Annabella

436 41 2
                                    

Aku menggendong Rendra yang terlihat mengantuk. Aku sudah menasehatinya agar dirumah saja, tapi dia bilang kalau dia janji tidak akan berkeliaran mengejar badut Oppo lagi, aku menjadi luluh. Sekarang disinilah kami, terdampar di resto cukup fancy, aku yakin harganya mahal. Aku sebetulnya ingin membatalkan semua ini, tapi setelah dipikir ulang seharusnya aku tahu diri, aku yang mestinya mentraktir Anna, tapi ini justru sebaliknya.

Walaupun sudah mati-matian ku tolak, katanya semua ini karena dia bersyukur dapat menemukan Rendra, satu lagi hal yang diam-diam membuatku kesal.

Aku beri tahu ya, Rendra itu cukup pintar untuk tidak sembarangan ikut orang.

Meski Kalya mengatakan, "Untung saja ada Daddynya," dan Anna bilang, "waktu itu dia ikut pria muda."

Sedangkan menurut penuturannya, dia sempat melihat aku dan Rendra memilih sayur bersama maka dari itu dia was was, jadi dia ngotot berinisiatif mengantarkan Rendra yang sedang mengejar adut Oppo ke pusat informasi, meskipun jelas saja Rendra berteriak "daddy" ke pria yang kebetulan sedang meeting di sana. Kalau yang terakhir aku tidak tahu, aku bukan sekertaris yang tahu segala acara eksekutif muda bukan?

Tapi tetap saja, semua orang terlalu sepele menilai keberanian Rendra.

Sudah sepuluh menit aku disni, bertambah satu lagi kekesalanku kepada wanita muda bernama Annabella. Apa dia tidak tahu waktu adalah uang? Apalagi bagiku. Coba saja aku tidak disni, aku mungkin sudah selesai menyiapkan makan malam untukku dan Rendra. Bukan terjebak disjni yang mau pesan makan saja mesti mikir dua kali karena harganya yang fantastis sekali.

Demi tuhan aku tidak pelit, tapi, ayolah, semua ibu pasti memiliki sensitivitas terhadap keuangan. Hemat, hemat, dan hemat. Lagipula, Rendra tidak akan memakan semua ini. Dimsum atau Sushi? Ini mah kesenangan Bundanya.

Aku sudah nyaris berdiri dan meminta bill, ini sudah tiga puluh menit, rasanya cukup untuk menunggu, apalagi sebenarnya aku tidak betul-betul merasa berterimakasih. Ajakan Anna ini hanyalah basa-basi agar aku tidak dianggap tak tahu diri saja.

Cerminan perempuan muda yang ngos-ngosan di hadapan kami sekarang sambil mengibas-ngibas tangannya seperti kepanasan menghentikan segala niatanku.

Ku lihat lagi dari atas ke bawah, wanita ini jelas terburu-buru, tidak sopan kalau aku tetap kabur, sementara dia terlihat seperti dikejar seratus pasukan berpluru.

"Hampir saja aku pulang,"

Ah dasar mulutku tidak bisa bohong kalau aku kesal.

"M--ma--af, a-"

"Minum?" aku memenggal perkataannya setelah melihat Rendra beringsut dari pangkuanku dan mengangsurkan lemon tea dari meja. Higienis, belum terjamah bibir siapapun.

"Terimakasih" ujar Anna setelah dia duduk dan minum hampir 3/4 isi gelas tersebut.

"Maaf ya, macet sekali, ban mobil suami meletus, jadi terpaksa naik gojek ke sini."

Anna menjelaskan dengan rinci, aku mengangguk saja, aku ingin cepat pulang.

"Rendra masih ingat tante?" dia kini berbasa basi dengan anakku. Aku membiarkannya, aku sudah sibuk membuka tas ku dan menunjukkan beberapa lembar kertas yang memang sengaja ku bawa.

"Ini yang sempat kita bicarakan kemarin. Sebagai draft saja, kamu bisa mempelajarinya dan andaikata tidak mengerti, kamu bisa tanya aku via chat, nanti aku bantu."

Aku bercakap singkat, tidak ingin berlama-lama, karena jujur saja, aku sudah tidak ingin berurusan dengan wanita yang tidak ku ketahui asalnya ini. Persetan dengan pertemanan, Kalya cukup bagiku.

SIDE TO SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang