Permintaan Rendra

202 18 3
                                    

Aku masih begadang membaca kembali pekerjaan yang aku buat, sambil menunggu mesin cuci berhenti. Ini memang sudah rutinitas yang ku lakoni sejak lama. Tapi baru kali ini, Rendra terbangun, menghampiriku sambil berlari membuatku spontan menyongsong dan mengendongnya.

"Kenapa?" tanyaku lembut. Buah hatiku ini berkeringat di dahi banyak sekali.

"Sedih." jawab dia, batinku diam-diam teriris mendengarnya.

"Mau cerita?" aku mendekapnya, sambil mengusap kepalanya.

Si kecil tergugu. Rendraku sedang menangis. Aku membiarkannya sambil tetap melanjutkan usapan pada kepala.

Anakku kenapa?

Selama ini bisa dihitung jari berapa kali Rendra tantrum. Namun berbeda, ini jauh dari tantrum yang memekakkan telinga, ini lebih terdengar menyayat hati. Aku diam-diam ikut menangis.

"Rendra ... " aku memanggilnya pelan saat kudengar tangisannya sudah hilang.

Dia menengadah, mata sembabnya membuat jantungku seperti ditikam berkali-kali tapi tidak lekas mati. Sakit.

Aku mencium dia. menghapus air matanya yang tersisa.

Maafin bunda ya.

Aku menggendongnya, tanpa berkata apa-apa lagi. Dia pasti haus, butuh minum. Aku melangkahkan kaki ke dapur, mendudukannya di kursi.

"Kalau haus minum dulu," aku berujar lembut. Dia menurut, meraih gelasnya dengan tangan kanan. Semua tak luput dari pandanganku.

"Bunda minta maaf ya, waktu Rendra bangun dan merasa sedih Bunda enggak ada disana," mula-mula itu yang ku katakan pada dia. Rendra hanya mengangguk.

"Kamu mau kasih tahu bunda kenapa kamu sedih?" aku bertanya lagi.

Tuhan, tolong, dari semua jawaban yang akan keluar dari mulut anakku, tolong jangan yang satu itu. Aku tidak sanggup.

Aku berdoa dalam hatiku, dan memutar keras otakku andaikata doaku tidak terkabulkan.

"Rendra ngga mau bunda marah." ucap anak ini.

Aku nyaris menangis.

Tuhan! Tolong!

Aku nyaris menjerit.

Jangan Sid, jangan beri contoh buruk pada Rendra.

"Bunda akan mendengarkan apapun yang Rendra ceritakan." aku menjawab dengan senyum yang ku paksakan.

Aku kalut.

"Ini rahasia kita ya Bun." dia berbisik, mengulurkan jari kelingkingnya ke arahku.

Sementara aku mulai hilang arah, hanya mengangguk segera mengaitkan kelingkingku lalu menggendongnya, mendekapnya. Supaya dia tak melihatku, tidak melihat air mataku.

"Bunda, boleh tidak Rendra panggil Mommy, tante Kal aja?"

pertanyaan itu meluncur dan aku lagi-lagi tidak mengerti, apa yang dipikirkan bocah ini sebetulya sih?

Aku kini menatapnya, mencari kebohongan yang mungkin tersisa diretinanya.

Betul, ini pertanyaanya? Hanya ini masalahnya?

"Bunda ... marah?" dia bertanya takut-takut, aku cepat-cepat menggeleng.

"Bunda tidak pernah marah sama Rendra. Rendra anak yang baik kenapa harus marah?"

"Karena tidak mau memanggil tante Kal, Mommy." sahut dia cepat.

Ah, betul juga. Dari pertama Kalya memaksa Rendra memanggilnya Mommy aku diam saja. Aku bahkan secara tidak langsung juga menyuruh Rendra menurutinya saja.

"Dalam hidup ada hak dan kewajiban. Hak itu apa yang boleh kita miliki. Kewajiban itu sesuatu yang harus kita lakukan. REndra ngerti?" aku mulai menjelaskan sesuatu, balitaku diam saja.

"Rendra punya hak untuk beli gundam, tapi juga punya kewajiban menjadi anak baik buat bunda." aku menjelaskan lebih sederhana. Dia langsung mengangguk.

"Nah, menurut Bunda, memanggil sahabat bunda dengan sebutan Tante itu hak Rendra, asal itu wajar saja. Tidak mungkin kamu memanggil wanita yang sebaya dengan Mama adik kan?" aku mulai mejalaskan lagi, tapi sepetinya ini terlalu rumit, Rendra tidak bereaksi.

"Berarti boleh?" kejar dia. Sepertinya tidak peduli dengan penjelasanku tadi.

"Boleh." aku menjawab cepat. Dia tampak tersenyum.

"Kalau hamil itu apa?" dia bertanya lagi, kami bersama-sama memasuki kamar. Dia tak mau lagi digendong. Dia lebih senang berjalan dengan didampingi.

Aku terdiam sebentar, "hamil itu proses sebelum punya anak."

"Kalau tante Kal hamil berarti nanti dia punya anak?"

Aku mengangguk sambil menaikkan dia ke ranjang.

"Tapi itu bukan adik Rendra kan Bun?" dia bertanya lagi.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Bagaimana cara mengatakannya dengan benar, ya?

"Kata bu guru, adik itu anaknya bunda. Itu kan anaknya tante Kalya." dia berkata lagi.

Aku diam saja, memilih kalimat yang rasanya benar untuk ku katakan.

"Adik itu tidak selalu anaknya bunda saja, adik itu panggilan untuk yang lebih muda dari Rendra."

Anakku mengangguk, menikmati elusan tanganku, dia mengantuk.

"Sekarang bunda tanya, umur Rendra berapa?"

"Dua bulan lagi empat tahun." Jawab dia dengan mata yang digelayuti kantuk.

Aku tersenyum, menciumnya.

Sudah empat tahun lebih ternyata.

"Bunda..." rengek dia.

Aku menciumnya sekali lagi, sambil menatapnya, mengantarnya menuju mimpi.

Semoga tidak perlu lagi datang hal-hal yang merisaukan seperti ini lagi.

SIDE TO SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang