa. Lalu kembali menghampiri dokter Otto.

"Kalya..." aku tak sampai hati meneruskan kalimatku.

Aku takut jawaban semuanya adalah iya.

Namun, kelihatannya semesta sedang berbaik hati. Dokter Otto tersenyum.

"Kali ini, Kalya dan janinnya selamat. Tapi demi Tuhan Sidna. Dia harus benar-benar bedrest dan vakum melantai mulai detik ini."

Aku tersenyum simpul. Lega.
Ya lega. Cukup lega. Setidaknya aku tidak perlu mendengar tangisan Kalya kan?

"Terima kasih dokter." Kali ini aku berucap tulus.

Dokter Otto tak menjawab, ia justru mendekati Rendra yang kini berbalik membelakangi kami, tampak nyenyak meski di sofa.

"Masih sering menangis?"

Dokter Otto menatapku. Inilah yang aku benci. Dokter Otto ini selalu ingin lebih dekat dengan pasiennya. Treatmentnya yang ini memang baik, tapi bagiku tidak.

Meski demikian aku menjawab pelan, "Masih."

"Padahal sudah empat tahun." Beliau menjawab pelan juga. Lalu mengelus kepala Rendra.

"Saya kemarin lihat Rendra, bawa gundam di apotek. Siapa yang sakit?"

Aku menyerngit. Di apotek? Oh... waktu itu. Aku teringat, weekend lalu memang kami mampir ke apotek dan aku sempat melihat mobil dokter Otto terparkir.

"Cuma beli obat pegal, maklum kecapekan Dok sekalian beli vitamin kan."

Dokter Otto menatapku lurus tanpa berkata sepatah katapun.

"Kalya kapan sadar?"

Aku mengalihkan pembicaraan. Jangan sampai dokter satu ini terus saja mengulik kehidupanku.

"Seharusnya suaminya yang disini, bukan kamu."

Cih. Dokter Otto tetaplah Dokter Otto. Masih saja sama.

"Kalau suaminya disini, saya yang pergi." Aku menjawab ketus. Salah sendiri, sudah tahu aku tidak suka membahas hal seperti ini.

"Sidna..." dokter Otto memanggil pelan.

SIDE TO SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang