Aku memutuskan menerima telfon didepan wastafel toilet. Suara lengkigan terdengar dari seberang gawaiku. Biasalah, Kalya memang hobi egini kan. Dia cuman merengek karena aku dijemput mas Arka. Bingung? Begini, Kalya beranggapan kalau yang boleh mengatar jemput diriku ya dia seorang. MAruk? Ya begitulah dia. Banyak maunya.
"Ya kan tadi sekalian jalan sama Rendra,"
"Gw susul deh, diman--" Bip!!! Ponselku mati.
Wah gawat, baterainya habis, aku bergegas keluar, melangkah lebar-lebar jkembali ke restoran yang tadi ku tinggalkan. Ponselku yang satu sedang dimainkan Rendra, dia sekarang terlihat anteng disuapi daging oleh mas Arka.
"Pinjam sebentar ya sayang,"
Tanpa banyak kata Rendra mengangsurkannya, dan setelah sampai ditanganku, dengan segera aku menelfon Kalya. Nyambung sih, tapi tidak diangkat. Wah rept ini kalau aku harus mencarinya disetiap sudut mall.
"Kamu nelfon Kalya? Barusan telfon aku, paling juga lagi otw."
Aku mengembus napas lega, meski egitu tetap ku ketikkan dengan lancar kata maaf dan ku jelaskan pula kalau ponselku mati.
"Thanks ya mas, tadi Kal marah enggak? POnselku tiba-tiba mati sih," aku berusaha menjelaskan duduk perkaranya kepada mas Arka.
"Ck, kapan sih Kalya enggak marah."
Kami tertawa, memang sih, Kalya bisa marah delapan kali sehari, padahal seminggu saja hanya tujuh hari.
"Nanti ke rumah MAmi ya," suara mas Arka membuatku memberengut.
Shitt, ini jebakan Batman ya?
Rendra yang mendengar jadi ikut campur, "Mami siapa? Teman baru Bunda?"
"Bukan Ren, Mami itu--"
"Mami itu, bundanya Papa," serobot mas Arka.
Aku melotot.
"Berarti nenek?" Rendra bertanya balik.
Mampus. Aku diam saja, tidak ingin membantu menjawab. Biar saja mas Arka pusing, salahnya sendiri, tadi aku mau menjawab kalau Mami itu sebutan lain dari kata BUnda, tapi ... yah ... salahnya sendiri kan.
"Betul, tapi nanti mangilnya eyang aja ya,"
Mataku kembali melotot, "Mas, aku kan belum diskusi apapun sama Rendra."
Tentu saja aku menolak halus, coba saja tidak ada Rendra, aku tempeleng kepala Arka.
Naraka memang tidak ada otak, bagaimana bisa aku bertemu Mami dengan wajah lusuh dan banyak pikiran seperti ini. Minimal harus nyalon dulu, terakhir bertemu dengan beliau adalah ketika Rendra berumur 2 bulan.
"Lho kenapa? Mami juga pengin ketemu REndra,"
Gila, aku harus konsultasi dengan Kalya sekarang. Ini rumit. Begini, Mami memang tidak pernah menakutkan, dulu sekali dia sangat menyukaiku, tapi itukan dulu. Sekarang kan sudah ada Rendra, kunjunganku ke sana tentu saja bisa berbuah petaka kalau saatnya tidak pas. Aduh... aku menjadi pusing, Kalya mana sih, kalo dibutuhin enggak kelihatan!
Aku membisu, memilih mengabaikan. Kembali ku ambil sepotong daging yang suda dibakar, enak, lembut, ini pasti prermium.
Ponselku berdenting, Kalya.
"Resto lo dipucuk bener, jemput gw deh kalo lo bener-bener mau dimaafin!"
Hiperbola, in kan hanya lantai 3, lagi pula resto ini juga langganan kami.
"Mau jemput kal dulu di basement," aku berpamitan
"Manja ah, emang kamu ibunya?" komentar Arka singkat.
Aku tersenyum, iya sih, Kalya memang agak manja, "Mas... Ini kan Kalya."
"Mau Rendra temani bun?" anakku yang sepertiya sudah kenyang dan bosan menawari bantuan.
"Enggak usah sayang, kamu disini aja ya, sama Papa Arka, makan lagi yang banyak."
Dia menurut, meraih baso dalam mangkuknya lagi.
Aku membawa ponselku, lalu bergegas keluar menuju ekskalator. Dasar, Kalya memang merepotkan. Aku memperhatikan sekeliling. Padat. Ini weekend sih, jadi wajar saja.
Mataku berkeliling, mencari wanita supermolek dianatar kerumuman manusaia. Kata Kalya, andai dia lelaki dia pasti menikahiku, menjagaku. Aku tertawa geli, tapi setiap ingat perkataannya yang seperti itu, aku jadi semangat. Maksudku begini, wanita supermolek saja ingin menjadikanku istri, entah katarak entah kasihan, aku tidak peduli, yang penting dia mau kan?
Aku tidak bohong, Kalya memang supermolek. Wajahnya yang supermulus, angin saja ragu membelainya. Kulitnya sehalus susu, tanpa bercak.
Sebetulnya aku tidak jelek-jelek amat, tapi Kalya ini Dewi. Kalau aku, manusia biasa. Entah golongan kelas berapa. Pokoknya beda jauh dengan Kalya. Dikeramaian begini saja dia langsung kelihatan. Putih, tinggi, dan pastinya cantik.
Nah! Lihat! Itu dia. Aku melambai ringan agar dia melihat dan segera mendekat kemari.
"Naraka melarat ya? Masak kudu berjubel di mall gini sih? Minimal sewa resto private lah. Nyusahin! Dia enggak bangkrut kan?"
Mana ada mafia bangkrut, paling juga mati.
Kalya ini ada-ada saja.
"Eh Sid, mampir butik dulu bisa kali ya? Minggu depan ada undangan sama relasi bisnis Papa."
Kalau sudah menyangkut bisnis sang Papa, Kalya anti ditawar.
She's daddy girl.
"Nanti ya, nunggu Rendra. Makan dulu aja."
"Ok. Lo pilih juga ya. Barangkali Arka diundang kan lo juga nemenin doi dong. Ya kan??? Calon Ibu Mafia?"
Kalya berkelakar. Ekskalator berjalan, kami berdua, tepatnya Kalya menggandeng tanganku.
"Aku belum ngomong apa apa sama Rendra sih," aku memulai diskusi kecil. Kalya berjalan sambil mencermati mall sedangkan aku, mulai menumpahkan masalah.
"Buat apa? Kalo udah gede nanti juga ngerti. Gas aja lah. Lo sama Arka juga udah saling tau. Mamihnya Arka juga suka sama lo, Bapaknya paling enggak ngurusin juga. Masih Mafia kan bapaknya? Apa udah insyaf jadi ustadz?"
Sialan. Aku tertawa.
"Kal..."
Kami akhirnya tertawa bersama.
Apa aku terima saja ya? Rasanya menyenangkan. Apa begini kalo hidup punya kekuasaan?
Hampir saja kami sampai meja, seseorang mengganggu penglihatanku dan dengan cepat, aku menoleh tajam ke Kalya.
"Buset, bukan gw sumpah. Gw bahkan udah blokir Instagram dia. Demi lo!!!"
Aku tidak mengindahkan. Cepat cepat aku menyusul anakku.
"Ada apa nih?"
Aku bertanya, datar. Meski jelas-jelas Anna memegang bahu anakku.
Di lepaskannya bahu itu.
"Eh Sidna," ujar suara lembut nan merdu.
"Lho Kalya mana sayang? Ini teman kamu ya? Kok kenal sama Ren?"
Mulut Arka bagus juga narasinya.
"Lo ngapain disini?"
Kalya mendesis. Dia cemas. Takut aku marah.
Ya iyalah aku marah! Kenapa sih, dimana mana ada Annabella, dia nguntit ya?
"Aku cuman—menyapa. Kirain Rendra sama siapa..." Dia mencicit. Takut salah?
"Oh ini Papaku Tante, Papa Arka."
Rendra si cerdas ini menjawab.
Kami semua diam.
Kalya si tukang protes juga diam.
Aku sibuk mencaci didalam hati.Tidak menyingkir juga?
"K–kalau begitu, aku duluan ya. Bye Sid, bye semua."
Nah. Enyahlah. Pergi sampai ke kerak neraka sana!
KAMU SEDANG MEMBACA
SIDE TO SIDE
RomanceAku, Sidna Minara. Bukan Janda, karena aku tidak pernah menikah. Bukan Nona, karena aku sudah punya anak. Semua baik-baik saja, kalau hari itu, anakku, tidak bertemu dengam boneka kutukan bernama Annabella!